PARBOABOA, Jakarta – Effendi Saleh (84) menyambangi kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Kwitang, Jakarta Pusat, Selasa (12/9/2023) kemarin.
Ia sengaja datang ke Kontras untuk ikut acara peringatan 39 tahun tragedi kemanusiaan Tanjung Priok.
Aki, begitu Effendi akrab disapa memang tak pernah absen dalam agenda refleksi kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.
Ia juga rutin mengikuti aksi kamisan di depan Istana Negara, Jakarta Pusat. Aksi itu digelar korban serta keluarga dan aktivis untuk menuntut keadilan negara atas pelanggaran HAM masa lalu.
Saat datang ke kantor Kontras, Aki terlihat membawa sebuah tas hitam berisi buku dan karya tulis. Topi melekat di kepalanya, menutupi rambutnya yang sudah putih dan menipis.
Wajah Aki nampak sumringah. Ia lantas menghampiri jurnalis PARBOABOA sembari mengulurkan tangan mengajak bersalaman.
"Apa kabar, Mas?" sapanya.
"Ke sini naik apa, Ki?" tanya saya.
"Jalan kaki, dekat cuma 2 kilometer. Itung-itung sambil olahraga," kata Effendi.
Effendi Saleh Dipenjara Tanpa Pengadilan
Setelah peringatan 39 tahun tragedi kemanusiaan Tanjung Priok di Kantor Kontras, Aki Effendi menyempatkan diri diwawancarai PARBOABOA.
Ia pun menceritakan peristiwa kelam yang ia alami, mulai dari ditangkap, disiksa dan dipenjara tanpa pengadilan.
"Saya dituduh terlibat pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya peristiwa 30 September 1965," katanya sembari membakar kretek.
Padahal saat itu, Aki mengaku tidak tahu mengenai peristiwa 30 September itu, apalagi terlibat membunuh jenderal.
Ia hanyalah seorang pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI) tingkat kecamatan di Salemba tahun 1965. Di kepengurusan PKI, Aki hanya membangun organisasi Pemuda Rakyat yang merupakan sayap PKI.
“Yang dilakukan ya aktivitas pemuda, olahraga, kesenian dan pendidikan,” ucap Aki.
Ketika kondisi politik memanas karena peristiwa 30 September, Aki yang saat itu takut ditangkap dan dipenjara kemudian mengamankan diri dengan tinggal berpindah-pindah tempat hingga ke Denpasar, Bali. Effendi sadar betul, posisinya sebagai anggota PKI di situasi seperti itu tak menguntungkan.
"Saya kan lari-larian, karena saya enggak merasa bersalah. Enggak ikut dalam Gerakan 30 September, memang saya enggak ngerti," jelasnya.
Nahas, pelarian Aki menemui ujung. Pada 28 Desember 1969, ia ditangkap tim operasi kalong saat bertamu di rumah temannya di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Di rumah temannya itu, banyak anggota PKI dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang juga melarikan diri dari daerahnya.
Di sana, ia sempat tertidur. Ia kemudian dipaksa bangun, dan saat terbangun kepalanya sudah ditodong pistol.
"Angkat tangan! Saya pikir ada apa? Saya bangun, saya lihat sekeliling rumah udah tentara semua. Setelah saya agak siuman, saya ngebatin, wah ketangkap nih," ungkapnya.
Oleh aparat yang menangkapnya, Aki lantas digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Jakarta Selatan dengan berjalan kaki dan kepala ditodong pistol. Di sana, ia mendekam di tahanan selama dua minggu.
Pada Januari 1970, Aki diangkut ke Komando Daerah Militer (Kodam) Jayakarta di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Di sana, ia diperiksa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan ditahan.
"Saya ditanya, 'kau PKI?'. Saya enggak ngaku kalau PKI," kata pria asal Sukabumi itu.
Selama ditahan, Aki mengaku mendapat tindakan kekerasan seperti dipukul, ditendang dan diestrum secara bergiliran oleh personil ABRI.
"Dipukul, gigi pada rontok, habis. Ampe saya muntah darah," katanya mengingat kejadian tersebut sambil menarik asap kretek dalam-dalam.
Aki lantas dibawa ke markas operasi kalong di Jalan Gunung Sahari II, Jakarta Pusat dengan mata tertutup kain dan tangan diborgol. Di sana ia dipenjara di Rumah Tahanan Militer (RTM) Salemba, Jakarta Pusat.
Selain di RTM Salemba, Aki kemudian dipindah ke Tangerang pada 1973 dan 1976, ia dipindahkan ke Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Setelah dari Nusakambangan, Aki dipindahkan lagi ke Pulau Buru, Maluku pada 1979. Selama di Pulau Buru, Aki bertani dan bekerja sebagai mekanik. Layaknya tahanan politik lain, ia tidak diupah atas pekerjaannya, hanya diberi makan ala kadarnya.
Pada 1982, Aki akhirnya dibebaskan. Total 10 tahun ia menjalani masa tahanan, tanpa pernah diadili di persidangan pun tak pernah mengetahui apa kesalahannya.
Hingga kini, Aki tidak kunjung mendapatkan keadilan dari negara. Ia tak pernah mendapat ganti rugi atas penyiksaan dan pemenjaraan berpuluh-puluh tahun itu.
Pelaku kejahatan kemanusiaan itu tak satu pun yang ditangkap dan diadili negara, hingga peristiwa 30 September berlalu 58 tahun.
"Padahal negara kita kan memiliki karakter Pancasila yang berketuhanan, kemanusiaan dan keadilan. Itu semua dimana sekarang?" kesal Effendi Saleh.
Peristiwa 30 September atau pembunuhan massal 1965-1966 menjadi salah satu dari 12 peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yang belum diusut tuntas.
Selain peristiwa tadi, ada peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari Lampung 1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.
Kemudian Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999, Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Rumah geudong Aceh 1998, Peristiwa Paniai 2014 dan Peristiwa Wasior dan Wamena 2001.
Editor: Kurniati