JATAM Soroti Harita Group: Bisnis Ekstraktif Ancam Lingkungan

Aktivitas pertambangan milik Harita Group (Foto: Dok. Kaidah Malut)

PARBOABOA, Jakarta – Gelombang perlawanan terhadap Harita Nickel (Harita Group) kembali mencuat. 

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) kembali menyerukan penghentian operasi perusahaan ini, yang dianggap semakin memperparah kerusakan lingkungan di berbagai wilayah Indonesia.

Sejak 2012, Harita Group – konglomerasi milik keluarga Lim Hariyanto – telah beroperasi di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. 

Dalam kurun lebih dari satu dekade, perusahaan ini terus dituding menutupi dampak buruk dari bisnis ekstraktifnya, terutama soal kualitas air yang mereka klaim aman. 

Namun, investigasi lintas media yang melibatkan OCCRP, The Gecko Project, The Guardian, Deutsche Welle, dan KCIJ justru menunjukkan bahwa Harita telah mencemari sumber air sejak awal beroperasi.

Dalam laporan bertajuk “Hentikan Harita”, JATAM menyoroti bahwa bisnis Harita meluas ke pertambangan nikel, batu bara, bauksit, hingga sawit dan industri kayu. 

Semua aktivitas ini ditopang oleh kucuran dana dari berbagai lembaga keuangan. 

“Ironisnya, setiap wilayah eksploitasi mereka meninggalkan jejak konflik, pelanggaran hukum, hingga kerusakan sosial-ekologis,” demikian laporan JATAM yang dikutip dari teras.id, Senin,(12/05/2025).

Jejak Harita Group

JATAM menegaskan, Harita Group tak hanya merusak lingkungan tapi juga berulang kali melanggar hukum. 

Salah satu buktinya adalah keterlibatan eksekutif Harita, Stevi Thomas, dalam kasus suap senilai US$60 ribu kepada mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba.

Secara keseluruhan, aktivitas pertambangan anak-anak perusahaan Harita telah menyebabkan deforestasi seluas 19.100 hektare sejak tahun 2000. 

Tak hanya itu, 904 lubang bekas tambang di Kalimantan dan Sulawesi dibiarkan terbuka, menjadi ancaman nyata bagi masyarakat sekitar.

JATAM mengibaratkan Pulau Obi yang hanya seluas 2.542 km² telah menjadi penyumbang emisi setara dengan lebih dari 2 juta mobil di Jawa Timur – semua demi keuntungan perusahaan.

Sejak 2010, keberadaan Harita Group di Pulau Obi menjadi sumber derita masyarakat setempat. 

Kehidupan yang dulunya bertumpu pada berkebun dan melaut berubah drastis sejak operasi masif anak usahanya, PT Trimegah Bangun Persada (TBP), pada 2017–2018. 

TBP kerap mengklaim lahan warga sebagai tanah negara, memaksa warga direlokasi ke kompleks “Ecovillage” milik perusahaan.

Kondisi serupa terjadi di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, tempat PT Gema Kreasi Perdana (GKP) beroperasi. 

Meski Mahkamah Konstitusi telah melarang tambang di pulau kecil, GKP tetap memaksakan operasi dengan dukungan aparat. Lahan warga dirampas, dan warga yang melawan dikriminalisasi.

Rencana Harita Group melalui PT TBP untuk menambah modal hingga Rp 15,1 triliun lewat penawaran saham perdana (IPO) pada April 2023 hanya menambah luka bagi masyarakat Obi dan Wawonii. 

Gelontoran dana ini ditujukan untuk mempercepat pembangunan pabrik pengolahan nikel kedua di Pulau Obi, menyusul pabrik pertama, PT Halmahera Persada Lygend, hasil kerja sama dengan perusahaan China.

Namun, di balik upaya meraih keuntungan itu, jejak kerusakan yang ditinggalkan sangat dalam: pembabatan hutan, pencemaran air dan udara, serta krisis kesehatan warga yang semakin parah.

Operasi Harita bahkan membuat pulau-pulau lain harus dikorbankan demi memasok energi batubara bagi smelter nikel.

Kawasi adalah kampung tertua di Pulau Obi, dihuni sejak 1980-an. Namun, sejak tambang masuk, wajah kampung ini berubah drastis. 

Tanaman rakyat lenyap, air bersih tercemar, laut berubah keruh, dan ikan-ikan mengandung logam berat. Warga yang dulu hidup damai kini dihadapkan pada intimidasi dan pemaksaan relokasi.

Pemerintah dan perusahaan berdalih bahwa permukiman warga terlalu dekat dengan pabrik dan zona rawan gempa. 

Namun warga menolak, menyatakan bahwa justru pabrik yang seharusnya tak berada di kawasan berbahaya tersebut.
Sementara di Wawonii, PT GKP terus menembus lahan warga secara paksa. Sejak 2019, penerobosan dilakukan berulang kali, bahkan dengan pengawalan aparat bersenjata. 

Sebaliknya, warga yang bertahan justru dikriminalisasi. Hingga kini, 35 warga telah dijerat berbagai pasal, mulai dari perusakan hingga pencemaran nama baik.

Air bersih di sejumlah desa pun ikut tercemar. Sungai Tambo Siu-Siu dan Mata Air Banda – sumber kehidupan warga – rusak akibat aktivitas tambang. 

Meski warga menang di PTUN Kendari dan Mahkamah Agung pada 2022–2023, GKP tetap beroperasi, bahkan makin agresif mengangkut ore nikel ke Obi.

Seruan untuk Evaluasi 

Ekstraksi nikel Harita Group telah mengukir jejak kehancuran ekologis dan sosial yang mendalam. 

Tapi alih-alih dihentikan, pemerintah terus memberikan berbagai insentif kebijakan dan jaminan keamanan investasi.

JATAM mendesak agar seluruh aktivitas Harita dievaluasi, operasi ilegal seperti PT GKP dihentikan, dan pelanggaran hukum ditindak tegas. 

Termasuk rencana relokasi paksa warga Kawasi yang dinilai sebagai bentuk pemiskinan sistematis.

IPO PT Trimegah Bangun Persada dinilai sebagai upaya memperkaya korporasi di atas penderitaan warga. 

Dana segar yang terkumpul akan mempercepat eksploitasi, memperluas kerusakan, dan mengancam masa depan masyarakat lokal.

Keseluruhan praktik Harita Group – mulai dari eksploitasi, perusakan lingkungan, hingga kolaborasi dengan aparat negara – adalah bentuk nyata dari kejahatan kolaboratif negara-korporasi.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS