Kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi Atasi Kenakalan Pelajar Jawa Barat, Menuai Banyak Kritik

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. (Foto: X/@Forum_Daerah)

PARBOABOA, Jakarta - Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2025 di Jawa Barat terasa berbeda. Selain dirayakan dengan seremoni biasa, momentum ini juga memicu debat publik terkait pendekatan baru dalam menangani kenakalan remaja, para pelajar.  

Gubernur Dedi Mulyadi memilih jalur disiplin militer di tengah lonjakan kasus tawuran pelajar yang mencemaskan.

Berdasarkan data Polda Jabar, sepanjang 2024 terjadi lebih dari 200 kasus tawuran pelajar, dengan mayoritas pelaku berasal dari jenjang SMA dan SMK. Solusi ekstrem ini menuai pujian sekaligus kritik.

"Hari ini sangat spesial karena hari pertama saya menjadi gubernur, melaksanakan peringatan Hari Pendidikan Nasional," ucapnya penuh semangat.

Di tengah riuh pro dan kontra, Dedi langsung menegaskan arah kebijakan barunya: larangan study tour, pelarangan perpisahan sekolah yang meriah dan berbiaya mahal, diganti dengan perayaan yang sederhana tapi bermakna.

Namun di balik gagasan tersebut, Dedi mengungkapkan fakta yang lebih mengkhawatirkan.

Kenakalan pelajar di Jawa Barat, terutama tawuran antarpelajar, kian mengganas. "Saya sudah berapa puluh menangani orang korban tawuran yang babak belur, harus membiayai di rumah sakit biayanya puluhan juta, udah banyak banget deh," ujarnya prihatin.

Situasi ini mendorongnya mengambil langkah tegas. "Untuk itu, saya mengambil tindakan-tindakan yang memang semestinya dilakukan," kata Dedi.

Salah satu bentuk konkret dari langkah itu adalah mengembangkan pola pendidikan berbasis kedisiplinan ketat yang berbasis militer.

Lebih lanjut ia mengatakan, banyak orang tua merasa kewalahan menangani perilaku anak mereka.

"Karena orang tuanya engga sanggup, ditangani di kepolisian, karena masih banyak yang remaja, dikembalikan kepada orang tuanya," jelas Dedi.

Dalam kondisi seperti itu, ia menegaskan negara tidak boleh tinggal diam.

Pemerintah Jawa Barat pun merancang pola pendidikan kedisiplinan di kompleks militer.

Ia mengatakan selama di barak militer, anak-anak dididik layaknya taruna: tidur pukul 8 malam, bangun pukul 4 pagi, sholat subuh, merapikan kamar, menyapu halaman, hingga olahraga sebelum belajar seperti biasa.

Adapun program ini sudah dimulai di Kabupaten Purwakarta, dan sejumlah anak telah dikirim orang tuanya ke sana.

Kontroversi dan Kritik

Meski menuai dukungan dari sebagian pihak, kebijakan ini tidak lepas dari kritik. Legislator PDIP Bonnie menyayangkan pendekatan militeristik terhadap anak bermasalah.

Menurutnya, penguatan karakter seharusnya dilihat secara menyeluruh, melibatkan keluarga, lingkungan sosial, dan aktivitas sekolah.

"Melibatkan psikolog dan psikiater untuk menangani siswa bermasalah jauh lebih tepat ketimbang mengirim mereka ke barak militer," tegas Bonnie.

Ia juga mendesak pemerintah daerah untuk memperkuat peran guru konseling serta menyediakan sarana olahraga dan seni guna menyalurkan energi dan kreativitas pelajar.

Bonnie menambahkan, jangan sampai program ini malah menambah beban TNI. "Sebaiknya jangan sampai merepotkan tentara yang sedang bertugas menjaga NKRI dari potensi ancaman dari luar," ujarnya.

Ia menekankan, kenakalan remaja tidak bisa diselesaikan dengan solusi instan seperti barak militer, sebab masalah ini kerap berakar pada persoalan sosial yang kompleks.

Senada dengan Bonnie, Ketua Dewan Pakar PSPK, Itje Chodidjah, menilai langkah Dedi terlalu reaktif.

Ia menyarankan agar pemerintah fokus membenahi kualitas guru dan sistem pengajaran di sekolah.

"Sekolah benahi, guru benahi. Itu kan lagi beredar data dari KPK, berapa persen guru yang sering meninggalkan kelas tanpa alasan," ujarnya.

Menurut Itje, sekolah adalah fondasi karakter anak. Ia menyebut karakter anak seharusnya sudah dibentuk sejak PAUD hingga SMP.

Jadi, jika saat SMA mereka bermasalah, itu adalah cerminan dari kegagalan sistem selama 12 tahun pendidikan sebelumnya.

Itje mengingatkan bahwa pembentukan karakter bukan perkara sederhana. Mengirim siswa ke barak militer tanpa pendidikan formal selama enam bulan hanya akan memperparah masalah. Ia menegaskan, perbaikan sistemik harus dimulai dari sekolah.

"Kalau kita melihat compang-campingnya sekolah, maka disitulah lakukan perbaikan," tandasnya.

Dengan banyaknya kantor dinas pendidikan di tiap kecamatan di Jawa Barat, menurut Itje, seharusnya pengawasan dan pembinaan guru bisa lebih efektif.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS