Cornel Simanjuntak, Sang Pemusik Pejuang asal Siantar

Jakarta bergolak. (Foto: Dok. Jakarta Kota Proklamasi)

PARBOABOA - Kuman TBC kian menggila saja menggerogoti tubuhnya. Dia yang selalu bergairah akibat jiwa yang senantiasa bergelora kini sudah jauh dari perkasa. Terkapar tak berdaya di Sanatorium Pakem dan jauh dari segala—dari kawan-kawan yang berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan serta sanak keluarga yang sejak lama ia tinggalkan di Sumatera—membuat udara dingin desa di dekat Kaliurang, Yogyakarta, tersebut ia rasakan kian menyiksa saja karena hanya mendekatkan diri ke keterasingan. Sajak Chairil Anwar berikut semakin pas menggambarkan nestapanya hari lewat hari.

1943

Racun berada di reguk pertama/ Membusuk rabuk terasa di dada/ Tenggelam darah dalam nanah/ Malam kelam-membelam/ Jalan kaku-lurus. Putus/ Candu/ Tumbang/ Tanganku menadah patah/ Luluh/ Terbenam/ Hilang/ Lumpuh/. Lahir/ Tegak/ Berderak/ Rubuh/ Runtuh/ Mengaum. Mengguruh/ Menentang.

Menyerang/ Kuning/ Merah/ Hitam/ Kering/ Tandas/ Rata/ Rata/ Rata/ Dunia/ Kau/ Aku / Terpaku.

Cornel Simanjuntak mengalami luka tembak di paha ketika bersama kawan-kawannya bertempur melawan Sekutu di bilangan Senen, Jakarta, Desember 1945. Ia, seperti dikisahkan kawannya, Binsar Sitompul (BPK Gunung Mulia 1986 dan Pustaka Jaya 1987), dirawat di CBZ yang kini bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Beberapa hari saja di sana ia sudah dipindahkan kawan-kawannya ke Yogya sebab terbetik berita bahwa musuh akan men-sweeping CBZ untuk mencari kaum republiken yang dirawat. Di Yogya ia tinggal bersama Gayus Siagian, D. Djajakusuma, Suryo Sumanto, dan Usmar Ismail.

Lantas batuk kering tak berkesudahan mendera. Badannya melemah sehingga beratnya terus menyusut. Dokter menganjurkan agar ia disanatoriumkan saja ke Pakem. Anjuran diikuti. Tapi kondisinya yang sudah buruk, ditambah obat yang tak cukup akibat zaman sulit, membuat sekitar lima bulan saja ia bertahan.

Pada 15 September 1946 maut merenggut. Pejuang yang terakhir aktif di markas Angkatan Pemuda Indonesia (API) Menteng 31 itu pergi dalam kesepisendirian. Hari itu juga sebuah truk melaju lambat membawa jenazahnya untuk dikuburkan di permakaman umum Kerkop, di jantung Yogya. Pusaranya sederhana saja: berundak tiga yang rendah, dengan sebuah baki pedupaan di kaki dan sebuah tangga nada di kepala. Prasasti di tingkat kedua bertulisan “Gugur sebagai Seniman dan Pradjurit C. Simandjoentak 15-9-1946 (Hersri Setiawan, 1982).

 

Karya Cornel yang serba berbobot. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Pemuncak

Cornel Simanjuntak dan Chairil Anwar. Ada sejumlah pertautan dalam kisah hidup mereka, selain perbedaan tentunya. Sama-sama pelopor-pemuncak di bidangnya: Chairil untuk puisi dan Cornel untuk lagu seni atau tembang puitik (lied) yang di Indonesia lebih dikenal sebagai lagu seriosa. Mencurahkan penuh pikiran pada penciptaan karya, keduanya berumur pendek: Cornel 26 tahun dan Chairil jalan 27. Akibat hidup singkat, karya mereka tak sampai banyak; namun sebagian telah menjadi tonggak sejarah (milestone) sehingga mengekal. 

Berselisih umur sekitar satu setengah tahun (Cornel lebih tua), mereka hidup sezaman dengan lingkungan pergaulan yang dekat. Misalnya pernah sama-sama menjadi anggota Maya, perkumpulan sandiwara di masa pendudukan Jepang (1942-1945). Di kelompok ini ada Abu Hanifah, Usmar Ismail, Rosihan Anwar, Djajakusuma, Sudjojono, Harry Singgih, Sumanto, dan yang lain. 

Berpendidikan Belanda (Cornel lulusan sekolah guru, Chairil sampai kelas dua di MULO), di Jakarta mereka masuk ke lingkup pergaulan elit terpelajar berlatar belakang seniman-budayawan. Di sana mereka kemudian terimbas gelombang revolusi kemerdekaan dan mencoba berkontribusi lewat bidang masing-masing. Chairil mencipta sajak “Diponegoro”, “Aku”, “Siap Sedia” (“Kepada Angkatanku”), “Persetujuan dengan Bung Karno” atau “Prajurit Jaga Malam”. Cornel menggubah “Pada Pahlawan”, “Indonesia Bangun”, “Maju Tak Gentar”, “Teguh Kukuh Berlapis Baja”, “Mojopahit”, “Tanah Tumpah Darahku”. “Maju Indonesia”, atau “Sorak-sorak Bergembira”.

Dalam pembawaan keseharian keduanya juga ada persamaan. Selintas tampak tak pedulian (ignore) padahal sesungguhnya pribadi yang hangat dan gemar bicara terutama kalau sudah berada di habitatnya. Necis persamaan lainnya, yang ditandai dengan pakaian berkanji-berseterika yang selalu dikenakan.

Perbedaan mereka, kalau dicari betul, kemungkinan tak kurang banyaknya. Tak sekadar Chairil seorang Minang yang lahir di Medan, Islam, sempat berkeluarga; sedangkan Cornel Batak kelahiran Pematang Siantar (Sumatra Utara), Katolik, dan bujangan. Tapi juga gaya hidup dan latar keluarga, misalnya. 

Lagu nasional ‘Maju Tak Gentar’ karya Cornel. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Chairil cenderung urakan atau bohemian sedangkan Cornel seorang yang berdisiplin terhadap dirinya sendiri. Pendidikan Katoliknya (selulus dari HIS Santo Fransiskus Medan tahun 1937 ia melanjut ke HIK Kolese Xaverius, Muntilan, Jawa Tengah) jelas banyak membentuk disiplin dirinya. Chairil merupakan produk keluarga broken home (ayahnya, pegawai yang gajinya berkecukupan, menikah lagi di Medan sehingga si penyair ikut ibunya yang memilih jalan melarat di Jakarta). Orang tua Cornel lengkap di Medan; ayahnya seorang reserse polisi yang berwatak keras. 

Racun Schouten

Pasangan Tolpus Simanjuntak-Rumina Siahaan beranak sembilan (dua perempuan). Salah satunya adalah Cornel, anak gaul yang sewaktu bersekolah di HIS sudah senang musik. Tapi kemampuan musiknya waktu itu baru sebatas bergitar dan menyanyikan lagu-lagu Barat yang dipelajarinya lewat radio dan film tontonan.

Di HIK Muntilan menjadi sangat melek ia akibat hamparan dunia lain yang memukau di depan mata. Kendati sekolah guru, musik digarisbawahi di sana. Seperti dicatat komponis Liberty Manik (1992), kelebihan HIK ini dibanding semua HIK di zaman Belanda adalah sangat mengutamakan pendidikan musik kendati hanya pelajaran ekstrakurikuler. Masa pendidikan di sekolah ini enam tahun, yang terdiri dari Onderbow (tiga tahun pertama) dan Bovenbow (tiga tahun terakhir).

Beruntung sekolah ini punya seorang pengajar yang sangat musikal, J. Schouten. Pater Jesuit ini menjadi master mind musik di sana. Di masa dia kepala Onderbow kala itu, sekolah ini memiliki orkes simfoni berperangkat lengkap dengan pemain tak kurang dari 60 orang. Mereka memainkan repertoar standar orkes simfoni, termasuk karya Beethoven, Bach, Haydn, Strauss (Johan) dan Wagner. Sesuatu yang sulit dibayangkan jika membandingkan dengan sekolah-sekolah sederajat yang ada di Republik Indonesia sekarang. Musik menjadi pelajaran wajib. Setiap siswa baru disuruh memilih satu alat musik yang ia sukai. Kakak kelas menjadi pembimbing bagi juniornya. Mereka yang permainannya sudah bagus akan diikutkan ke orkes simfoni. Sekolah ini juga memiliki paduan suara yang saban Minggu mengisi kebaktian misa di gereja setempat.

Cornel segera menjadi perhatian Schouten karena bakat musiknya yang menonjol. Bersuara tenor bagus—menurut Binsar Sitompul, seorang guru vokal terkenal orang Belanda di Jakarta jauh hari kemudian menyebut suaranya mirip Enrico Caruso, penyanyi tenor legendaris Italia—ia piawai bermusik terutama menggesek biola. Memainkan piano dan klarinet juga trampil. Di sisi lain Schouten juga kontan merebut sepenuhnya hati Cornel. Akibatnya, ‘racun musik’ yang ia taburkan dalam tempo singkat saja telah merasuki jiwa sang murid.

Seperti dikenang Liberty Manik dan Binsar Sitompul (bersama komponis musik instrumen Amir Pasaribu mereka keluaran HIK Muntilan), kalau sedang tak punya pekerjaan Schouten yang tak pernah memperlihatkan preferensinya pada murid tertentu dan pantang memuji di kelas, punya kebiasaan memanggil sejumlah murid berbakat musik ke sebuah ruangan. Di sana ia akan memainkan karya tertentu, Beethoven atau Schubert, misalnya, dan menganalisanya. Cornel rajin mengikuti kelas khusus ini. Pater ini adalah pengagum Franz Schubert. Tampaknya karena itulah Cornel juga jatuh hati pada komposer yang hanya berumur 31 tahun (1797-1828) pencipta lagu “Gretchen am Spinnrade”, lagu yang oleh para ktitikus dipandang sebagai nyaris sempurna, itu. Salah satu lagu Schubert yang paling ia sukai adalah “Ave Maria”.

Di orkes simfoni murid yang biasa dipanggil ‘Siman’ (dari Simanjuntak) ini lekas beroleh tempat. Dari memegang biola alto ia dipercaya memainkan biola utama. Di koor pun demikian. Memiliki suara tenor terbaik sesekolah, ia pun menjadi solis. Puncak apresiasi sekolah adalah tatkala dia diberikan kedudukan concertmaster.

Sejak tahun-tahun pertama di Muntilan kesukaan Cornel pada puisi sudah tampak. Karya penyair Pujangga Baru seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, JE Tatengkeng, atau Sutomo Djauhar Arifin ia akrabi. Salah satu yang ia paling sukai adalah buku kumpulan saja Sanusi Pane, “Madah Kelana”. Besar kemungkinan kesukaan pada syair ini akibat pengaruh Schubert juga. Sangat produktif, Schubert mencipta 600 buah lagu yang sebagian memanfaatkan puisi. Seluruh karya penyair Jerman sezaman ia baca dan sebagian ia buat menjadi lieder (puisi yang dimusikkan). Goethe, Schiller, Heine, Klopstock, Muller, Rochlitz, Erlich, Holty, dan Stadder menjadi sumber inspirasinya. Juga sastrawan Inggris, Shakespeare. Di antara semuanya karya Goethe, orang yang tak menggubris persahabatan yang ia tawarkan, yang paling banyak ia pakai: 70 puisi. 

Schubert yang mampu mencipta lagu bagus tiga sehari piawai dalam mensenyawakan syair dan melodi. Lewat Schouten Cornel berguru ilmu menggubah pada dia. Hasilnya, terutama kepekaan dirinya pada harmoni lirik dan melodi. Liberty Manik mengatakan, dari uraian Pater Schouten dengan tepat Cornel menarik kesimpulan bahwa dalam membuat Deutsche kunstlied (seni lagu Jerman) seorang komponis lebih dulu mencari suatu saja penyair sebagai dasar gubahannya sehingga baik melodi maupun iringan piano yang akan dibuat sedapat mungkin mengekspresikan isi sajak yang sudah dipilih.

 

Konser karya Cornel. (Foto: buku Seniman Pejuang dan Pejuang Seniman) 

Tampaknya terkena ‘efek Schubert’, sewaktu masih di Muntilan, kepada junior yang juga temannya, Binsar Sitompul, Cornel pernah mengatakan “Madah Kelana” kaya bunyi dan tuturannya halus berirama; seperti mengundang saja untuk dijadikan lagu. Kelak ia memang mengeksplorasi karya Sanusi Pane tersebut dalam sebuah overture drama berjudul sama (di samping mencipta lagu “Tanah Tumpah Darahku”, “Kemuning”, “Wijaya Kusuma”, dan “Kenangan”). Juga menggubah karya Tatengkeng (“Kupinta Lagi”) dan Usmar Ismail (“Pada Pahlawan”, “Teguh Kukuh Berlapis Baja”, “Mojopahit”, dan “Citra”).

Pada 1942, tahun kelima Cornel di Muntilan dan menjelang ujian akhir, pasukan Jepang mendarat. HIK Muntilan terpaksa tutup karena guru-gurunya yang bule pulang kalau tidak ditawan. Dalam kondisi seperti itu ijazah darurat pun diberikan kepada Cornel dan kawan-kawan setingkat yang dianggap telah memenuhi kualifikasi. Berbekal ijazah inilah ia mengajar di sebuah sekolah dasar di Magelang. Lagu “Mekar Melatiku” sempat ia hasilkan di sana.

Beberapa bulan saja dia menjadi guru di kota yang dekat Muntilan tersebut. Kegiatan rutin menjemukan dirinya. Ke Jakarta ia akhirnya bertolak di awal 1943. Mulanya ia menjadi guru di SD Van Lith. Ketika Kantor Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) berdiri, ia .bergabung dengan bagian musiknya. Di kantor ini ia bergaul erat dengan komponis Jepang Nobuo Lida dan menimba ilmu musik dari dia.

Tugas Cornel di Keimin Bunka Shidosho adalah mencipta lagu propaganda untuk penguasa Jepang. Berbekal ilmu musik yang ia miliki, tak sulit bagi dia menunaikannya. Banyak lagu ia hasilkan termasuk “Asia Sudah Bangun”, “Hancurkan Musuh Kita”, “Awaslah Inggeris dan Amerika”, “Mars Pasukan Sukarela”, “Puji Kepada Heiho”, “Bekerja”, “Di Kebun Kapas”, “Bikin Kapal”, “Menabung”, dan “Di Pabrik”.

Ciri khas ciptaannya adalah liriknya lugas-sederhana sehingga mudah dimengerti oleh siapa saja, nadanya provokatif, tapi dengan musikalitas yang tetap terjaga. Oleh penguasa Jepang ciptaan berlimpah ini disiarluaskan—lewat radio publik yang dipasang dimana-mana—ke seluruh negeri termasuk pelosok terjauh sehingga dengan sendirinya penciptanya menjadi terkenal.

Lewat radio yang sama pula lagu lain yang terbebas dari propaganda, seperti “Kupinta Lagi” (lagu koor yang memanfaatkan syair Tatengkeng ini merupakan salah satu karya terbaik dia) mengudara. Pun lagu “Taufan” dan “Pada Pahlawan”. Ia sendiri yang memimpin koor ketika ketiganya diradiokan.

Lagu “O Angin”, “Kemuning”, “Kenangan”, “Mekar Melati” atau “Citra” sudah dikenal publik ketika Binsar Sitompul memutuskan pindah ke Jakarta di penghujung 1943 ikut Cornel di rumah kontrakannya di Jalan Purbaya 21, Tanah Tinggi. Di kediaman sederhana tapi berpiano itu berdiam juga Gayus Siagian, dan Johannes Tambunan. Ditempati oleh Batak bujangan, kediaman ini dikenal orang sekitar sebagai rumah musik. Hanya saja ketika Binsar bergabung, piano di rumah ini tak pernah lagi disentuh Cornel sebab pikiran sang komponis sudah lebih ke jurusan lain. (Bersambung)

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS