Revolusi Sosial Sumatra Timur (Bagian Ketiga)
PARBOABOA - Pasukan Sekutu yang datang dengan dalih melucuti pasukan Jepang, mendarat di Jakarta pada 29 September 1945.
Belanda ternyata membonceng kekuatan yang lekas menyebar ke pelbagai kawasan termasuk Sumatra Timur itu. Kaum aristokrasi lama girang menyambut sahabat lama yang kembali datang. Betapa tidak.
Jepang yang berkuasa sejak 1942 telah memerosotkan kehidupan berkelimpahan lapisan ningrat tanpa perlu mengingkari status sosial mereka.
Jadi wajarlah kalau fajar harapan seketika terbit di hati kalangan bangsawan itu begitu melihat satuan Belanda ada di tengah bala tentara besar yang dipimpin Inggris tersebut.
Di Sumatra Timur para sultan dan raja menjalin ikatan secara terbuka atau di bawah tangan dengan Inggris-Belanda. Deli, Serdang, dan Langkat yang merupakan kesultanan terbesar, terlebih.
Pendukung mereka menggaunginya secara demonstratif. Ada dari mereka yang sampai berpawai untuk menyatakan suka cita.
Kelompok-kelompok pemuda revolusioner yang sedang dirasuki roh kemerdekaan merasa dikhianati. Barisan bersenjata yang merupakan produk dari masa Jepang yang militeristik lantas ada yang membuat perhitungan.
Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang merupakan kelompok terkuat di Sumatra Timur, misalnya, sampai mengultimatum.
Pada 30 November 1945 mereka menekan Sultan Langkat—paman kandung yang juga mertua Amir Hamzah—Machmud, agar lekas mengakui Republik, memutuskan hubungan dengan Inggris dan NICA, dan menyerahkan 2/3 senjatanya ke mereka. Tekanan itu diindahkan walau tak sepenuhnya.
Ketegangan berketerusan dengan derajat yang naik seiring perguliran waktu. Kelompok pemuda radikal eksponen Markas Agung yang dimotori Pesindo, PNI, dan PKI melancarkan apa yang kemudian dikenal ‘revolusi sosial’.
Istana-istana mereka kepung dan satroni. Para penghuni dan kerabatnya yang di luar mereka tawan.
Revolusi sosial bermula di Tanah Karo pada 4 Maret 1946 malam. Gerakan ini cepat menjalari Simalungun, Asahan, Langkat, Serdang, dan kawasan lain.
Penjarahan dan pembantaian terjadi di sejumlah tempat. Sasarannya adalah ‘kaum feodal’. Aksi paling berdarah berlangsung di Asahan. Tak kurang dari 1.200 orang kehilangan nyawa dalam beberapa hari.
Di Simalungun penguasa Raya, Tuan Kaduk Saragih, dihabisi di jembatan. Barisan Harimau Liar-nya Saragih Ras yang menyudahi ayahanda musisi jazz terkemuka Bill Saragih tersebut.
Di Tiga Dolok [dekat Pematang Siantar], Tuan Dolok Sinaga, juga kehilangan nyawa. Dengan Tuan Dolok kami masih berkerabat. Istrinya adalah adik kandung nenekku, Hini Gultom. Hini adalah istri kakek kandungku, Raja Ihutan Ajibata, Ompu Raja Doli Sirait.
Menurut cerita yang kudengar di masa kecil, putra Tuan Dolok yang kelak menjadi tentara di Siantar merupakan bagian dari gerakan revolusi sosial juga. Saat ayahnya dibantai, dia tengah mengobarkan api revolusi sosial di kota lain. Ironis, bukan?
Pada 4 Maret 1946 massa mengepung istana Binjai tempat Amir Hamzah bermukim. Tiga hari berselang sang penyair dan sejumlah kerabatnya dibawa pergi oleh kelompok bersenjata.
Sejak itu, rimba Ketua Indonesia Muda Solo (di awal 1930-an) yang oleh pemerintah Republik Indonesia yang masih berusia 2 bulan dijadikan Asisten Residen Langkat [dengan pangkat bupati] itu tak jelas lagi.
Belakangan hari baru terbetik kabar bahwa kawan sesekolah sastrawan Achdiat Karta Miharja dan Armijn Pane di AMS Solo jurusan Sastra Timur itu dipenggal kepalanya oleh algojo revolusi sosial. Lagi-lagi sebuah ironi!
Raja Penyair
Selulus dari HIS di kotanya, Binjai, Amir Hamzah yang sejak kecil sudah akrab dengan karya para pujangga utama Tanah Melayu melanjut ke MULO di Medan. Saat hendak meneruskan ke kelas 2 ia pindah ke MULO di Batavia.
Dari ibukota Hindia-Belanda ia lantas berpaling ke Solo untuk meneruskan pendidikan di AMS. Di Solo-lah lelaki gaul berperangai lembut ini mulai bergiat menulis puisi.
Di sana pula menjalin tali kasih dengan adik kelasnya, Ilik Sundari. Karya-karyanya—yang diwarnai nafas sufistik di sana-sini—merupakan cuatan olah batinnya dalam berhubungan dengan Sang Pencipta, ibundanya di Binjai, dan Ilik Sundari.
Selulus AMS, sang pangeran Langkat kembali ke Batavia. Di kota ini ia melanjut ke Sekolah Hakim Tinggi (Rechts Hoge School).
Ia tak sampai lulus sebab ayahnya mendadak meninggal. Ibunya juga berpulang tak lama berselang. Tak punya penyandang dana lagi, ia lantas bekerja sebagai guru di Perguruan Rakyat, Taman Siswa, dan Muhammadiyah.
Di masa itu ia bahu-membahu dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane mendirikan majalah Pujangga Baru. Di sana ia menjadi redaktur.
Memenuhi perintah Sultan Langkat, dia akhirnya kembali ke tanah kelahirannya untuk mengabdi ke kerajaan. Sultan itu tak lain dari abang kandung ayahnya.
Dengan putri penguasa itulah ia kemudian menikah. Untuk itu Ilik Sundari pujaan hati serta gerakan kemerdekaan bangsa harus ia kesampingkan.
Luka batin tentu saja mendera sang mantan Ketua Indonesia Muda Solo. Karyanya berikut ini cocok untuk menggambarkan suasana hatinya.
Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus
Kepulangan ke tanah kelahiran merupakan akhir masa kreatif penulis buku Sastra Melayu dan Raja-rajanya, sebagai sastrawan.
Meski era bergiat itu tak panjang, ia telah meninggalkan torehan dalam di ranah sastra Indonesia lewat Rindu Dendam dan Nyanyi Sunyi, terutama.
Karya ini, terutama Nyanyi Sunyi, sungguh sebuah warna baru. Ia beringsut jauh dari wilayah pantun yang dipagari ‘kawat berduri’ sampiran-inti dan larik-larik serba berketentuan dalam jumlah.
Bahasa Indonesia—bukan bahasa Melayu—yang dipakainya menjelajah wilayah puspa kemungkinan. Sungguh terobosan yang mengesankan.
Sahabatnya, Sutan Takdir Alisjahbana pun secara post mortem menjulukinya ‘Raja Penyair Pujangga Baru’. Menurutku Takdir tak berlebihan.
Tamat.Editor: Hasudungan Sirait