Dari Huma ke Kota, Warga Baduy Bawa Hormat dan Syukur

Foto Salah Satu Rakyat Baduy Dalam. (Foto PARBOABOA)

PARBOABOA, Jakarta - Tahun ini, sekitar 1.760 warga Baduy kembali melangkah dari kampung halamannya di pedalaman Lebak, Banten.

Mereka berjalan kaki sembari membawa hasil bumi seperti pisang, petai, madu hutan, gula aren, dan beras huma.

Tujuannya bukan untuk berdemo ataupun meminta bantuan, akan tetapi untuk menyerahkan hasil panen mereka kepada pemerintah, sebagai bentuk rasa terima kasih dan penghormatan.

hasil seba baduy

Acara Seba Baduy Yang Diselenggarakan di Alun-Alun Rangkasbitung (Foto: PARBOABOA)

Hal inilah yang disebut dengan Seba Baduy, tradisi tahunan yang sudah dilakukan sejak lama, dan sampai sekarang masih dijaga dan dijalankan dengan penuh kesungguhan.

Dalam keseharian pun, mereka mempraktekkan gaya hidup alami, termasuk dalam menjaga kebersihan diri. Rata-rata warga Baduy menyikat gigi menggunakan arang, bukan pasta gigi.

Bagi mereka, arang bukan hanya lebih mudah didapat, tapi juga dianggap lebih alami dan menyatu dengan cara hidup mereka.

Masyarakat Baduy memang punya cara hidup yang berbeda dari kebanyakan orang yang tinggal jauh dari pedalaman.

Mereka tidak memakai listrik, kendaraan bermotor, bahkan teknologi modern sekalipun. Sebab, mereka hidup sederhana dan dekat dengan alam.

Mereka pun juga tidak dikenakan pajak, tidak membayar pajak listrik atau air. Tapi Sebagai gantinya, tiap tahun mereka menggelar Seba, sebuah bentuk penghormatan dan “ucapan terima kasih” atas perlindungan serta pengakuan yang telah diberikan pemerintah terhadap keberadaan dan hak-hak adat mereka.

Jarak yang mereka tempuh sekitar 60 sampai 70 kilometer, dari wilayah Baduy ke pusat pemerintahan di Rangkasbitung dan Serang.

Sebagian besar dari mereka berjalan kaki, terutama warga Baduy Dalam yang masih sangat taat pada aturan adat.

pakaian adat baduy

Pakaian Adat Yang Dikenakan Masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar (Foto: PARBOABOA)

Mereka mengenakan pakaian tradisional berwarna putih untuk Baduy Dalam dan biru tua untuk Baduy Luar, dengan membawa ransel anyaman dari kulit kayu, dan melangkah bersama dengan tertib.

Dalam perjalanan, mereka jarang berbicara, karena bagi mereka perjalanan ini adalah bagian dari penghormatan, bukan sekadar jalan-jalan.

Peserta Seba hanya laki-laki, dan mereka harus sudah dikhitan. Hal ini jadi salah satu syarat penting dalam adat.

Sebab dalam budaya Baduy, laki-laki yang sudah dikhitan dianggap sudah cukup dewasa dan siap menjalankan tanggung jawab adat.

Sementara itu, para perempuan biasanya tinggal di kampung untuk menenun kain.

Setiap helai kain ditenun dengan tangan, dengan pola dan warna yang sederhana tapi sarat makna.

Tenun ini bukan cuma hasil karya, tapi juga cermin dari kesabaran, ketelitian, dan rasa cinta terhadap tradisi.

Selain menenun, masyarakat Baduy juga terampil dalam membuat berbagai kerajinan tangan.

Mereka biasa menganyam tas dari rotan, membuat topi, ikat pinggang, dan berbagai peralatan rumah tangga dari bahan alami seperti bambu, pandan, dan serat alam lainnya.

Kerajinan ini bukan hanya bentuk keterampilan, tapi juga bagian dari cara hidup yang menyatu dengan alam dan mengandalkan kekuatan tangan sendiri.

Salah satu hal yang menarik dari kehidupan masyarakat Baduy, terutama Baduy Dalam, adalah cara mereka menjaga hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Mereka hidup dengan aturan adat yang ketat, termasuk dalam hal berbicara dengan lawan jenis.

Di sana, laki-laki dan perempuan hampir tidak pernah berbincang jika tidak ada keperluan yang benar-benar penting.

Interaksi yang terlalu dekat atau akrab dianggap tidak pantas dan bisa menimbulkan pandangan negatif dari masyarakat sekitar. Karena itu, setiap bentuk komunikasi dijaga agar tetap sopan dan sesuai adat.

Bukan berarti mereka tak boleh saling mengenal, tapi ada batasan-batasan yang dijaga ketat demi mempertahankan keharmonisan dan kesucian adat.

Aturan ini dipercaya sebagai cara untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab, menjaga kejujuran, dan membangun hubungan sosial yang bersih sejak awal.

Selain itu, meskipun masyarakat Baduy tidak mengutamakan pendidikan formal seperti yang ada di kota, mereka juga memiliki cara tersendiri dalam mendidik generasi muda.

Pendidikan dalam masyarakat Baduy lebih menekankan pada keterampilan hidup dan nilai-nilai adat yang diwariskan secara turun-temurun.

Masyarakat Baduy Dalam, yang lebih konservatif, tidak banyak bahkan tidak ada yang terpapar pengaruh luar, termasuk pendidikan formal.

Sebaliknya, masyarakat Baduy Luar, yang sedikit lebih terbuka, kadang-kadang mengakses pendidikan formal di luar komunitas mereka.

Namun, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar, tetap memegang teguh adat dan tradisi mereka yang menjadi bagian penting dari identitas budaya mereka.

Satu hal yang tak kalah menarik, sebagian besar masyarakat Baduy, terutama Baduy Dalam, tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam kesehariannya.

Mereka lebih banyak berkomunikasi menggunakan Bahasa Sunda, sebagai bentuk penghormatan terhadap lawan bicara dan wujud pelestarian nilai-nilai kesopanan yang diwariskan dari leluhur.

hasil panen baduy

Hasil Bumi Dari Masyarakat Baduy. (Foto: PARBOABOA)

Seba Baduy bukan hanya tentang menyerahkan hasil panen. Lebih dari itu, ini adalah cara masyarakat Baduy menunjukkan bahwa mereka tetap menghargai negara, tetap menjaga hubungan baik dengan pemerintah, dan tetap setia pada cara hidup yang mereka warisi dari leluhur.

Mereka tidak menolak zaman, hanya saja mereka memilih untuk tetap hidup dengan cara mereka sendiri, cara yang menurut mereka paling benar, paling damai, dan paling sesuai dengan hati nurani.

Di tengah dunia yang makin sibuk dan serba cepat, langkah-langkah sunyi para warga Baduy ini justru memberi pelajaran penting.

Bahwa hidup tidak harus terburu-buru, bahwa menghormati bisa dilakukan dengan cara yang sederhana, dan bahwa menjaga tradisi bukan berarti menolak kemajuan, tapi memilih untuk tetap waras dan selaras di tengah dunia yang terus berubah.

Editor: Luna
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS