PARBOABOA – Kenaikan rata-rata upah minimum nasional resmi ditetapkan sebesar sebesar 6,5 persen pada 2025, di mana lebih tinggi dari rekomendasi awal yang diajukan Kementerian Ketenagakerjaan sebesar 6 persen.
Hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2024 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2024.
Menurut Prabowo, kebijakan ini merupakan hasil diskusi intensif dengan berbagai pihak, termasuk perwakilan serikat buruh, guna memastikan keputusan yang adil dan berimbang.
Menyusul instruksi ini, sejumlah provinsi di Indonesia menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025. Jakarta mencatat rekor sebagai provinsi dengan UMP yang menembus angka Rp5 juta.
Wilayah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi juga tidak ketinggalan mengalami lonjakan pada Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), bahkan beberapa di antaranya melampaui Rp5 juta.
Kabupaten Bogor, misalnya, menetapkan UMK sebesar Rp4.877.211 untuk tahun 2025, naik 6,5 persen dari tahun sebelumnya.
Berikut rincian lengkap upah minimum di Jabodetabek 2025:
- Jakarta: Rp5.396.761
- Kabupaten Bogor: Rp4.877.211
- Kota Bogor: Rp5.126.897
- Kota Depok: Rp5.195.720
- Kabupaten Tangerang: Rp4.901.117
- Kota Tangerang: Rp5.069.707
- Kota Tangerang Selatan: Rp4.900.000
- Kota Bekasi: Rp5.690.752
- Kabupaten Bekasi: Rp5.558.514
Meski begitu, penetapan UMP ini memunculkan pertanyaan baru, apakah langkah ini cukup jika dibandingkan dengan tren kenaikan biaya hidup?
Menurut Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata biaya hidup di Jakarta mencapai Rp14,88 juta per bulan untuk satu rumah tangga.
Angka ini jauh di atas UMP yang ditetapkan untuk 2025. Dengan asumsi rata-rata anggota rumah tangga adalah 4 orang, biaya hidup per individu mencapai sekitar Rp3,72 juta.
Dengan UMP yang baru, seorang pekerja yang menjadi kepala keluarga tetap akan kesulitan mencukupi kebutuhan rumah tangga hanya dengan gaji minimum.
Tren kenaikan biaya hidup di Jakarta pun terus meningkat. Pada 2018, biaya hidup rata-rata tercatat sebesar Rp13,45 juta per bulan.
Angka ini naik menjadi Rp14,88 juta pada 2022, menunjukkan kenaikan sebesar 10,63 persen dalam empat tahun, atau sekitar 2,66 persen per tahun.
Jika terus berlanjut, biaya hidup di Jakarta pada 2025 diperkirakan akan mencapai Rp15,6 juta per bulan.
Kesenjangan yang signifikan ini semakin mencuat ketika melihat distribusi kenaikan biaya hidup. Lonjakan harga kebutuhan pokok, transportasi, dan perumahan menjadi faktor utama.
Contohnya, tarif transportasi umum naik rata-rata 10 persen pada 2024, sementara harga sewa tempat tinggal meningkat hingga 8 persen. Hal ini menambah beban pengeluaran harian pekerja.
Selain itu, survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) mengindikasikan bahwa upah minimum ideal untuk pekerja di Jakarta seharusnya mendekati Rp6 juta per bulan.
UMP yang ditetapkan masih belum mampu mencapai angka ini, sehingga banyak pekerja masih bergantung pada pendapatan tambahan atau pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Kesenjangan antara kenaikan UMP dan biaya hidup ini juga terlihat jika dibandingkan dengan kota-kota besar lain di ASEAN.
Jika dibandingkan dengan kota-kota besar di Asia Tenggara, posisi UMP Jabodetabek yang rata-rata mencapai Rp5 juta terlihat cukup kompetitif.
Di Bangkok, Thailand, misalnya, upah minimum harian sebesar THB 354 (sekitar Rp155.000) bila dihitung secara bulanan mencapai Rp4,65 juta.
Sementara itu, Kuala Lumpur menetapkan gaji minimum RM 1,500 (sekitar Rp4,9 juta). Meskipun nominal UMP di Jakarta lebih tinggi, biaya hidup di kota-kota tersebut sering kali lebih rendah, sehingga daya beli pekerja terasa lebih baik dibandingkan di Jakarta.
Sebagai contoh, rata-rata sewa apartemen satu kamar di Jakarta mencapai Rp6 juta per bulan, lebih murah dibandingkan Singapura yang mencapai SGD 2,500 (sekitar Rp28 juta), tetapi lebih tinggi dibandingkan Manila.
Ini menunjukkan bahwa kesejahteraan pekerja tidak hanya bergantung pada angka upah, tetapi juga pada efisiensi pengeluaran untuk kebutuhan pokok.