Buruh Desak Cabut Omnibus Law dan Tuntut UU Perlindungan Tenaga Kerja dalam Aksi May Day

Sejumlah Buruh Melakukan Demonstrasi Memperingati May Day Yang Jatuh Setiap Tanggal 1 Mei. (Foto: PARBOABOA/Defri Ngo)

PARBOABOA, Jakarta - Ribuan buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) turun ke jalan untuk memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day. 

Aksi massa dipusatkan di depan kompleks DPR/MPR/DPD RI, Senayan, Jakarta Pusat.

Dalam orasinya, Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Sunarno, menyoroti dampak krisis ekonomi global dan perang dagang yang kian mengancam kondisi pekerja di Indonesia. 

Ia menyampaikan kekhawatiran bahwa situasi ini bisa merambat ke negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia.

"Seperti biasanya, krisis dan perang dagang lambat laun juga akan terjadi dan berdampak terhadap negara-negara lainnya, termasuk negara Indonesia di ASEAN dan juga negara ASEAN lainnya," ujar Sunarno saat menyampaikan orasi di depan gedung parlemen, Kamis (01/05/2025).

Ia juga mengkritik pemerintah yang dinilai belum mampu mengantisipasi dampak krisis tersebut, khususnya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang makin masif.

Sunarno menyebut bahwa keberadaan Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja justru memperburuk kondisi buruh.

"Kawan-kawan masih ingat Omnibus Law Cipta Kerja? Dengan adanya Omnibus Law Cipta Kerja banyak dari perusahaan-perusahaan yang akan dengan mudah melakukan PHK terhadap buruhnya," tegasnya.

Ia menambahkan bahwa pengurangan hak pesangon yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 menjadi salah satu faktor yang dimanfaatkan perusahaan untuk melakukan PHK secara sepihak.

"Karena salah satunya adalah ada pengurangan hak pesangon yang diatur dalam PP 35 tahun 2021, betul? Sehingga banyak perusahaan yang sengaja memanfaatkan situasi ini untuk melakukan PHK terhadap kaum buruh," lanjutnya.

Dalam peringatan May Day kali ini, para buruh menuntut pemerintah dan DPR untuk segera mencabut UU Cipta Kerja beserta peraturan turunannya. Mereka juga mendorong agar disusun perundang-undangan baru yang benar-benar melindungi hak-hak pekerja.

"Hal lain dalam tuntutan kita hari ini, pencabutan Omnibus Law Cipta Kerja dan PP turunannya. Kita mendesak DPR dan pemerintah untuk membuat undang-undang perlindungan buruh atau undang-undang yang pro buruh," tegas Sunarno.

Ia juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap buruh rentan, bukan hanya mereka yang bekerja di sektor industri manufaktur.

"Bukan hanya kepada buruh yang bekerja di industri manufaktur tetapi UU itu juga harus melindungi kawan-kawan buruh yang saat ini dikategorikan sebagai pekerja rentan atau buruh rentan," tutupnya.

Massa aksi Gebrak mulai bergerak dari depan gedung TVRI menuju kompleks DPR/MPR/DPD RI dengan berjalan kaki. 

Mereka mulai tiba sekitar pukul 12.10 WIB, lengkap dengan atribut serikat, bendera, spanduk, hingga ogoh-ogoh berbentuk tokoh asing dan kepala babi, sebagai simbol protes.

Aksi tersebut membuat Jalan Gatot Subroto tertutup total, termasuk akses keluar tol Semanggi. Hanya jalur bus TransJakarta yang masih bisa dilalui kendaraan umum.

Adapun beberapa tuntutan utama yang diusung dalam aksi May Day oleh Gebrak antara lain:

Pertama, mencabut Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya, menolak gelombang PHK massal, serta mengesahkan RUU Ketenagakerjaan yang berpihak pada buruh dan menjamin kepastian kerja yang layak.

Kedua, segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT), memberikan perlindungan hukum bagi PRT, menghapus sistem kemitraan bagi pengemudi ojol, taksi daring, dan kurir, serta menjamin perlindungan bagi tenaga kesehatan, pekerja kelautan, pertanian, perkebunan, tambang, dan buruh migran.

Ketiga, menghentikan penggusuran permukiman rakyat, menjalankan reforma agraria sejati dengan memberikan lahan dan teknologi kepada petani kecil.

Keempat, menghentikan proyek-proyek strategis nasional (PSN) yang merusak lingkungan dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat demi kesejahteraan dan kelangsungan hidup mereka di seluruh Indonesia.

Kelima, mencabut UU TNI, menolak militer masuk ke kampus, pabrik, dan desa, serta menuntut militer kembali ke barak tanpa campur tangan dalam urusan sipil.

Selain di depan gedung DPR, aksi peringatan Hari Buruh juga berlangsung di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat.

Sejarah May Day

Hari Buruh Internasional (May Day) yang diperingati setiap tanggal 1 Mei memiliki akar sejarah yang panjang, termasuk di Indonesia. 

Awalnya, May Day merupakan simbol perjuangan buruh dunia yang lahir dari aksi besar-besaran di Chicago, Amerika Serikat, pada 1 Mei 1886. 

Saat itu, ribuan buruh menuntut penerapan jam kerja delapan jam sehari. Aksi tersebut berujung pada peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Tragedi Haymarket. 

Sejak itulah, 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan para pekerja.

Di Indonesia, peringatan Hari Buruh pertama kali berlangsung pada tahun 1918 pada masa penjajahan Hindia Belanda. Gerakan buruh tumbuh seiring dengan meningkatnya kesadaran kelas pekerja akan hak-hak dasar mereka. 

Tokoh-tokoh pergerakan seperti Semaun dari Serikat Buruh Kereta Api menjadi pelopor perjuangan buruh di masa itu. 

Namun, pemerintah kolonial yang merasa terancam oleh gerakan ini kemudian melarang perayaan May Day karena dianggap subversif dan membahayakan stabilitas kekuasaan.

Setelah Indonesia merdeka, Hari Buruh kembali mendapatkan tempat. Pada era pemerintahan Presiden Sukarno, peringatan May Day diakui secara resmi dan bahkan dirayakan secara terbuka sebagai bentuk solidaritas terhadap perjuangan buruh. 

Namun, situasi berubah drastis ketika Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto berkuasa. Perayaan May Day dilarang, dan segala bentuk unjuk rasa buruh dibatasi secara ketat. 

Pemerintah saat itu menganggap gerakan buruh sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional dan mengasosiasikannya dengan ideologi kiri atau komunisme. 

Akibatnya, selama lebih dari tiga dekade, Hari Buruh di Indonesia seolah tenggelam tanpa pengakuan resmi. Baru setelah era reformasi bergulir pada tahun 1998, ruang demokrasi mulai terbuka kembali. 

Serikat-serikat buruh kembali aktif memperjuangkan hak-hak pekerja dan menjadikan 1 Mei sebagai momentum untuk menyuarakan berbagai tuntutan. 

Aksi unjuk rasa dan peringatan Hari Buruh pun kembali mewarnai jalanan ibu kota dan berbagai kota besar lainnya setiap tahunnya. 

Puncaknya terjadi pada 2013 ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional. Penetapan ini menjadi simbol pengakuan resmi negara atas perjuangan kaum buruh dan pentingnya peringatan May Day.

Karena itu, May Day bukan sekadar hari libur. Ia telah menjadi simbol perlawanan, solidaritas, dan perjuangan bagi jutaan pekerja di Indonesia. 

Setiap tahun, para buruh turun ke jalan menyuarakan hak atas pekerjaan yang layak, penolakan terhadap sistem kerja kontrak dan outsourcing, serta penolakan terhadap berbagai kebijakan yang dinilai merugikan, seperti Undang-Undang Cipta Kerja. 

May Day menjadi pengingat bahwa kesejahteraan buruh adalah fondasi bagi keadilan sosial dan pembangunan nasional yang berkeadilan.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS