Izin Ekspor Pasir Laut di Tengah Kerusakan Lingkungan Hidup dan Mimpi Buruk Para Nelayan

Izin ekspor pasir laut berdampak buruk bagi lingkungan dan para nelayan. (Foto: Dokumen WALHI Sulsel)

PARBOABOA, Jakarta - Dibuka kembalinya izin ekspor pasir laut oleh pemerintah RI mendapat catatan kritis dari sejumlah organisasi masyarakat sipil.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI menilai, kebijakan ini hanya mau menunjukkan watak kekuasaan yang rakus karena berorientasi pada keuntungan jangka pendek.

Tak hanya itu, kata WALHI, melalui regulasi tersebut, pemerintah menutup mata terhadap kerusakan lingkungan hidup di berbagai wilayah di Indonesia akibat penambangan pasir laut.

"Problem-nya karena ngebet mau nyari duit," kata Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Kecil WALHI, Parid Ridwanuddin, Selasa (15/9/2024).

Menurut Parid, kerugian serta kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir laut di Indonesia sudah terlalu banyak. 

Namun sayangnya, kondisi ini tak kunjung melahirkan kebijakan-kebijakan yang pro lingkungan.

Pemerintah, sebutnya, justru "ingin cari uang yang sifatnya cepat dan jangka pendek" sehingga "dibuatlah kebijakan semacam ini."

Ia menyebut, saat ini terdapat 26 pulau kecil di Indonesia tenggelam karena dampak penambangan pasir laut.

Pulau-pulau kecil itu tersebar di beberapa wilayah, antara lain di Kepulauan Riau, Bangka-Belitung hingga Jakarta.

Sementara itu, studi berbasis observasi dan wawancara Smeru Research Institute (2023) di NTB menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, penambangan pasir memang bisa menjadi peluang untuk meningkatkan ekonomi masyarakat lokal.

Di Lombok Utara, misalnya, kehadiran penambangan pasir telah membawa perubahan ekonomi yang cukup signifikan. Para penambang mampu menyekolahkan anak mereka hingga lulus SMA, merenovasi rumah dari semi-permanen menjadi permanen, dan membeli kendaraan bermotor untuk keperluan sehari-hari.

Namun begitu, dampak jangka panjang dari penambangan pasir tidak bisa diabaikan. Aktivitas ini berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius, seperti abrasi pantai dan kerusakan ekosistem laut yang mengancam tempat tinggal dan mata pencaharian warga setempat. 

Ini terjadi karena area penambangan sering kali berdekatan dengan wilayah tempat tinggal nelayan, mereka yang menggantungkan hidupnya pada keberlanjutan ekosistem laut.

Penelitian yang sama memperlihatkan dampak nyata penggalian pasir bagi warga wilayah pesisir di Pulau Sabu, NTT.

Di sana, rumah-rumah yang dulunya kokoh berdiri di pinggir pantai kini menjadi reruntuhan akibat abrasi. Erosi yang terus-menerus mempersempit garis pantai, membuat wilayah ini semakin terancam oleh ombak yang sewaktu-waktu bisa menghantam rumah-rumah warga. 

Situasi demikian memaksa warga untuk mempertimbangkan pindah ke tempat yang lebih aman.

Penelitian lain juga menyoroti kekhawatiran nelayan di Kepulauan Riau setelah pemerintah mencabut larangan ekspor pasir laut. 

Mereka khawatir akan terulangnya kerusakan lingkungan seperti yang terjadi pada awal 2000-an ketika tambang pasir laut marak di daerah tersebut, menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan ikan.

Pada 2014, penelitian dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menemukan, Desa Lontar di Serang, Jawa Tengah, mengalami erosi pantai, kekeruhan air, dan hilangnya kehidupan laut setelah satu dekade penambangan pasir.

Hal serupa juga ditemukan di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, di mana studi Universitas Hasanuddin pada 2021 menunjukkan bahwa pengerukan pasir laut menyebabkan kekeruhan air dan menurunkan hasil tangkapan ikan. 

Kondisi ini merugikan ekonomi masyarakat setempat, terutama bagi mereka yang bergantung pada sektor perikanan dan wisata laut.

Akibat dampak yang begitu merugikan ini, Serikat Nelayan Indonesia (SNI) dengan tegas menolak pencabutan larangan ekspor pasir laut. 

Mereka khawatir akan kerusakan lingkungan dan kerugian para nelayan yang berpotensi terulang kembali, mengingat beberapa nelayan di berbagai daerah merasakan dampaknya puluhan tahun yang lalu.

Untuk diketahui, pemerintah membuka kembali izin ekspor pasir laut melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2024, yang merupakan perubahan atas aturan sebelumnya. 

Kebijakan ini membuat puluhan perusahaan bergegas mengajukan izin, dengan sekitar 66 perusahaan saat ini menunggu persetujuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Presiden Jokowi menjelaskan, aturan ini mengatur pasir laut yang berasal dari hasil sedimentasi. Menurutnya, pasir sedimen ini mengganggu pelayaran dan merusak terumbu karang, sehingga perlu dibersihkan. 

Ia juga menyebutkan bahwa pembahasan mengenai aturan ekspor pasir laut ini telah berlangsung lama.

"Sudah lama sekali. Nanti arahnya kesana," kata Jokowi belum lama ini.

Adapun KKP telah menetapkan tujuh lokasi untuk kegiatan pengerukan yang disebut sebagai pembersihan hasil sedimentasi. 

Lokasi tersebut meliputi perairan Laut Jawa, Selat Makassar, Natuna, dan Natuna Utara. 

Secara spesifik, lokasi-lokasi itu berada di Kabupaten Demak, Kota Surabaya, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, perairan sekitar Kutai Kartanegara dan Balikpapan, serta perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan di Kepulauan Riau.

Sebelumnya, pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, ekspor pasir laut dihentikan pada tahun 2003 melalui Surat Keputusan Menperindag No. 117/MPP/Kep/2/2003. Keputusan ini diambil untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah. 

Namun, setelah 20 tahun, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 yang memungkinkan pengelolaan dan ekspor pasir laut dari hasil sedimentasi. Aturan ini mencakup kegiatan pengangkutan, penggunaan, dan penjualan pasir laut hasil sedimentasi.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS