PARBOABOA, Jakarta - Harapan Theresia Siul (24) untuk memperoleh kesembuhan berakhir dengan penderitaan panjang.
Sejak mendapat perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada Selasa (18/3/2025) lalu, kondisi kesehatan Theresia justru kian memburuk.
Perempuan asal Lembor, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur itu semula dirujuk dari RS Siloam Labuan Bajo dengan diagnosa massa mediastinum dextra, efusi pleura, dan cancer pain.
"Diagnosa awalnya begitu. Tetapi, anak kami masih bisa berjalan. Dia bisa berkomunikasi seperti biasa," ungkap Since Ganggur, tante pasien kepada PARBOABOA, Selasa (03/6/2025).
Massa mediastinum dextra adalah pertumbuhan jaringan abnormal di area dada antara paru-paru dan jantung, sedangkan efusi pleura merujuk pada penumpukan cairan di sekitar paru-paru.
Meski diagnosis awal cukup berat, anggota keluarga masih menaruh harapan besar pada proses rujukan ke RSCM yang dikenal sebagai rumah sakit nasional.
Namun demikian, sejak mendapat perawatan dari tenaga medis, harapan Theresia untuk sembuh kian sirna. Ia harus menghadapi hari-hari yang panjang dalam kondisi lumpuh total.
"Kondisi anak kami justru mengalami perubahan drastis saat dirawat di RSCM. Dia tidak bisa berjalan. Hanya bisa tertidur sambil menahan sakit," kata Since dengan nada berat.
Keluarga menilai, penderitaan yang dialami Theresia terjadi akibat dugaan malpraktik dan diskriminasi terhadap pasien BPJS, serta pelayanan yang tidak manusiawi.
"Kami menduga, kelalaian dalam tindakan medis, termasuk operasi tanpa penjelasan risiko yang memadai menjadi penyebab anak kami menderita seperti ini," ungkap Since.
Sejak awal, ia bilang bahwa prosedur medis penting seperti CT Scan kerap tertunda. Jadwal pemeriksaan yang seharusnya bisa dilakukan segera, justru molor lebih dari sebulan setelah Theresia tiba.
Sebaliknya, ketika keluarga beralih ke jalur umum berbayar, jadwal tersebut langsung dibuka keesokan harinya, dengan biaya lebih dari Rp4 juta.
"Kami menduga terjadi diskriminasi terhadap anak kami selaku pasien BPJS. Ini sangat tampak dari lambannya model penanganan medis," ujar Hendrik Maku, kerabat lain pasien saat dijumpai PARBOABOA, Selasa (10/6/2025).
Sengkarut persoalan tidak berhenti di situ. Komunikasi yang buruk dan hilangnya rasa kemanusiaan juga dikeluhkan keluarga.
"Berulang kali, pihak RSCM tidak menjelaskan kepada kami perkembangan kondisi kesehatan pasien saat mendapat tindakan medis tertentu. Hal ini tentu menyulitkan kami," lanjut Hendrik.
Dalam beberapa kesempatan, ia bilang pasien kerap diminta datang ke RSCM hanya untuk memenuhi kebutuhan administratif semata. Sementara pasien sendiri sedang dalam keadaan sakit yang luar biasa.
"Ada satu contoh di mana anak kami yang saat itu sudah dipulangkan ke rumah keluarga, diminta datang lagi ke RSCM hanya untuk melakukan sidik jari. Saat tiba di RSCM, dia menangis karena tidak bisa menahan sakit. Ini sangat tidak manusiawi."
Masih banyak contoh lain yang menurut Hendrik dan keluarga menunjukkan perlakuan tidak manusiawi dari pihak rumah sakit.
Perjalanan Sakit
Theresia semula dibawa oleh keluarga untuk berobat ke RSCM pada 18 Maret sebagai pasien BPJS rujukan dari RS Siloam Labuan Bajo.
Kala itu, pihak rumah sakit menganjurkan keluarga untuk dilakukan CT Scan, USG, dan cek lab. Tindakan yang langsung dilakukan pada hari yang bersamaan adalah pengambilan darah dan cek lab.
Sehari berselang, ketika pasien bersama keluarga mendatangi RSCM untuk berkonsultasi terkait tindakan medis lanjutan, pihak rumah sakit menyarankan pasien menjalani pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal.
Pada 20 Maret 2025, keluarga kembali ke RSCM untuk menanyakan jadwal CT Scan. Namun, pihak rumah sakit menginformasikan bahwa untuk pasien dengan skema BPJS, jadwal pemeriksaan baru tersedia pada 29 April 2025, lebih dari sebulan kemudian.
Tak ingin menunggu terlalu lama, keluarga memutuskan untuk mengambil jalur umum. Mereka kembali ke RSCM dan meminta penjadwalan CT Scan secara mandiri.
Tanggapannya cepat. Pemeriksaan langsung dijadwalkan keesokan harinya dengan biaya sebesar Rp 4.008.000. Keluarga berharap langkah ini bisa mempercepat diagnosis.
Pada 26 Maret, pasien dan keluarga mengambil hasil CT Scan dan sekaligus mendatangi bagian BPJS RSCM untuk menanyakan jadwal biopsi.
Namun harapan kembali ditunda. Petugas menyampaikan bahwa jadwal biopsi belum bisa ditentukan dan kemungkinan baru akan ada kabar dalam tiga minggu ke depan.
Merasa waktu semakin kritis, keluarga pasien kembali mendatangi RSCM pada 28 Maret untuk meminta percepatan jadwal biopsi.
Namun, permintaan itu tidak bisa diproses langsung karena petugas yang bertanggung jawab sedang cuti bersama. Keluarga pun diminta menunggu.
Pada 09 April, tindakan biopsi akhirnya dilakukan secara berbayar di Gedung Rehabilitasi Medik, Lantai 5. Setelah prosedur selesai, pasien langsung dipulangkan ke rumah.
Namun keadaan justru memburuk. Pada 19 April 2025, pukul 01.00 WIB dini hari, pasien harus dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSCM karena mengalami kesulitan buang air kecil.
Ia kemudian dirawat di Gedung A Lantai 5, Kamar 511. Selama masa perawatan, pasien menjalani pemeriksaan MRI sebagai bagian dari evaluasi lanjutan.
Sayangnya, ketika hasil biopsi pertama keluar, kabar yang diterima sungguh mengecewakan. Menurut penjelasan petugas patologi, sampel saat biopsi pertama tidak memadai.
Mereka meminta pasien untuk kembali melakukan biopsi kedua pada 29 April. Sehari setelah tindakan tersebut, Theresia menjalani operasi bedah saraf yang justru membuatnya lumpuh total.
Theresia dipulangkan pada 4 Mei dalam kondisi lumpuh dan memakai kateter. Luka pada bokongnya mulai muncul. Tidak ada instruksi tertulis maupun edukasi perawatan dari petugas.
Saat melakukan kontrol pada 8 Mei, petugas RSCM hanya membuka jahitan tanpa tindak lanjut atau terapi saraf lanjutan.
Selanjutnya, pada 11 Mei, Theresia kembali dilarikan ke IGD karena merasa kesakitan, namun disuruh pulang malam harinya.
Kondisi pasien makin memburuk, tetapi pihak RSCM terus mewajibkannya hadir secara fisik untuk melakukan verifikasi administrasi. Pada 20 Mei, ia kembali dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi sangat lemah.
"Saat itu, tidak ada ranjang dorong, sehingga anak kami terpaksa tidur di lantai lobi RSCM. Semua itu demi sidik jari yang menurut petugas tak bisa diwakilkan," tutur Since.
Lebih lanjut, tindakan biopsi ketiga yang dijadwalkan terjadi pada 27 Mei tiba-tiba dibatalkan tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan baru dilakukan pada 28 Mei.
Bahkan hasil pemeriksaan lanjutan seperti imunohistokimia dibatalkan mendadak melalui pesan singkat WhatsApp. Mendengar itu, Theresia menangis. Ia menolak makan dan kehilangan semangat hidup.
“Kami berkali-kali tidak diberikan informasi yang jelas soal kondisi atau jadwal tindakan yang dilakukan petugas medis."
Penderitaan Theresia tak berhenti pada aspek medis dan administratif. Keluarga juga menyampaikan adanya pelecehan verbal oleh tenaga medis.
"Tanggal 21 Mei, saat kami mengeluh soal antrian obat yang lama, seorang petugas menjawab: ‘Pasien kami banyak, bukan hanya kalian. Kalau memang sudah ajal, ya mau diapakan,’” tutur Since, menirukan jawaban yang dinilai sangat menyakitkan itu.
Keluarga menyayangkan tindakan medis yang dilakukan pihak RSCM. Pengobatan yang diperoleh bukannya membawa kesembuhan, tetapi memperparah penderitaan Theresia.
Dengan berbagai pertimbangan, mereka akhirnya memindahkan pasien ke RSPAD Gatot Subroto pada Sabtu (07/6/2025).
Kala itu, kondisi Theresia sangat lemah. Luka operasi menganga di bokong, dengan kateter yang masih terpasang.
Desakan Keluarga
Sebagai pihak yang merasa dirugikan, keluarga Theresia tak tinggal diam. Mereka kembali menemui RSCM untuk meminta klarifikasi dan pertanggungjawaban.
Pertemuan dilangsungkan pada Selasa (10/6/2025) di ruangan Tim Kerja Hukum dan Hubungan Masyarakat. Pihak pasien diwakili tujuh anggota keluarga. Mereka disambut seorang petugas humas bernama Lia.
Awak PARBOABOA diperkenankan mengikuti dan mendengarkan secara langsung seluruh rangkaian pertemuan yang terasa menegangkan itu.
Setelah membacakan kronologi peristiwa, jenis dugaan malpraktik dan pokok pengaduan, keluarga kemudian menyampaikan tuntutan kepada RSCM atas kondisi kesehatan anak mereka.
Adapun dalam sebuah dokumen gugatan yang diterima media ini, ada setidaknya enam tuntutan yang perlu diperhatikan RSCM, antara lain sebagai berikut:
Pertama, keluarga menuntut agar manajemen RSCM membentuk tim investigasi independen untuk menelusuri seluruh proses pelayanan yang diberikan kepada anak mereka.
"Hasil investigasi ini harus disampaikan secara terbuka kepada publik dan dilaporkan ke Komite Etik Rumah Sakit serta Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) untuk penanganan lebih lanjut," tulis dokumen tersebut.
Kedua, RSCM diminta melakukan audit menyeluruh terhadap keputusan medis, prosedur yang dijalani pasien, serta dokumentasi administrasi, termasuk validitas rekam medis dan kesesuaian tindakan dengan protokol medis.
"Audit ini dinilai penting untuk menentukan apakah terdapat penyimpangan prosedur, penundaan non-medis, atau kelalaian profesional."
Ketiga, keluarga menuntut agar dokter, perawat, atau pihak manajemen yang lalai atau melanggar etika profesi diberikan sanksi tegas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keempat, mengingat penderitaan fisik dan mental yang dialami Theresia, keluarga menuntut pemberian kompensasi finansial sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum dari RSCM.
"Selain itu, pasien harus mendapatkan akses penuh atas rehabilitasi medis, termasuk fisioterapi, konseling psikologis, serta perawatan lanjutan secara gratis hingga pulih."
Kelima, keluarga mendesak adanya permintaan maaf resmi dari manajemen RSCM. Menurut keluarga, "permintaan maaf ini menjadi bentuk pengakuan atas kesalahan sistem dan sebagai komitmen untuk memperbaiki mutu pelayanan ke depan."
Keenam, perbaikan sistem layanan BPJS di RSCM untuk mencegah diskriminasi. Keluarga mendesak adanya evaluasi dan reformasi terhadap sistem pelayanan pasien BPJS di RSCM.
Sistem yang berlaku saat ini dinilai memperlambat penanganan, tidak ramah terhadap pasien dari kalangan tidak mampu, dan berpotensi memunculkan diskriminasi terhadap pasien non-umum.
Serupa, Chandra Goba, salah seorang kenalan keluarga menegaskan bahwa dari rangkaian kronologi yang dijelaskan, ada dugaan kuat bahwa RSCM melakukan maladministrasi sekaligus malpraktik.
"Kalau kita dengar penjelasan keluarga, maka ada dugaan kuat bahwa pihak RSCM tidak hanya melakukan malpraktik, tetapi juga maladministrasi," jelas Chandra pasca pertemuan.
Jika malpraktek berkaitan dengan kekeliruan tindakan medis, maladministrasi disebutnya terjadi karena pihak RSCM melakukan kelalaian, penundaan yang berlarut dan diskriminasi terhadap pasien.
Karena itu, Chandra menegaskan agar pihak rumah sakit mesti bertanggungjawab penuh terhadap persoalan yang tengah menimpa pasien.
"RSCM harus bertanggungjawab mengobati kembali pasien. Dia lumpuh karena mendapat pengobatan di sini, bukan di tempat lain," tegas pria yang berprofesi sebagai advokat itu.
Selain itu, ia menyentil jenis tanggung jawab lain, yakni dengan tetap membiarkan pasien dirawat di RSPAD Gatot Subroto, tetapi seluruh biaya pengobatan ditanggung pihak RSCM.
"Pasien itu lumpuh karena dirawat di RSCM. Karena itu, merekalah yang harus bertanggungjawab membiayai pengobatan pasien, bukan keluarga."
Chandra menilai, RSCM sebagai rumah sakit rujukan nasional seharusnya menjadi pelopor keadilan dalam pelayanan kesehatan.
Laporan yang dibuat keluarga disebut bukan untuk menyalahkan, melainkan demi memperjuangkan keadilan dan mencegah agar tragedi serupa tidak terjadi pada pasien lain di masa depan.
“Kami hanya ingin keadilan bagi adik Theresia dan pasien-pasien lain yang bernasib serupa. Rumah sakit seharusnya menjadi tempat penyembuhan, bukan menambah penderitaan,” pungkas Chandra.
Klarifikasi RSCM
Pasca mendengar tuntutan keluarga, Lia menyebut bahwa dirinya akan melanjutkan laporan itu kepada setiap unit yang pernah menangani Theresia.
Secara prosedural, ia menjelaskan unit-unit tersebut akan melakukan pertemuan internal terlebih dahulu sebelum memanggil keluarga untuk memberikan keterangan.
PARBOABOA coba menghubungi kembali pihak humas untuk menanyakan perkembangan hasil pertemuan.
Salah seorang petugas bernama Yogi Friando melalui pesan WhatsApp pada Selasa (17/6/2025) mengirimkan file berisi hak jawab RSCM.
Dalam file tersebut, pihak rumah sakit menekankan bahwa penanganan medis terhadap pasien atas nama Theresia Siul "telah dilakukan sesuai prosedur dan standar pelayanan yang berlaku."
Mereka menyebut jenis penyakit yang dialami pasien sebagai kasus kompleks yang melibatkan berbagai bidang spesialisasi, serta membutuhkan konsultasi lintas unit di internal RSCM.
"Proses penegakan diagnosis terhadap kasus ini memang memerlukan waktu dan koordinasi yang intensif, karena melibatkan pendekatan multidisipliner dengan prinsip patient-centered care."
Pihak RSCM juga menjelaskan, salah satu tindakan besar yang telah dilakukan terhadap pasien adalah operasi tulang belakang, yang digambarkan sebagai “prosedur rumit namun berhasil dilaksanakan tim dokter.”
Usai tindakan tersebut, pasien dipindahkan ke jalur rawat jalan, dan keluarga disebut telah menerima informasi serta pendampingan sebelum pasien dipulangkan.
Selain itu, mereka menjelaskan pelaksanaan tindakan biopsi telah sesuai dengan prosedur standar operasional, di mana pasien diharuskan menjalani rawat inap demi persiapan dan observasi pasca tindakan.
Terkait pembatalan pemeriksaan Imunohistokimia (IHK) oleh tim Patologi Anatomi, mereka mengkonfirmasi bahwa sampel yang diambil tidak memadai dan tidak mengandung sel tumor, sehingga pemeriksaan tersebut tidak dapat dilanjutkan.
Pihak administrasi disebut telah menghubungi keluarga pasien via WhatsApp dan memproses surat pembatalan secara resmi.
Sementara itu, mengenai pelayanan di Instalasi Gawat Darurat (IGD), RSCM menerangkan bahwa bila kondisi ruang rawat inap penuh, petugas akan memberikan informasi dan edukasi terkait ketersediaan fasilitas serta menyediakan alternatif seperti kursi roda.
"Dalam hal akses pelayanan, RSCM telah menyediakan berbagai fasilitas inklusif seperti loket khusus untuk penyandang disabilitas, lansia, dan pasien dengan kebutuhan mobilitas khusus di area Instalasi Pelayanan Rawat Jalan Terpadu (IPRJT)."
Sebagai rumah sakit rujukan nasional, RSCM menegaskan bahwa mereka melayani pasien dari seluruh Indonesia tanpa membedakan kelas atau status layanan.
Baik pasien umum maupun eksekutif disebut mendapat perlakuan medis yang sama, sesuai pedoman praktik klinis yang berlaku di rumah sakit tersebut.
"RSCM mendorong masyarakat untuk memberikan kritik dan saran melalui saluran resmi sebagai bentuk partisipasi dalam peningkatan mutu pelayanan," tulis file tersebut.