PARBOABOA, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) kini tengah menggenjot kelengkapan data yang diperlukan untuk mengajukan Red Notice Interpol bagi dua tersangka kasus korupsi yang diduga kuat kabur ke luar negeri, Muhammad Riza Chalid dan Jurist Tan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, menegaskan bahwa setiap detail informasi, termasuk mekanisme pemanggilan resmi, sedang dilengkapi agar tidak ada celah yang terlewat.
Proses ini menjadi krusial agar upaya pengejaran dapat berjalan sesuai prosedur hukum internasional.
Pengajuan Red Notice ini dilakukan Kejaksaan dengan menggandeng Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri sebagai mitra koordinasi lintas negara.
Anang menjelaskan, sebelum diajukan ke Interpol pusat di Lyon, Prancis, berkas yang telah disusun harus melewati serangkaian rapat koordinasi dan pengecekan kelengkapan administrasi.
Proses ini penting untuk memastikan bahwa permintaan penetapan status buronan internasional memiliki dasar hukum dan administrasi yang sah, sehingga tidak menimbulkan celah hukum di kemudian hari.
Bila seluruh persyaratan telah rampung dan disetujui Interpol, status Red Notice akan segera diumumkan secara global.
Konsekuensinya, nama Muhammad Riza Chalid dan Jurist Tan akan tercatat di sistem imigrasi di seluruh dunia.
“Jika disetujui, Red Notice akan diumumkan ke semua negara, dan otomatis seluruh Imigrasi akan menerima datanya,” tegas Anang.
Dengan begitu, pergerakan kedua tersangka di luar negeri bisa dipersempit, memaksa mereka untuk menghadapi proses hukum di tanah air.
Jurist Tan sendiri dikenal sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam program digitalisasi pendidikan periode 2019–2022.
Saat itu, Jurist menjabat sebagai Staf Khusus Mendikbudristek untuk periode 2020–2024.
Perannya dalam program yang semestinya mendukung pembelajaran digital di sekolah-sekolah justru menyeretnya pada pusaran dugaan tindak pidana korupsi.
Sementara itu, Muhammad Riza Chalid, seorang pengusaha yang dikenal sebagai beneficial owner PT Orbit Terminal Merak, ditetapkan sebagai satu dari delapan tersangka baru dalam perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang.
Kasus yang menjerat Riza mencakup periode 2018–2023 dan melibatkan PT Pertamina Subholding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Praktik lancung ini ditengarai menimbulkan kerugian negara yang signifikan.
Menurut laporan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Jurist Tan diduga melarikan diri ke Australia bersama keluarga kecilnya.
Sedangkan Muhammad Riza Chalid dikabarkan berada di Malaysia dan bahkan telah menikahi seorang kerabat sultan di salah satu negara bagian di Negeri Jiran.
Lokasi pelarian inilah yang mendorong Kejaksaan memaksimalkan instrumen Red Notice, agar ruang gerak keduanya kian terbatas di luar negeri.
Sebagai informasi, Red Notice merupakan salah satu alat penting Interpol dalam memburu buronan lintas negara.
Status ini berfungsi sebagai peringatan internasional bahwa seseorang sedang dicari atas dugaan kejahatan serius.
Permintaan Red Notice diajukan berdasarkan surat perintah penangkapan resmi atau keputusan pengadilan negara pemohon.
Melalui Red Notice, negara anggota Interpol di seluruh dunia dapat membantu melacak, menangkap, dan menahan sementara orang yang dicari sambil menunggu proses ekstradisi atau tindakan hukum lainnya.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa Red Notice bukanlah surat perintah penangkapan yang bersifat mengikat.
Otoritas penegak hukum di setiap negara anggota Interpol memiliki kewenangan sendiri untuk memutuskan tindak lanjut penahanan sesuai hukum nasionalnya.
Meski begitu, status Red Notice tetap memberi tekanan besar bagi buronan karena membuka peluang penangkapan kapan pun dan di mana pun selama mereka terdeteksi.
Dengan langkah tegas ini, Kejagung berharap publik dapat melihat keseriusan penegak hukum Indonesia dalam menuntaskan kasus-kasus korupsi bernilai besar yang melibatkan figur publik dan pengusaha ternama.
Memahami Red Notice
Red Notice adalah status yang menunjukkan bahwa seseorang menjadi buronan internasional.
Negara-negara yang bekerja sama dapat diminta membantu melacak dan menangkap individu tersebut, kemudian menyerahkannya kepada negara yang meminta.
Menurut situs resmi Interpol, Red Notice merupakan permintaan kepada aparat penegak hukum di seluruh dunia untuk menemukan dan menahan sementara seseorang sambil menunggu proses ekstradisi, penyerahan sukarela, atau prosedur hukum lainnya.
Penerbitan Red Notice didasari oleh surat perintah penangkapan atau keputusan pengadilan dari otoritas hukum di negara pemohon.
Tiap negara anggota menentukan sendiri, berdasarkan hukum nasionalnya, apakah akan menangkap individu yang dimaksud.
Dalam Red Notice terdapat dua informasi utama:
- Identitas buronan, seperti nama lengkap, tanggal lahir, kewarganegaraan, ciri fisik (warna rambut, mata), foto, hingga sidik jari bila ada.
- Rincian tindak pidana yang dituduhkan, biasanya berupa kejahatan berat seperti pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan anak, atau perampokan bersenjata.
Red Notice diterbitkan Interpol atas permintaan negara anggota, dengan syarat mematuhi Konstitusi dan Peraturan Interpol.
Meski demikian, Interpol tidak memiliki kewenangan memaksa otoritas negara mana pun untuk melakukan penangkapan.
Tiap negara bebas menentukan status hukum Red Notice serta wewenang petugasnya dalam menangani penangkapan.
Interpol menegaskan bahwa Red Notice adalah notifikasi internasional mengenai orang yang dicari, bukan surat perintah penangkapan resmi.