PARBOABOA – Wabah demam Babi Afrika (ASF) kembali mengancam peternakan babi di Indonesia. Badan Karantina Pertanian Indonesia (Barantin) menginformasikan bahwa 32 provinsi di Indonesia telah melaporkan adanya wabah African Swine Fever (ASF).
Beberapa provinsi yang terdampak meliputi Papua, Papua Tengah, dan Nusa Tenggara Timur. Di Papua Tengah, tercatat 6.273 ekor babi mati akibat ASF pada Januari 2024.
Hingga kini, Indonesia belum memiliki vaksin untuk menangani wabah ini, berbeda dengan flu burung yang sudah memiliki vaksin yang tersedia di tanah air. Penyakit yang sangat menular ini telah menyebabkan kematian ribuan babi, mengganggu mata pencaharian peternak, dan memicu kerugian ekonomi yang besar.
Meskipun virus ASF tidak menular ke manusia dan tidak memengaruhi keamanan daging babi yang dikonsumsi, dampaknya tetap sangat terasa, terutama bagi peternak yang menggantungkan hidupnya pada ternak babi. Epidemiolog Dicky Budiman menyarankan masyarakat untuk menghindari mengonsumsi daging babi sebagai langkah pencegahan kesehatan.
Apa Itu ASF?
African Swine Fever (ASF) atau Demam Babi Afrika adalah penyakit virus yang sangat mematikan bagi babi domestik dan babi hutan, dengan tingkat kematian hampir mencapai 100%.
Virus ASFV (African Swine Fever Virus) yang menyebabkan penyakit ini dapat menyebar dengan sangat cepat antar babi melalui kontak langsung, pakan atau air yang terkontaminasi, serta peralatan yang tidak steril. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa vektor seperti kutu babi dan tawon dapat membantu penyebaran virus ini.
Meskipun sangat mematikan untuk babi, ASF tidak dapat menular ke manusia. Virus ini hanya menginfeksi babi dan beberapa spesies babi hutan, tanpa mempengaruhi manusia atau hewan lainnya. Penularan ASF terjadi ketika babi yang sehat terpapar virus yang dibawa oleh babi yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi.
Virus ini menyebar sangat cepat, terutama di daerah dengan populasi babi yang padat, sehingga peternak harus lebih berhati-hati dalam menjaga kebersihan kandang, pakan, dan peralatan untuk mencegah penularan lebih lanjut.
Dampak Ekonomi Bagi Peternak
Kerugian akibat wabah ASF tidak hanya berupa kematian babi, tetapi juga penurunan permintaan daging babi di pasar. Banyak peternak, terutama yang berskala kecil, kehilangan sumber penghasilan utama mereka. Data tahun 2019 menunjukkan bahwa tingkat kematian akibat ASF bisa mencapai 30-70% dari populasi, bahkan 100% pada virus dengan virulensi tinggi. Jika hanya 30% dari populasi babi yang mati, kerugian bagi peternakan diperkirakan mencapai Rp 7,6 triliun.
Selain itu, Indonesia berisiko kehilangan pasar ekspor untuk babi dan produk olahannya. Berdasarkan data Indonesian Quarantine Full Automation System (IQFast) tahun 2018, ekspor babi hidup dari Indonesia tercatat sebanyak 279.278 ekor. Selain babi hidup, Indonesia juga mengekspor 613 kg daging babi olahan dengan nilai sekitar Rp 837,9 miliar.
Dampak lainnya adalah hilangnya mata pencaharian bagi 285.315 peternak rakyat di Indonesia. Dengan estimasi keuntungan bersih peternak sekitar 30% dari berat hidup, pendapatan yang diperkirakan mencapai Rp 256 miliar bisa terancam hilang. Pemerintah setempat juga mengharuskan pemusnahan babi yang terinfeksi untuk mencegah penyebaran virus ke peternakan lain, menambah beban ekonomi yang berat bagi para peternak.
Kepala Barantin, Sahat Manaor Panggabean, menegaskan agar peternak tidak menjual atau membuang hewan yang sakit untuk mencegah penyebaran lebih luas.
Bisakah Flu Babi Afrika Dihentikan?
Saat ini, belum ada vaksin yang dapat melindungi babi dari virus flu babi Afrika. Langkah satu-satunya untuk mengurangi risiko penularan adalah dengan menerapkan biosecurity, atau keamanan biologi, yakni memastikan babi terhindar dari sumber virus.
Selain itu, penting untuk menjaga kebersihan pakan, lingkungan, dan peralatan yang digunakan dalam pemeliharaan babi agar tidak terkontaminasi.
Meskipun mengonsumsi daging babi yang terpapar virus ASF tidak membahayakan kesehatan manusia, daging tersebut bisa mengandung bakteri, parasit, atau virus lain.
Oleh karena itu, pastikan untuk memasak daging babi hingga matang sebelum dikonsumsi. Mengonsumsi daging babi setengah matang dapat meningkatkan risiko terinfeksi cacing gelang penyebab trikinosis, atau cacing pita yang dapat menyebabkan taeniasis dan cysticercosis.