PARBOABOA, Pematangsiantar - “Aaa… Iii… Uuu… Eee… Ooo…," suara vokal mengisi ruang kelas Sekolah Jurnalisme Parboaboa, Rabu pagi (16/4/2025). Para peserta berdiri berjajar, melafalkan huruf-huruf vokal tersebut satu per satu dengan perlahan. Lalu menyanyikannya berulang sambil bergerak mengikuti irama.
Setiap pergantian huruf diiringi perubahan gerakan tubuh. Ada yang berdiri tegak sambil mengangkat kedua tangan dan menyatukannya di atas kepala. Ada pula gerakan memiringkan badan ke kiri dan ke kanan. Tawa-tawa kecil pun terdengar. Rasa canggung perlahan mencair.
“Latihan ini merupakan dasar dalam teater, untuk membuat tubuh lebih rileks. Selain itu, juga melatih kepekaan suara, rasa, dan ekspresi,” ujar Thomson HS, budayawan yang menjadi pemateri pagi itu.
Ia kemudian mengaitkan latihan teater tersebut dengan kebudayaan. Menurutnya, teater merupakan bagian yang tak terpisahkan dari warisan budaya, sebuah ruang ekspresi batin yang menghubungkan tubuh dengan jiwa.
Dalam kelas itu, pendiri PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) ini membawakan materi dengan bertolak dari satu pertanyaan mendasar: ke mana arah kebudayaan kita?
Bagi Thomson, pertanyaan itu layak direnungkan, terutama kepada para peserta yang masih muda. Ia berharap para calon jurnalis nantinya tak sekadar piawai menulis, tetapi juga mampu menyelami dimensi budaya secara mendalam.
"Dengan begitu, kelak mereka (para peserta) bisa menuliskan perubahan zaman dengan jernih dan bermakna," sambungnya.
Menurutnya, mempertahankan kebudayaan lokal bukan semata soal melawan arus budaya asing. Namun juga soal kesadaran bersama untuk menjaga dan mengembangkan warisan.
Ia mengingatkan bahwa regulasi sudah tersedia, seperti Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 terkait Cagar Budaya dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Dua payung hukum tersebut, jelas Thomson, dirancang tak hanya untuk melindungi, tetapi juga mengenalkan kebudayaan Indonesia ke tingkat global.
“Negara sudah memberi dasar hukum. Sekarang bagaimana kita menjalankannya. Kebudayaan bukan sekadar warisan, tapi sesuatu yang harus dipahami dan dijalankan secara aktif,” ujarnya.
Baginya, keberhasilan menjaga dan memajukan budaya sangat bergantung pada keterlibatan masyarakat. Terutama generasi muda, termasuk para peserta Sekolah Jurnalisme Parboaboa.
Banjir Budaya Asing
Belakangan ini, tak sulit menemukan anak muda yang lebih fasih menyebut nama-nama grup K-Pop daripada mengenal alat musik tradisional dari daerahnya sendiri. Budaya luar terutama dari Korea Selatan telah masuk membentuk selera, membingkai gaya hidup, bahkan memengaruhi cita rasa. Musik, tarian, drama, hingga kuliner dari negeri ginseng itu kini menjadi bagian akrab dari keseharian generasi muda Indonesia.
"Fenomena ini tak bisa dibendung. Budaya asing akan terus datang. Yang perlu dicermati bukan soal kedatangannya, melainkan kesiapan kita dalam mengantisipasi dampaknya," jelas Thomson.
Sebab jika budaya luar diterima terus-menerus tanpa penyaringan, tanpa dikaji berapa lama ia akan mengendap dalam kehidupan masyarakat, pergeseran identitas bukanlah hal yang mustahil.
"Dan harus ada pertukaran budaya yang seimbang, jangan hanya budaya mereka yang masuk ke sini," tutur Thomson.
Namun ia melihat, di saat budaya luar merambah dan mengisi ruang-ruang publik, budaya Indonesia justru belum mendapat tempat yang setara di negeri-negeri lain. Masuknya seni musik, tarian, atau kuliner Indonesia ke Korea Selatan, misalnya, masih kurang.
"Sejauh ini yang tampak hanyalah meningkatnya minat orang luar mempelajari bahasa dan sastra Indonesia. Itu pun lebih didorong alasan ekonomi agar lebih mudah bekerja di sini, bukan karena ketertarikan yang terhadap budaya kita," ungkapnya.
Namun di balik ketimpangan ini, Thomson melihat ada celah yang bisa dimanfaatkan. Saat warga asing mulai belajar bahasa Indonesia dan datang ke negeri ini, terbuka peluang untuk mengenalkan kekayaan budaya lokal lebih luas.
Meski begitu, Ia mengingatkan, peluang itu tak bermakna jika masyarakat Indonesia sendiri semakin menjauh dari akar budayanya. Diperlukan keterlibatan aktif generasi muda sebagai pewaris yang mampu memperkenalkan budaya ke dunia luar.
Bagi Thomson, menjaga kebudayaan lokal bukan semata tugas para pelaku seni atau institusi kebudayaan. Para calon jurnalis pun memiliki peran penting, sebelum mereka benar-benar masuk ke dunia media.
Ia menekankan pentingnya menyebarkan informasi seputar isu-isu kebudayaan, khususnya yang menyangkut keberadaan dan pelestarian cagar budaya.
Tak cukup hanya mengenal seni, calon jurnalis juga diharapkan mampu menelusuri akar dari kesenian itu sendiri dan seberapa murni bentuknya hari ini.
"Agar karya jurnalistik tak hanya menjadi alat penyampai kabar, tetapi juga menjadi ruang edukasi dan apresiasi terhadap kebudayaan sendiri," tuturnya.
Thomson juga berpesan agar nantinya para calon jurnalis tidak sekadar menjadi penulis sebagai rutinitas teknis, melainkan menyelami kompleksitas kebudayaan yang mereka angkat.
"Menulis kebudayaan, butuh lebih dari sekadar deskripsi permukaan. Di balik setiap kesenian dan warisan budaya, tersimpan sejarah, nilai, dan identitas yang layak ditulis, dipahami dan dijaga," tutupnya.
Bagi Amelia Wulandari Pardede (22), mahasiswa S1 Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Sultan Agung Pematangsiantar, pertemuan dengan materi ini membuka pandangan perihal pentingnya peran jurnalis dalam merawat kebudayaan di tengah arus zaman.
Ia mengakui, selama ini tak pernah benar-benar menyadari bahwa keberagaman suku dan budaya Indonesia sedang berada di ambang kelunturan—terutama di era serba teknologi seperti sekarang.
“Dari pemaparan tadi, saya jadi paham bahwa keberadaan jurnalis itu sangat penting dalam menjaga kebudayaan,” ungkapnya pada Parboaboa, Rabu (16/5/2025).
Kini, Ia melihat jurnalisme bukan sekadar alat untuk menyampaikan informasi, tapi juga senjata untuk mempertahankan kekayaan identitas bangsa.
Amelia mengakui, sebelumnya ia menganggap belajar budaya sebagai sesuatu yang tak begitu penting. Kini dirinya mulai menyadari perlunya nanti menjadi jurnalis yang bisa membawa budaya ke mana pun melangkah.
"Menulis berita ternyata tak bisa dilepaskan dari perspektif kebudayaan, terutama dalam memahami konteks sebuah peristiwa yang terjadi di daerah," ujarnya.
Peserta lainnya, Novriani Tambunan (25), merasa menemukan kembali di kelas pagi itu perihal pentingnya peran jurnalis sebagai intelektual publik—yang dapat menghadirkan kesadaran tentang budaya.
"Saya belajar bahwa budaya itu bukan sesuatu yang tiba-tiba ada. Ia dibentuk dari fase panjang yang dilewati para leluhur kita," ujarnya pada Parboaboa, Rabu (16/4/2025).
Lulusan S1 Kesejahteran Sosial FISIP USU ini, kian memahami bahwa budaya sebagai cara hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tak hanya membentuk identitas suatu kelompok, tetapi juga menentukan arah kehidupan masyarakat.
Novriani menyadari, di tengah kemajemukan Indonesia, peran jurnalis dalam menjaga keragaman ternyata krusial. Jurnalis dapat mengubah cara pandang publik tentang peristiwa, termasuk bagaimana kita melihat isu budaya di sekitar.
Kesadaran itu membuatnya terdorong untuk lebih memahami literasi budaya sebagai bagian dari identitas bangsa. Sebagai calon jurnalis, Ia perlu membuka diri terhadap kompleksitas budaya.
Sehingga baginya, salah satu bentuk kontribusi nyata adalah mengeksplorasi kegiatan budaya lokal melalui tulisan. Seperti memperkenalkan kekayaan budaya dari destinasi wisata seperti Samosir, yang tak hanya menarik secara visual tetapi juga kaya akan makna sejarah.
Sebelum mengikuti pelatihan, Novriani mengaku belum menaruh perhatian serius pada persoalan budaya. Kepada dirinya sendiri, Ia ingin menekankan pentingnya membaca dan memahami konteks budaya dalam setiap isu.
"Bukan semata sebagai tambahan informasi, melainkan sebagai dasar berpikir yang memperkaya perspektif. Setiap peristiwa pasti punya jejak sejarah budaya. Kalau tidak peka, kita hanya akan menulis permukaannya saja," ujarnya.
Editor: Rin Hindryati