Leha: Jejak Tekad di Riuh Jakarta

Ilustrasi Pedagang Kaki Lima. (Foto: Pexels/@febri visual)

PARBOABOA - Di antara deru kendaraan yang tiada henti dan gemuruh kota Jakarta yang tak pernah tidur, ada seorang perempuan dengan wajah sabar, yang setiap hari mengolah rempah-rempah khas Madura di pinggiran jalan.

Leha, begitu ia disapa, telah menetap di Jakarta sejak 2012, membawa cita rasa tanah kelahirannya, meracik nasi bebek, ayam, dan soto ayam yang menggoda lidah. 

Namun, kisah hidupnya lebih dari sekadar makanan yang tersaji di gerobaknya yang kuning-coklat. Setiap piring yang disajikan mengandung cerita tentang perjuangan, ketangguhan, dan ketegaran seorang perempuan yang merantau demi keluarga.

Leha berasal dari Madura, sebuah pulau di ujung timur Pulau Jawa yang dikenal dengan tanah gersang, namun juga dengan semangat warganya yang tak pernah padam. 

Di bawah panasnya matahari Madura, tumbuhlah tekad yang mengantarnya untuk meninggalkan kampung halamannya.

"Saya datang ke Jakarta lewat Bogor dulu, Neng. Di sini nggak ada yang gampang, tapi kita harus bertahan," kata Leha, dengan mata yang menatap jauh, seolah menyusun kembali potongan-potongan ingatannya.

Sejak pertama kali tiba di Jakarta, Leha merasakan tekanan kota besar yang sering kali menghancurkan mimpi para pendatang. Udara lemba, gedung-gedung yang menjulang tinggi, dan kebisingan yang tiada henti menjadi teman sehari-harinya.

Namun, dibalik itu semua, ada keinginan kuat dalam dirinya untuk berhasil. Bersama suaminya, ia membuka usaha kecil-kecilan, menjual nasi bebek dan soto ayam.

"Kalau punya rumah sendiri di Jakarta, sudah tergolong kaya, Neng," ucapnya, mengakui bahwa memiliki rumah menjadi impian yang jauh untuk dicapai di tengah kerasnya kota ini.

Gerobak Sederhana dengan Cita Rasa Luar Biasa

Setiap pagi, Leha menyambut hari dengan suara riuh pasar dan keramaian jalan yang semakin meningkat. Di sudut jalan tempat ia berjualan, gerobaknya sudah menjadi pemandangan yang akrab.

Gerobak kayu dengan warna kuning dan coklat itu berdiri kokoh di pinggir trotoar, seperti benteng kecil yang menyimpan kenangan dan harapan.

Angin pagi yang hangat membawa aroma kuah soto yang tengah dipanaskan, menyebar perlahan san menarik pelanggan untuk mendekat.

Bila diamati lebih dekat, gerobak itu seolah tak pernah berhenti bernafas. Uap panas dari kuah soto yang menguap, mengaburkan sejenak pandangan, namun justru menguatkan aroma sedap yang menguar.

Di atas gerobak, sambal merah dengan tekstur halus tersaji dalam mangkuk kecil, menggoda siapa saja yang lewat.

Tangan Leha yang gesit dengan cekatan meracik pesanan, menyendok nasi dari tempat hijau besar, menata potongan bebek atau ayam di atasnya, dan menyiramnya dengan kuah rempah yang hangat.

Setiap kali seseorang memesan, Leha tak pernah lupa mengajukan pertanyaan khasnya, "Mau pake sambel nggak, Neng?" Suaranya lembut, namun penuh perhatian. Bagi Leha, sambal bukan hanya pelengkap, tetapi sebuah simbol dari keramahannya.

Sentuhan sambal yang pedas, menyengat lidah dengan hangat, adalah penutup sempurna dari masakan Madura yang diracik dengan sepenuh hati.

Kehidupan Leha tidak selamanya diwarnai kehangatan seperti kuah soto buatannya.

Tinggal di kontrakan kecil di seberang rel kereta, Leha dan suaminya harus bergulat dengan kerasnya hidup di Jakarta. Kontrakannya yang sempit dan sumpek itu seolah menjadi cermin dari tekanan yang mereka rasakan setiap hari.

Di luar, suara klakson kereta api yang melintas tiada henti, menambah hiruk-pikuk yang tak pernah memberi ruang untuk bernafas.

"Pulangnya malam, saya giliran sama bapaknya," katanya, menegaskan bagaimana ia dan suaminya berbagi tugas dalam mengelola usaha kecil mereka.

Ada masa-masa di mana tantangan datang bukan hanya dari kerasnya ekonomi, tetapi juga dari kebijakan pemerintah.

Saat pemerintahan Ahok, Leha sering kali dihantui oleh razia Satpol PP. Dengan gerobaknya yang sederhana, ia seringkali merasa cemas ketika petugas datang untuk menertibkan pedagang kaki lima.

"Dikejar-kejar Satpol PP udah jadi makanan sehari-hari," kenang Leha, dengan senyum yang samar dan penuh kegetiran. Namun, dibalik itu ada semangat pantang menyerah yang tak pernah padam dalam dirinya.

Simbol Kenangan dan Mitos yang Mengikat

Meskipun Leha telah menanamkan kaki di Jakarta, hatinya tetap berada di Madura. Ia kerap kali berbicara tentang kampung halamannya dengan nada penuh nostalgia, terutama tentang Jembatan Suramadu.

Bagi Leha, jembatan itu bukan sekadar penghubung antara Madura dan Jawa, tetapi juga simbol pengorbanan dan perjalanan hidupnya.

"Jembatan Suramadu punya penunggu, katanya," bisik Leha, melukiskan cerita mistis yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Madura.

Jembatan yang membentang di atas laut itu menyimpan banyak cerita, mulai dari kemegahan arsitektur hingga kisah-kisah tragis orang yang mengakhiri hidup di sana.

"Banyak yang bunuh diri di sana, Neng," kata Leha dengan nada rendah, seolah-olah enggan mengungkapkan lebih banyak tentang sisi kelam jembatan tersebut.

Namun, dibalik semua itu, Suramadu tetap menjadi kebanggaan bagi Leha, simbol dari tanah kelahirannya yang jauh di sana.

“Hanya kendaraan yang boleh lewat, orang jalan kaki nggak boleh," katanya sambil tertawa kecil, menyiratkan aturan yang sering kali tak diketahui oleh banyak orang.

Aroma Rempah yang Melekat dalam Ingatan

Ketika seorang pelanggan datang untuk memesan, ada sensasi yang menyeruak melalui indra penciuman.

Kuah soto yang panas, wangi bawang putih yang kuat, dan aroma khas rempah-rempah Madura memenuhi udara.

Setiap sendok soto yang disajikan adalah cerminan dari rasa pedas dan gurih yang bercampur sempurna, meninggalkan jejak kehangatan di tenggorokan.

Sementara itu, potongan bebek yang renyah di luar namun lembut di dalam membuat setiap gigitan menjadi pengalaman yang tak terlupakan.

Suara dentingan sendok dan piring, celotehan pelanggan yang saling berbicara, serta hiruk pikuk jalan di sekitar gerobak Leha, membentuk suasana khas Jakarta yang tak pernah sepi.

Di tengah semua itu, Leha tetap berdiri, melayani dengan sabar, senyum yang tak pernah pudar dari wajahnya.

Meski hidup di Jakarta penuh tantangan, Leha terus berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya.

Ia memiliki dua anak yang selalu menjadi alasan baginya untuk terus bekerja keras. Anak sulungnya telah menikah, sementara anak keduanya masih di pesantren di Madura, bersekolah di kelas 11.

"Anak yang di Madura pengen masuk kuliah, Neng," katanya dengan nada penuh harapan. Keinginan anaknya untuk melanjutkan pendidikan menjadi pendorong baginya untuk terus berjualan, meski sering kali tubuhnya lelah.

Kadang, Leha menyempatkan diri untuk video call dengan anaknya.

Ada momen dimana ketika anaknya tiba-tiba menelepon, bertanya tentang paket yang dikirim dari Jakarta. "Paketnya cuma topi, tapi anaknya seneng," cerita Leha sambil tersenyum, menyiratkan kebahagiaan sederhana yang datang dari jarak jauh.

Hari-hari Leha di Jakarta mungkin penuh tantangan, tetapi ia terus melangkah.

Penulis: Mila Rismaya Sriyatni

Editor: Luna
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS