Diskusi Dadakan di Balai Kota

Gaya yang khas. (Foto: PARBOABOA/ P. Hasudungan Sirait)

Napak Tilas Blora bersama Pramoedya Ananta Toer

PARBOABOA - Saat kami melangkah menuju halaman sekolah seorang guru perempuan bergegas menghampiri. Ia minta Pram menandatangani bukunya. Katanya sebagai kenang-kenangan. Buku itu notes, bukan bacaan.

Semula Pram ragu. Melihat wajah perempuan itu memelas mengalah juga dia. Tekenan ia bubuhkan. Kami mengikuti adegan ini dengan geli.

“Ada-ada saja…” ucap novelis terkemuka sambil tersenyum ke kami.

Guru Bahasa dan Sastra itu tetap mendampingi kami. Ia bertanya apakah kami sudah melihat pameran di balai kota. Ketika kami katakan belum dia menganjurkan agar kami meluangkan waktu.

“Toh mbak dan mas-mas jarang ke Blora. Ke balai kotalah mumpung lagi ada pameran menyambut ulang tahun Blora.”

Bujukan ini membuat kami berubah pikiran seketika. Ya kami akan ke sana. Siapa tahu ada yang menarik dilihat.

Pukul 10.00 kami antar Pram dengan becak ke rumah. Rhein dan Amang tetap di sekolah karena akan mewawancarai guru yang menjadi host itu dan seorang murid perempuan berprestasi sekaligus penyuka karya sastra.

Satu becak kami minta menunggu. Setelah men-drop Pram dan Pak Coes aku dan Has ke Taman Sarbini di balai kota untuk melihat pameran dimaksud.

Tempat ini ternyata semarak. Kami berkeliling melihat rupa-rupa tempat pamer. Di sebuah ruangan besar ternyata ada pameran buku. Kami ke sana. Ruang ini agak sepi. Anak-anak sekolah saja yang menjadi pengunjungnya.

Kami berniat mencari informasi khususnya ihwal pameran buku. Seorang petugas kami dekati. Orang itu mengatakan pengunjung sepi karena sedang jam makan. Sejak pagi ramai sebab para siswa diwajibkan guru datang ke tempat ini, kata dia.

Mendadak Has berbisik ke aku.

“Sangat menarik kalau Bung Pram tampil di sini berbicara soal karya-karyanya berikut proses kreatifnya,” kata dia.

Aku mengiyakan. Seketika kusampaikan ketakyakinanku bahwa Pram akan mau datang. Alasanku, ia masih capek; selain itu ide ini sungguh mendadak.

Slamet Rahardjo membaca nukilan karya Pram

Aktor kawakan Slamet Rahardjo membaca nukilan karya Pram, di Jakarta. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Selesai mengucapkan ‘kita coba dulu’ Has bertanya ke petugas itu siapa dan di mana penanggung jawab pameran buku. Ternyata orang dimaksud ada di ruangan.

Dipanggil dengan isyarat oleh koleganya yang menemani kami, ia lekas datang. Ke dia

Has membuka pembicaraan dengan mengatakan, ”Kami bagian dari satu tim dari Jakarta yang sedang mengikuti kegiatan Pak Pramoedya Ananta Toer di Blora ini.”

Sebaik mendengar kalimat itu lelaki tersebut langsung berkata, “Oh… Pak Pram Iagi di Blora? Oh… kebetulan sekali… luar biasa!”

Lelaki yang tampaknya seumur Has dan berpakaian pegawai negeri itu gelagapan saking senangnya.

Setelah orang itu kembali menguasai diri Has melanjutkan omongan “Seandainya Pak Pram mau ke sini… ini seandainya Iho… ide ini muncul baru saja… panitia bersedia menanggap?“

Kembali orang gelagapan saking antusiasnya. “Monggo Mas… monggo Mas… kami bersyukur sekali, terima kasih… terima kasih” katanya.

Mendadak ia lari. Ternyata menyambar pengeras suara. Pengumuman meluncur dari mulutnya. Hakekatnya, pengunjung jangan pulang dulu sebab sebentar lagi penulis kelas dunia kelahiran Blora, Pramoedya Ananta Toer, akan tampil di tempat ini juga. Dia akan berbincang-bincang dengan pengunjung… akan berdiskusi,

“Waduh cilaka!… Ngomongnya kok main pasti begitu. Kita kan berandai-andai tadi,” ucap Has ke aku yang sedang melongo.

Gimana kalau Pak Pram tak mau.” jawabku.

Has langsung complain ketika orang itu kembali ke tempat kami.

“Tolong mas… tolong mbak… kami tak mau kehilangan kesempatan emas ini,” begitu jawabnya.

Luluh juga hati kami melihat kemenggebuannya.

Orang itu bercakap lewat handphone. “Mobil jemputan sudah siap,” ucapnya.

Kami ia tuntun ke sebuah tempat. Ternyata kantor. Ke ruangan kepala perpustakaan kami ia bawa untuk diperkenalkan ke atasannya.

Seorang perempuan bersasak berumur kepala lima menyambut kami dengan ramah dan berterima kasih. Atasan itu dia.

Absurd. Bung Pram belum tentu mau kok sudah berterima kasih,” bisik Has ke aku.

Sebuah mobil Daihatsu Carry lama berwarna putih kusam yang dikemudikan sopir membawa kami ke Jl. Sumbawa. Lelaki yang menyampaikan pengumuman ada bersama kami. Sepanjang jalan aku galau. Pertanyaan ‘apakah Pram nanti mau’ sangat mengusik. Kupikir suasana hati Has kurang lebih sama.

Kekhawatiran kami berdasar. Pram sedang bakar-balau sampah di belakang. Aku dan Has mendekat. Has bilang sebaiknya aku saja yang memulai pembicaraan.

Tatkala maksud aku utarakan Pram serta-merta menolak. Alasannya sedang capek sekali. Memang begitu adanya.

Jurus membujuk kami mainkan. Kami garis bawahi: berbicara di depan publik Blora yang sebagian besar angkatan muda dan di jantung kota yang tengah berulang tahun pula merupakan momen istimewa. Akan sulit lagi kalau mau diulangi tahun mendatang.

Sejurus kemudian ia terdiam. Berterima di akalnya, sikapnya pun berubah. “Ayo… tapi saya kotor begini,” ucapnya.

Ah, kata angkatan muda memang mujarab dipakai kalau menghadapi dia. Kami anjurkan agar dia cuci muka. Menurut, sebentar saja ia sudah tampak rapi lagi. Pakaian tadi yang tadi ia kenakan.

Pram agak kaget melihat seorang yang berpakaian pegawai negeri menyongsong dan menyalam dia di halaman. Kami jelaskan siapa orang itu.

Untuk tidak membuang waktu sekaligus agar sang penulis tak sampai berubah pikiran kami bergegas naik ke Carry. Dalam perjalanan, Pram mengajukan sejumlah pertanyaan ihwal siapa saja yang akan hadir dalam diskusi nanti dan apakah mereka membaca karya-karyanya.

Kami biarkan sang pegawai negeri itu menjelaskan. Bersemangat betul orang itu menerangkan ini-itu.

Happy Salma, aktris tersohor yang merupakan pengagum Pram

Happy Salma, aktris tersohor yang merupakan pengagum Pram. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Sesampainya di Taman Sarbini, rombongan kami disambut kepala perpustakaan dengan hangat. Seperti tamu VIP saja layaknya. Kami diarahkan ke balik pendopo dan diajak berbincang di sana menunggu acara mulai. Teh dan kopi disuguhkan berikut cemilan.

Diskusi kemudian berlangsung di pendopo. Belasan orang tampak duduk di atas karpet. Melingkar dan bersaf mereka.

Moderator, seorang anak muda, memperkenalkan diri sebagai pengagum Pram. Setumpuk karya penulis termashyur itu merupakan koleksi pribadinya ia letakkan di sebelahnya sebagai bukti.

Pram tampak girang di hadapan publik ini. Yang pertama ia katakan adalah tak ia sangka bahwa karya-karyanya dibaca oleh orang-orang Blora.

Pram menjadi pembicara tunggal. Pak Coes yang duduk di sebelahnya sesekali nimbrung menjelaskan hal tertentu yang luput dari ingatan Pram atau yang kurang ia jabarkan. Diskusi merupakan terusannya. Hidup betul acara ini. Penyebab utamanya adalah hadirin yang terus bertambah itu umumnya mengikuti perjalanan hidup dan karya Pram. Takzim mereka.

Pukul 14.00 acara berujung. Setelah sesi foto kami minta diri dan diantar oleh orang yang sama dengan mobil yang sama pulang.

Di jalan sang pegawai negeri menawari makan siang. Pram bilang sudah Capek dan mau langsung ke rumah saja.

Setelah men-drop Pram kami malah makan siang bersama sang pegawai negeri dan sopirnya di warung bakso yang terkenal di Blora: Pak Kumis. Hujan lebat saat kami bersantap.

Diantar, kami pulang ke Jl. Sumbawa 40. Sungguh servis yang istimewa yang kami nikmati. Kami senang. Pasti yang mentraktir kami juga senang. Jadi everybody senang dan kenyang.

Setting wawancara dengan Pak Coes kami Siapkan. Belum selesai wawancara eh… tetamu berdatangan. Mereka penggemar Pram, sebagian yang hadir di pendopo tadi. Kian sore jumlah anak muda ini kian banyak. Diskusi informal pun berlangsung di emperan rumah yang ditinggali Pak Coes. Kami ikut bergabung. Pram tampak sangat menikmati acara dadakan yang penuh derai tawa tanpa kehilangan keseriusannya tersebut.

Bersambung...

Reporter: Rin Hindryati dan Hasudungan Sirait

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS