PARBOABOA, Jakarta - Platform gim daring Roblox kembali menuai sorotan, baik di Indonesia maupun di dunia internasional.
Popularitasnya yang luar biasa di kalangan anak-anak justru menimbulkan kekhawatiran serius mengenai keamanan dan dampak psikologis bagi pengguna usia dini.
Laporan Pew Research Center tahun 2024 menunjukkan bahwa delapan dari sepuluh remaja usia 13–17 tahun menilai pelecehan dalam permainan daring sebagai persoalan serius.
Bahkan, lebih dari 40 persen di antaranya mengaku pernah mendapatkan sebutan yang merendahkan saat bermain. Fenomena ini termasuk dalam praktik perundungan siber (cyberbullying) yang kerap muncul di platform Roblox.
Menanggapi fakta ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, menyatakan bahwa pihaknya mendukung langkah tegas terhadap Roblox bila terbukti berbahaya.
Dalam pernyataannya pada Senin (18/8/2025), Arifah bilang, "lebih baik platform tersebut diperbaiki oleh pengembang agar ramah anak. Namun, jika semakin merugikan, opsi pemblokiran bisa dipertimbangkan."
Arifah menekankan bahwa anak-anak sering kali belum mampu menggunakan gawai secara bijak, sehingga peran orang tua dalam mendampingi sangat penting.
Ia menambahkan, sejumlah laporan masyarakat menunjukkan anak-anak menghabiskan waktu berlebihan di Roblox hingga melupakan aktivitas lain yang lebih sehat.
Saat ini, Kementerian PPPA tengah mengkaji persoalan ini bersama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) serta Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi).
Kekhawatiran serupa juga diungkapkan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti. Dalam kunjungan ke sebuah sekolah dasar di Jakarta, ia mengingatkan murid agar menjauhi permainan yang sarat kekerasan, termasuk Roblox.
Mu’ti menilai anak-anak usia sekolah dasar belum mampu membedakan mana tontonan fiksi dan mana kenyataan, sehingga cenderung meniru perilaku yang mereka lihat.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, telah bertemu dengan perwakilan Roblox Asia Pacific. Ia menegaskan bahwa perusahaan harus segera melakukan pembenahan agar sesuai dengan aturan perlindungan anak di Indonesia.
Beberapa langkah yang diminta antara lain pembatasan komunikasi antar pengguna anak, penyaringan konten vulgar buatan pengguna, serta penegasan fitur kontrol orang tua.
Pemerintah memberikan waktu tertentu untuk perbaikan sebelum mengevaluasi kembali keberlangsungan platform ini di Indonesia.
Gugatan di Amerika Serikat
Tidak hanya di Indonesia, Roblox juga menghadapi persoalan hukum di luar negeri. Jaksa Agung Louisiana, Liz Murrill, baru-baru ini mengajukan gugatan terhadap perusahaan tersebut.
Dalam dokumen pengadilan, Roblox dituding gagal melindungi anak-anak dari predator seksual hingga disebut sebagai "sarang predator."
Murrill menyoroti lemahnya verifikasi usia di Roblox yang memungkinkan pengguna dewasa berpura-pura menjadi anak-anak, serta anak-anak dengan mudah memalsukan usia mereka.
Gugatan setebal 42 halaman itu bahkan menyinggung keberadaan gim buatan pengguna dengan konten seksual eksplisit. Menurutnya, perusahaan lebih mengutamakan keuntungan dibandingkan keselamatan pengguna muda.
Menanggapi tuduhan itu, juru bicara Roblox membantah keras dan menegaskan perusahaan telah menginvestasikan banyak sumber daya untuk meningkatkan keamanan, mulai dari moderasi konten, pembatasan pertukaran informasi pribadi, hingga pemblokiran tautan berbahaya.
Namun, perusahaan mengakui bahwa selalu ada pihak yang berusaha mengakali sistem keamanan.
Apa itu Roblox?
Sebagai informasi, Roblox dikenal sebagai salah satu platform gim daring terbesar di dunia, dengan puluhan juta pengguna aktif setiap harinya. Platform ini diluncurkan oleh Roblox Corporation (2006) yang berbasis di Amerika Serikat.
Keunikannya terletak pada fitur yang memungkinkan pemain tidak hanya bermain, tetapi juga menciptakan gim mereka sendiri. Popularitas inilah yang membuat Roblox begitu diminati anak-anak.
Namun, di balik popularitas tersebut, muncul pertanyaan besar mengenai sejauh mana Roblox aman bagi generasi muda.
Kasus di Amerika Serikat dan wacana pemblokiran di Indonesia menunjukkan bahwa masalah perlindungan anak dalam ruang digital kini semakin mendesak untuk segera ditangani.