PARBOABOA - Seorang perempuan asal Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Paizah mengawali langkahnya menjadi konselor sebaya untuk HIV/AIDS pada 2014 silam.
“Orang tahunya HIV/AIDS itu penyakit kutukan: menular dengan gampangnya, begitu berdekatan langsung tertular, padahal kan enggak,” tuturnya kepada PARBOABOA, Selasa (28/5/2024) malam.
Banyak pandangan keliru yang beredar di masyarakat tentang seberapa mengerikannya terinfeksi HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome).
Sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) merupakan orang yang memiliki perilaku tidak baik atau melanggar norma agama dan sosial.
“Itu juga keliru,” tegas ibu rumah tangga yang kerap dipanggil Ipay oleh kerabat dekatnya.
Orang berpikir HIV/AIDS adalah akhir dari segalanya. Menurutnya, semua itu pemahaman yang salah kaprah selama ini sehingga melahirkan stigma dan diskriminasi kepada ODHA.
HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh: bisa merusak dan melemahkan kemampuan tubuh dalam melawan infeksi dan penyakit lain.
Dalam laman www.hiv.gov disebutkan, apabila penyakit ini tidak diobati, maka HIV dapat menyebabkan penyakit AIDS.
AIDS adalah tahap akhir infeksi HIV yang terjadi pada saat sistem kekebalan tubuh mengalami kerusakan parah akibat virus tersebut.
Namun, Ipay mengatakan bahwa penularan HIV juga tidak semudah yang dipikirkan oleh masyarakat. HIV tidak ditularkan melalui kontak fisik, seperti bersentuhan tangan.
Penularan HIV hanya dapat terjadi melalui kontak langsung dengan cairan tubuh tertentu dari pengidap HIV yang memiliki viral load (jumlah HIV dalam darah) terdeteksi.
Cairan yang dapat menularkan tersebut adalah darah, semen (cum) dan cairan pra-mani (pre-cum), cairan rektal, cairan vagina, dan air susu ibu.
Lebih lanjut, penularan hanya dapat terjadi ketika HIV dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah orang HIV-negatif melalui selaput lendir (terdapat di rektum, vagina, mulut, atau ujung penis), luka atau luka terbuka, dan suntikan langsung dari jarum suntik.
Bahkan, jika ODHIV yang meminum obat HIV sesuai resep dan dapat mempertahankan viral load tidak terdeteksi, maka orang tersebut dapat berumur panjang dan sehat, serta tidak akan menularkan HIV ke pasangannya yang HIV-negatif melalui hubungan seks.
HIV Memakan Antibodi dan Beranak Berlipat Ganda di Dalamnya
Menjejaki tahun kesepuluh bergelut dengan isu HIV/AIDS, Ipay amat mengetahui bahwa HIV dan AIDS itu berbeda.
“Kalau HIV itu kan virusnya, sedangkan AIDS itu kumpulan penyakit-penyakit penyerta ketika kekebalan tubuhnya menurun sehingga dia ke fase AIDS. Jika dia masih HIV, maka dia masih bisa beraktivitas. Nah, terkadang orang tidak memahami hal tersebut,” katanya.
Contoh dirinya, tutur Ipay. “Saya HIV. Nanti mungkin suatu hari saya pernah mengalami fase AIDS. Ketika orang sudah masuk fase AIDS, maka dia sudah sulit untuk bisa beraktivitas seperti biasa”.
Kemudian, Ia pun menerangkan mengenai perkembangan virus dalam tubuh seseorang hingga akhirnya mengidap sakit HIV.
Perempuan kelahiran 1981 ini mencontohkan, ada orang yang berperilaku seks tidak aman, dan ada ibu rumah tangga yang berperilaku seks aman, tapi memiliki pasangan yang tidak aman.
“Nah, ketika seseorang hari ini melakukan seks tidak aman dan berisiko dengan berganti-ganti pasangan, lebih dari satu orang, itu pertama kali di situ biasanya muncul IMS (Infeksi Menular Seksual),” ujarnya.
IMS tersebut mungkin terjadi pada tahapan satu tahun dia melakukan hubungan seksual yang sangat berisiko, berganti-ganti pasangan tanpa alat pengaman, hingga dia memasuki fase di tahun kedua.
Pada tahun kedua pun biasanya tidak ada gejala apa-apa, virus juga tidak bisa terbaca oleh sistem atau alat pendeteksi.
“Butuh waktu untuk mendeteksi HIV dalam tubuh kita. Di awal-awal, virus ini tidak langsung dapat terbaca karena jumlahnya yang masih sedikit di antara ribuan antibodi,” tuturnya.
Dia menjelaskan, pada tahun kedua setelah orang melakukan hubungan seks berisiko itu, HIV baru ada satu dalam tubuh dan terletak di antara ribuan antibodi tersebut.
Kendati jumlah virus yang tak banyak, Ipay menyampaikan, HIV sifatnya memakan antibodi dan hidup di dalam antibodi, serta beranak di dalam antibodi.
“Awalnya dia memakan satu antibodi, kemudian beranak berlipat ganda. Antibodi kita hilang satu, dia beranak menjadi tiga. Antibodi kita hilang 10, dia beranak menjadi 20. Akhirnya, terus berjalan seperti itu”.
Ipay menambahkan, terdeteksinya HIV dalam tubuh seseorang memang butuh waktu dan sangat tergantung pada pola hidup orang tersebut.
“Pola makan, pola tidur, pola stres kita itu memengaruhi semakin cepatnya virus berkembang. Karena tingkat stres, salah satunya itu dapat memicu penurunan daya tahan tubuh”.
ketgamb Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Borneo Plus saat melakukan pendampingan terhadap KD (klien dukungan) VL (viral load). (Foto: Dok. KDS Borneo Plus) #end
Dikucilkan karena HIV
“Dia menangis menelepon saya,” cerita Ipay lewat Zoom sambil mengingat-ingat peristiwa yang sudah lalu itu.
Ia menceritakan tentang seorang anak yang ia dampingi sejak duduk di bangku SMP. Namun, peristiwa menyakitkan terjadi saat anak tersebut berada di kelas 1 SMA.
“Dia di-bully oleh teman-teman sekolahnya. Bahkan, sempat ingin dikeluarkan dari sekolah. Padahal anaknya sangat-sangat cerdas sekali,” kenang Ipay.
Ketika itu, lanjutnya, karena ada efek samping obat tle efavirenz yang dikonsumsi oleh dampingannya, yaitu bikin mabuk.
“Pagi itu, dia berangkat sekolah, tapi efek samping tle efavirenz itu masih terasa. Jadi, di sekolah dia kayak pusing gitu dan kadang pingsan,” terangnya.
Lantaran peristiwa itu, pihak sekolah pun menanyakan terkait sakitnya. Dengan kondisi bingung, anak tersebut akhirnya mengaku, dia terinfeksi HIV.
“Gegerlah para guru saat itu,” kata Ipay mengingat respons pihak sekolah yang masih belum aware terhadap isu ini.
Melalui telepon, dirinya pun coba menenangkan dampingannya tersebut dan mendatangi pihak sekolah dengan ditemani seorang dokter.
Di sekolah, pihaknya menjelaskan bahwa HIV/AIDS tidak menular dengan mudah, contoh lewat kontak fisik seperti yang selama ini dipahami oleh orang-orang.
Walau telah mendapatkan penjelasan dan coba diyakinkan oleh Ipay, pihak sekolah tidak langsung menerima murid tersebut sepenuhnya.
Mereka memperbolehkan anak itu tetap sekolah, pada akhirnya. Namun, sang anak merasa masih dikucilkan dengan sikap dari guru dan teman-teman sekolahnya yang tidak mau bersalaman dengannya.
“Guru-guru enggak mau bersalaman, teman-temannya enggak mau bersalaman. Ia merasa seperti dikucilkan sendiri,” kisah Ipay mengingat peristiwa kelam itu.
Dirinya pun berusaha terus menguatkan dampingannya agar tetap bertahan dan tidak berhenti sekolah karena situasinya pengasingan yang dilakukan oleh lingkungan sekolah.
“Sekitar satu tahun dikucilkan, akhirnya pihak sekolah dan teman-temannya bisa menerima kondisi dampingan saya,” ujarnya dengan nada lega.
Bahkan, setiap satu bulan, pihak sekolah memberikan izin untuk sang anak pergi mengambil obat di layanan kesehatan.
Saat ini, anak itu sudah lulus sekolah. Ipay bercerita dengan sangat senang sekali. Ia pun mengambil hikmah dari peristiwa tersebut.
“Sebenarnya, stigma dan diskriminasi itu akan hilang dengan sendirinya dengan pembuktian kita meluruskan informasi yang salah tentang HIV/AIDS,” imbuhnya.
Stigma terhadap ODHA
“Mengapa ODHA resistan terhadap orang baru dan sulit percaya untuk mengungkapkan dan bercerita secara leluasa tentang diri mereka? Salah satunya adalah karena stigma sosial di masyarakat,” kata Ipay.
Adanya diskriminasi dan stigma yang diberikan oleh masyarakat, menurut Ipay, adalah karena ketidaktahuan mereka terkait informasi yang tepat dan benar tentang HIV/AIDS.
Menurutnya, termasuk dunia kerja saat ini juga masih belum memiliki awareness yang cukup baik dalam merespons keberadaan ODHA di lingkungan pekerjaan.
“Mereka takut kehilangan pekerjaan jika ketahuan terinfeksi HIV/AIDS. Takut dikeluarkan dari sekolah. Takut dikucilkan dari keluarga. Itu salah satu alasan mereka enggan terbuka dengan orang lain soal terinfeksi virus tersebut”.
“Ada juga orang yang beranggapan, ketika ketemu saya, maka mereka akan disangka ODHIV karena kan saya pekerjaannya memang mendukung teman-teman ODHIV,” tutur Ipay.
Padahal, sambungnya, itu kan belum pasti benar. Belum tentu semua orang yang berteman dengan dirinya adalah ODHIV.
Hal-hal seperti itu, katanya, sampai saat ini masih belum bisa kita kikis dari masyarakat maupun diri kita masing-masing.
“Kadang kala, stigma muncul dari diri kita sendiri sehingga ada tantangan tersendiri untuk membenahi pandangan-pandangan yang keliru soal HIV/AIDS di masyarakat. Terlebih, ODHA sendiri kadang juga menstigma diri mereka karena respons masyarakat yang enggak bisa kita duga”.
Ia lantas bercerita bahwa dirinya juga pernah mengalami stigma dan diskriminasi. Saat itu, Ipay masuk rumah sakit. Namun, tak ada keluarga yang mau menjenguknya karena takut terinfeksi.
Walaupun sudah diberikan edukasi sama pihak dokter, keluarga besar Ipay nyatanya masih merasa takut.
“Jadi, saat ada acara makan-makan keluarga, saya enggak pernah diundang lagi karena takut tertular,” ingatnya.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, keluarga melihat Ipay sehat dan baik-baik saja. Akhirnya, pihak keluarga terbiasa dengan kondisinya dan menerima Ipay.
Suara ODHIV
Dimulai dengan harapan perempuan berinisial RY. Dia terserang HIV sejak 2012 silam saat pasangannya jatuh sakit.
“Dikarenakan suami jatuh sakit. Ia dicurigai ke arah AIDS dan dites ternyata positif,” tuturnya kepada PARBOABOA melalui pesan teks, Rabu (29/5/2024).
Setelah itu, RY yang saat itu berusia 32 tahun pun diminta untuk juga melakukan pemeriksaan HIV/AIDS di layanan kesehatan.
“Saya juga diminta tes dan ternyata hasilnya juga positif,” tulisnya.
RY adalah salah satu dampingan Ipay di organisasinya yang bernama Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Borneo Plus yang berkedudukan di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Ibu rumah tangga kelahiran 23 November ini berharap, bantuan obat dari pemerintah tetap digratiskan. Selain itu, besar keinginannya agar ODHA tak lagi dikucilkan dan diperlakukan setara dengan manusia lainnya.
Tak hanya RY, seorang bernama Ica, tinggal di Kota Banjarmasin. Sudah sekitar 9 tahun, perempuan kelahiran 1982 ini mengidap HIV.
Waktu itu, ceritanya, Ica mengalami sakit herpes. Ia kemudian memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan.
“Kemudian diminta tes HIV dan ternyata positif,” ujarnya.
Tak jauh berbeda dengan RY, Ica pun berharap tak ada lagi stigma dan diskriminasi terhadap para penyandang HIV/AIDS.
Ipay pun menyampaikan keinginannya, terlebih kepada pemerintah. Dia berharap, pemerintah dapat menyediakan SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas.
“Meningkatkan kualitas konseling awal, dan memberikan edukasi secara masif di tingkat remaja,” ujarnya.
Selain itu, ia ingin adanya pendidikan sebaya di tingkat remaja agar penyebaran informasi semakin luas.
Terakhir, Ipay mengatakan bahwa harapannya logistik yang mendukung teman-teman ODHA, seperti obat-obatan, aman.
“Program yg berkelanjutan dan berkesinambungan,” tutupnya.
Editor: Anna