Kabar dari Sekolah Jurnalisme Parboaboa: Menanamkan Profesionalisme dan Kepekaan terhadap Kemanusiaan

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nany Afrida, sedang menyampaikan materi (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung).

PARBOABOA, Pematangsiantar - Suara Nany Afrida memenuhi ruang kelas dengan jelas dan tegas. Bukan untuk menggurui, melainkan mengajak peserta berpikir mendalam.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia itu menyampaikan materi dengan tempo cepat namun tetap terukur. Sesekali ia berhenti, menyesuaikan irama, memberi ruang agar peserta bisa mengikuti alurnya.

Ruang kelas terasa cair. Ia menyelipkan canda ringan di tengah penjelasan yang padat. Tawa-tawa kecil mengisi sela-sela pembahasan. Tak ada jarak antara pembicara dan peserta, melainkan percakapan dua arah.

Para peserta yang semula duduk kaku, perlahan bersikap lebih santai dan cepat merasa akrab dengannya. Namun di balik suasana yang hangat itu, materi yang dibawakan berbobot. Nany membawakan dua tema besar yang jarang dikaitkan secara langsung: ‘Menjadi Jurnalis Profesional di Era Digital, sekaligus ‘Memperjuangkan Hak Perempuan, Anak, dan Kelompok Minoritas.

Ia memandang, profesionalisme dalam jurnalisme telah mengalami pergeseran sejak era digital berkembang. Sebelumnya, jurnalis dinilai dari sikap independen dan kemampuan menulis yang berimbang. Kini, tantangannya bertambah dengan kehadiran media sosial.

Jika dulu cukup mengumpulkan informasi dan menyusunnya secara berimbang, kini jurnalis berhadapan dengan publik yang lebih dulu memperoleh informasi dari media sosial—yang kerap dijadikan pembanding.

"Bahkan, terkadang kepercayaan masyarakat terhadap informasi dari media sosial lebih tinggi daripada dari jurnalis. Ini menjadi tantangan besar," ujarnya kepada Parboaboa, Senin (14/4/2025).

Menurutnya, banyak jurnalis muda yang masih gagap menghadapi dinamika digital. Padahal, prinsip utamanya tidak berubah, yaitu mematuhi kode etik jurnalistik.

Ia menyebut, dua materi yang dibawakan dalam pelatihan ini—soal profesionalisme dan keberpihakan pada isu kemanusiaan – merupakan fondasi penting bagi siapa pun yang ingin menjadi jurnalis.

Di hadapan peserta, ia menekankan pentingnya kepekaan terhadap isu-isu kemanusiaan sejak dini, bahkan sebelum seseorang masuk ke ruang redaksi.

Makan siang bersama saat jam istirahat (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung).

Kepekaan semacam ini akan membantu jurnalis mengenali apakah suatu peristiwa memiliki nilai berita. Sebab dari sanalah pijakan profesionalisme dibangun.

Nany mencontohkan, saat hendak meliput kelompok rentan seperti perempuan, anak, dan minoritas, jurnalis harus memahami pendekatan yang tepat. Kepekaan ini akan membentuk cara kerja, baik dalam proses wawancara maupun pencarian ide.

"Karena tidak semua jurnalis memiliki keterampilan cukup untuk mewawancarai kelompok rentan, sehingga pelatihan semacam ini sangat diperlukan dalam proses profesionalisasi," tutur Nany.

Baginya, satu hal yang paling penting untuk terus diingat peserta adalah bahwa seorang jurnalis mesti melihat dunia dengan cara pandang yang tidak sekadar hitam-putih.

"Karena kehidupan ini jauh lebih kompleks daripada apa yang terlihat di permukaan," jelasnya.

Ia menekankan, tugas jurnalis bukan hanya menyampaikan peristiwa, tetapi mengungkap konteks yang menyertainya. Memahami latar, membaca makna, dan menentukan mana yang layak disampaikan kepada publik.

Dengan cara pandang itu, peserta bisa menghasilkan tulisan mendalam, kritis, dan bermakna. Tulisan yang tak hanya dipahami, tetapi juga dibutuhkan untuk membangun kepercayaan masyarakat.

Sebab, sebagaimana ditekankan Nany, jurnalisme seharusnya menjadi alat untuk mengikis diskriminasi, stigma, dan kesalahpahaman.

"Bukan sekadar kecepatan dalam menyampaikan informasi, tetapi bagaimana informasi itu bisa dipercaya dan memberi kesadaran," tutupnya.

Salah satu peserta, Lasria Margaretha Simalango (22), mengakui materi yang dibawakan Nany Afrida membuka pikirannya. Mahasiswa semester delapan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar ini baru pertama kali menyentuh dunia jurnalistik secara langsung.

"Materi tentang menjadi wartawan profesional di era digital sangat menambah wawasan saya," ujarnya pada Parboaboa, Senin(14/4/2025).

Ia menjadi paham pentingnya adaptasi media dan jurnalis terhadap perkembangan platform digital, sekaligus menekankan bahwa kode etik dan kepribadian tetap harus menjadi dasar yang kuat dalam profesi ini.

Lasria juga mengakui, sebelum mengikuti pelatihan ini, ia sempat memiliki persepsi yang keliru. Menurutnya, jurnalisme tampak sebagai profesi yang kurang diminati dan tidak memiliki aturan khusus dalam penulisan.

"Awalnya saya pikir menulis berita itu asal menulis saja, tanpa aturan tertentu. Tapi ternyata dalam melihat sebuah kejadian, jurnalis harus mampu melihat dari berbagai perspektif," jelasnya.

Foto bersama selesai kelas (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung).

Ia pun menyadari pentingnya pemilihan diksi dan penggunaan kalimat yang efektif dalam menulis sebuah berita, agar informasi yang disampaikan tidak hanya akurat, tapi juga mudah dipahami pembaca.

Begitu juga dengan peserta lainnya, Alberto Nainggolan (22), mahasiswa Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar. Ia merasa bahwa paparan Nany Afrida memberinya perspektif baru.

Suatu hal yang paling membuka wawasannya adalah pembahasan mengenai kode etik jurnalistik. Ia mengaku sebelumnya belum mengetahui pentingnya prinsip tersebut dalam menjaga integritas jurnalis.

“Karena di dalam kode etik, setiap informasi yang ingin disampaikan harus melalui proses verifikasi yang cermat dan disampaikan dengan akurat,” ujarnya pada Parboaboa, Senin (14/4/2025).

Bagi Alberto, pemahaman ini menjadi titik balik dalam cara pandangnya terhadap dunia jurnalistik. Ia mulai menyadari, menjadi jurnalis bukan hanya perihal menulis cepat dan menarik, tetapi juga soal tanggung jawab terhadap kebenaran dan dampak dari informasi yang disebarkan.

Salah satu aspek yang ingin ia perbaiki setelah mengikuti kelas ini adalah penggunaan diksi. Alberto menyadari, pemilihan kata dalam penulisan berita memiliki pengaruh besar terhadap persepsi publik.

“Jika menulis, saya ingin berhati-hati dalam memilih kata, agar tidak menyinggung atau menodai komunitas jurnalis dan merugikan narasumber atau kelompok tertentu,” ujarnya.

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS