PARBOABOA, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam kesempatan demonstrasi memperingati Hari Buruh, Rabu (01/05/2024), menyerukan pentingnya penghargaan terhadap kebebasan jurnalis.
Seruan ini disampaikan mengingat nasib buruh yang semakin tidak menentu. Beban kerja yang besar dan gaji yang tidak seimbang menyulitkan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup harian.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI, Edi Faisol mengungkapkan bahwa Hari Buruh yang telah dimulai sejak 1 Mei 1886 ini, bukan hanya momentum tahunan.
Ia menegaskan pentingnya refleksi untuk mengenang semangat perlawanan para buruh dalam menghadapi situasi represif yang ditunjukkan negara.
Sejumlah kasus seperti jam kerja yang berlebihan dan rendahnya upah, menjadi persoalan yang sering dihadapi kaum buruh di Indonesia.
Karena itu, Edi menekankan agar semangat kelahiran Hari Buruh perlu dijiwai oleh seluruh elemen masyarakat, terutama pemerintah guna merumuskan kebijakan strategis yang memperhatikan nasib hidup kaum buruh.
Pertimbangan pada jam kerja, upah, dan masa depan kaum buruh harus dipikirkan secara matang agar kaum buruh tetap memperoleh jaminan hidup yang adil dan setara.
Nasib ‘Buruh Media’
Istilah 'buru media' merujuk pada sekumpulan orang yang mengabdikan diri sebagai jurnalis, reporter, penulis, dan tenaga kerja yang bekerja di sebuah perusahaan media. Tugas utama mereka adalah menyebarkan informasi ke tengah masyarakat.
Hal ini memiliki pertautan dengan tujuan edukasi, yakni sebagai sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan penekanan demikian, kehadiran 'buru media' memiliki andil penting.
Secara normatif, keberadaan mereka dilindungi oleh ketentuan dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Sekretaris Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DKI Jaya, Kesit Budi Handoyo menegaskan bahwa UU tersebut bermaksud melindungi aksesibilitas 'buru media'.
Mereka tidak boleh direpresi oleh pihak manapun, termasuk di dalamnya meminta untuk tidak menyebarkan berita.
Kebebasan mereka harus dihargai, selain karena dimandatkan dalam UU, tetapi juga bertujuan untuk menjamin hak hidup dan masa depan mereka.
Dalam catatan AJI, 'buruh media' di berbagai wilayah masih sering mendapatkan tindakan eksploitatif dari pimpinan media.
Pada Februari-April 2023, misalnya ditemukan hampir 50 persen jurnalis yang dibayar di bawah upah minimum.
Belasan persen lainnya bahkan mengungkapkan bahwa upah mereka tidak menentu atau hanya mendapat upah dari komisi iklan.
Di samping itu, riset AJI yang melibatkan 428 jurnalis di berbagai daerah juga menemukan akal-akalan perusahaan dalam perjanjian kerja.
Sebanyak 52,6 persen jurnalis di Indonesia yang memiliki hubungan kerja waktu tertentu (kontrak) dan hanya 11,2 persen jurnalis yang terikat perjanjian kerja waktu tidak tertentu (tetap).
AJI menemukan bahwa jurnalis dengan status pekerja tetap ternyata tidak mendapat upah bulanan. Upah mereka justru dihitung dari satuan hasil atau jumlah berita yang ter-publish ke media.
Dengan kata lain, hak mereka sesungguhnya tidak berbeda dengan jurnalis yang menyandang status sebagai pekerja waktu tertentu (kontrak).
Secara terpisah, Pengamat Politik dan Kebijakan Negara FHISIP Universitas Terbuka, Insan Praditya Anugrah menyatakan, negara seharusnya menghapus sistem pekerja kontrak dan outsourcing karena dinilai tidak pro rakyat.
"Adanya sistem kerja kontrak tanpa batas waktu melemahkan posisi tawar pekerja karena hak mereka sebagai pekerja dan besaran upah tidak seperti pegawai tetap," ungkap Insan dalam keterangan tertulis yang diterima PARBOABOA, Rabu (01/04/2024).
Ia mendesak agar negara menghapus sistem kontrak dan outsourcing, sebab berdampak melemahkan daya tawar kaum buruh. Karir mereka dengan mudah diakhiri melalui pertimbangan 'suka tak suka' perusahaan.
"Dengan outsourcing dan pekerja kontrak, pihak perusahaan memiliki daya tawar lebih besar, sedangkan buruh dapat diakhiri karirnya ketika dinilai tidak sesuai lagi dengan kepentingan perusahaan", lanjut Insan.
Ia menilai bahwa praktik kontrak dan outsourcing merupakan bentuk eksploitasi terhadap pekerja. Mereka bekerja mati-matian untuk menghasilkan produksi tanpa ada arah yang jelas terkait karir.
Di samping persoalan kontrak kerja, AJI juga menemukan rendahnya penghormatan dan perlindungan terhadap hak perempuan 'buru media'.
Mereka kerap tidak mendapat hak cuti. Sebaliknya, sebagian 'buru media' perempuan yang melahirkan harus kehilangan kerja.
Persoalan ini diperparah dengan angka PHK yang dialami ribuan jurnalis sejak pandemi Covid-19 hingga 2024.
Pemecatan tersebut, tak ayal berlindung di balik UU Cipta Kerja yang semula dikritik oleh perusahaan media sendiri.
Selain persoalan-persoalan tersebut, data Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen pada 2015 menemukan banyaknya buruh media yang tidak memiliki wadah untuk berjuang.
Dari banyaknya serikat pekerja media di Indonesia, hanya 40 serikat yang aktif. Konsekuensinya, serikat-serikat yang tidak aktif akan dengan mudah terdistraksi dan mendapat PHK.
Empat Usulan AJI
Bertolak dari persoalan-persoalan di atas, AJI mengusulkan empat hal penting bagi pemerintah dalam memperhatikan hak-hak 'buruh media'.
Pertama, mengajak 'buruh media' untuk membentuk serikat pekerja di perusahaan media atau lintas perusahaan media.
Hal ini bermaksud agar menaikkan posisi tawar mereka dan mencegah terjadinya eksploitasi terhadap tenaga 'buruh media'.
Kedua, mengusulkan agar Dewan Pers dan pemerintah dapat berkolaborasi dalam menghentikan eksploitasi terhadap buruh media. Tujuannya agar memastikan hak normatif buruh media dipenuhi perusahaan media.
Menurut AJI, hal ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan soal upah layak, asuransi, dan perlindungan terhadap keselamatan kerja ‘buruh media’.
Sebab, lanjut AJI, normalisasi praktik buruk di media sesungguhnya merusak tatanan demokrasi karena buruh media tidak dapat bekerja secara profesional.
Ketiga, mengajak perusahaan media untuk menghentikan eksploitasi terhadap 'buruh media'.
Langkah ini dapat ditempuh dengan memenuhi hak-hak buruh perempuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Keempat, mengusulkan agar Pemerintah dan DPR mencabut UU Cipta Kerja dan Peraturan turunannya yang terbukti merugikan buruh media dan buruh pada umumnya.
Dengan empat usulan di atas, AJI yakin, hak-hak buruh pada umumnya dan ‘buruh media’ secara lebih khusus akan terpenuhi.