PARBOABOA, Jakarta - Isu mengenai dugaan ijazah palsu yang menyeret nama Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, kini memasuki fase baru.
Pada Rabu (30/05/2025) siang, Jokowi secara resmi melaporkan lima individu ke Polda Metro Jaya atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran fitnah.
Langkah ini menjadi penegasan bahwa Jokowi tidak tinggal diam menghadapi tuduhan yang dinilainya telah melampaui batas.
Dalam pelaporan tersebut, kelima terlapor masing-masing berinisial RS, ES, RS, T, dan K. Nama-nama tersebut telah disampaikan secara lengkap kepada pihak kepolisian.
Kuasa hukum Jokowi, Yakup Hasibuan, menyatakan bahwa kliennya telah menunjukkan dokumen pendidikan lengkap sebagai bentuk transparansi kepada penyidik.
“Tadi Pak Jokowi sudah memperlihatkan secara clear ijazah SD, SMP, SMA, hingga kuliahnya UGM, semua sudah diperlihatkan kepada para penyelidik,” ungkap Yakup di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan.
Jokowi sendiri sebelumnya telah menyampaikan alasan mengapa baru sekarang mengambil langkah hukum. Ia mengakui dirinya cenderung memilih menahan diri selama masih menjabat sebagai presiden.
Namun, karena isu tersebut tak kunjung mereda, ia memutuskan untuk menyelesaikannya secara hukum agar terang benderang.
Ia bahkan membuka kemungkinan dilakukan uji forensik digital terhadap dokumen ijazahnya, sebagai bukti kesediaannya membuktikan keaslian data secara ilmiah.
Sementara itu, Universitas Gadjah Mada (UGM) telah menyatakan bahwa Jokowi adalah lulusan resmi dari Fakultas Kehutanan.
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Wakil Rektor UGM, Wening Udasmoro, yang turut menjelaskan semua proses akademik Jokowi terdokumentasi dengan baik sejak awal menjadi mahasiswa hingga ujian akhir.
“UGM adalah lembaga institusi pendidikan yang selalu mematuhi peraturan akademik. Mulai ketika mahasiswa hadir di kampus ini dengan segala macam dokumen sampai di akhir,” jelas Wening.
Isu mengenai keaslian ijazah Jokowi kembali mencuat setelah seorang mantan dosen Universitas Mataram, Rismon Hasiholan Sianipar, mempertanyakan penggunaan font Times New Roman dalam skripsi Jokowi—yang menurutnya tidak lazim pada awal 1980-an.
Namun pihak UGM telah memberi penjelasan bahwa jenis huruf tersebut memang sudah umum digunakan di beberapa percetakan di sekitar kampus pada masa itu.
Tak hanya itu, gugatan terbaru terkait keaslian ijazah kembali diajukan ke Pengadilan Negeri Surakarta pada 14 April 2025 oleh warga Surakarta bernama Muhammad Taufik, yang turut menggugat Jokowi dan pihak UGM.
Dengan pelaporan resmi ini, Jokowi berharap tuduhan yang selama ini menyebar luas di masyarakat bisa ditangani secara adil dan transparan melalui jalur hukum.
Langkah ini sekaligus menjadi penanda bahwa penyebaran informasi palsu dan fitnah tidak bisa terus dibiarkan tanpa konsekuensi hukum yang tegas.
The Obama Moment
Peneliti Yusof Ishak Institute (ISEAS), Made Supriatma menganalogikan persoalan yang kini dihadapi Jokowi sebagai “the Obama moment”.
Istilah ini merujuk pada fase krusial yang pernah dialami Presiden AS ke-44, Barack Obama, ketika dirundung isu soal keabsahan akta kelahirannya.
Kala itu, Partai Republik dan Donald Trump mendesak Obama untuk membuktikan bahwa dirinya lahir di Amerika Serikat. Obama sempat mengabaikan dan menganggapnya sepele.
Namun tekanan terus meningkat hingga akhirnya ia merilis akta kelahiran resminya. Sayangnya, meski telah ada bukti konkret, isu itu tetap menjadi senjata politik yang digunakan lawan-lawan Obama sepanjang masa jabatannya.
Menurut Made, situasi serupa kini dihadapi Jokowi. Isu ijazah palsu yang awalnya muncul dari pinggiran kini menjadi wacana publik yang luas.
Namun berbeda dengan Obama yang akhirnya menunjukkan akta lahir secara terbuka, Jokowi justru baru belakangan mengambil langkah hukum, dengan melaporkan lima orang atas dugaan pencemaran nama baik ke Polda Metro Jaya.
“Jokowi membiarkan spekulasi ini berkembang terlalu lama. Padahal cukup datang ke UGM, cocokkan dokumen, dan beri penjelasan terbuka. Tapi yang terjadi justru langkah hukum dan pelibatan pengacara, yang malah memperkuat kecurigaan,” tulis Made di akun Facebook-nya medio April lalu.
Bagi Made, tindakan ini dianggap reaktif dan kurang efektif untuk meredam persepsi publik. Langkah yang seharusnya diambil adalah transparansi sejak awal.
Jokowi, menurutnya, "bisa saja sejak dulu datang ke UGM, menunjukkan ijazah, dan menjelaskan bila ada kerusakan atau kendala administratif lain."
Sebaliknya, UGM pun dinilai tidak cukup aktif dalam penjernihan persoalan ini.
“UGM tampak defensif. Alih-alih tampil terbuka, mereka justru terkesan tertutup. Akibatnya, muncul spekulasi liar bahwa UGM terlibat dalam upaya menutupi sesuatu,” ujar Made lagi.
Meski pihak UGM telah menyatakan bahwa Jokowi merupakan lulusan resmi Fakultas Kehutanan dan proses akademiknya tercatat dengan baik, pernyataan itu belum cukup memuaskan sebagian publik yang terlanjur curiga.
Apalagi, polemik ini diperkeruh oleh aksi demonstrasi dan gugatan baru dari warga, serta kehadiran tokoh-tokoh ormas yang justru menimbulkan kesan intimidatif.
“Kalau Anda tidak menyembunyikan sesuatu, kenapa harus mengundang preman? Itu blunder besar,” kritik Made.
Baginya, isu ini bukan lagi soal benar atau salah, tapi bagaimana persepsi dibentuk dan dipelihara. Semakin lama ditunda penyelesaiannya secara terbuka, semakin luas ruang spekulasi.
“Kawan-kawan Jokowi pun kini diam. Mereka tak bisa membela sesuatu yang sulit dipertahankan. Ini akibat kesalahan strategi Jokowi sendiri,” katanya.
Made juga menyoroti dinamika politik di balik isu ini. Ketika pusat perhatian publik tersita oleh drama ijazah, ada pihak-pihak yang justru menikmati keuntungan politik.
Mereka disebutnya masuk dalam kategori orang yang memilih diam, mengamati dari kejauhan, dan menunggu waktu yang tepat untuk bermanuver.
“Dalam politik, kemalangan seseorang adalah keberuntungan orang lain,” pungkasnya.
Bagi Made, isu serupa telah bergerak jauh dari ranah akademik. Ia menjadi ajang pertarungan persepsi dan opini, tempat di mana kebenaran formal tidak lagi cukup tanpa legitimasi publik.