Kontroversi Sukatani : Apresiasi atau Upaya Meredam Kritik?

Kontroversi Band Punk Sukatani. (Foto: Instagram @sukatani)

PARBOABOA, Jakarta – Publik dikejutkan oleh pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang menawarkan band punk asal Purbalingga, Sukatani, sebagai Duta Polri.

Tawaran ini muncul setelah kontroversi terkait lagu "Bayar Bayar Bayar", yang berisi kritik terhadap institusi kepolisian, viral dan kemudian ditarik dari platform musik.

Namun, yang menjadi sorotan bukan hanya tawaran tersebut, melainkan dugaan intimidasi yang dialami personel Sukatani sebelum mereka meminta maaf secara terbuka dan menarik lagu mereka.

Masyarakat pun bertanya- tanya: Apakah ini bentuk apresiasi atau justru strategi meredam kritik?

Dalam pernyataannya pada Minggu (23/2/2025), Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebutkan bahwa Polri terbuka terhadap kritik dan mengundang Sukatani untuk berperan dalam evaluasi institusi.

"Nanti kalau Band Sukatani berkenan, akan kami jadikan juri atau band Duta untuk Polri, terus membangun kritik demi koreksi dan perbaikan terhadap institusi," ujar Sigit.

Ia menegaskan bahwa Polri berkomitmen untuk menjadi organisasi yang lebih modern dan responsif terhadap kritik masyarakat.

Sebagai bukti, Sigit mengklaim bahwa selama kepemimpinannya, Polri telah menggelar berbagai ajang seperti lomba orasi, mural, hingga stand-up comedy bertemakan kritik terhadap kepolisian.

Dugaan Intimidasi

Sebelumnya, beredar video yang memperlihatkan personel band Sukatani meminta maaf kepada publik dan Kapolri atas lagu mereka yang viral.

Dalam video tersebut, mereka juga melepas balaclava (penutup wajah) yang selama ini menjadi identitas mereka di panggung.

Namun, di balik permintaan maaf itu, muncul dugaan intimidasi dari aparat kepolisian. Menurut laporan dari berbagai sumber, empat anggota Polda Jawa Tengah tengah diperiksa oleh Divisi Propam Polri karena diduga meminta Sukatani membuat video permintaan maaf.

Tak hanya itu, salah satu personel band juga dikabarkan kehilangan pekerjaannya setelah sekolah tempatnya mengajar mendapat tekanan dari pihak tertentu.

Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, bahkan ikut angkat suara terkait isu ini.

Pigai mengingatkan bahwa dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI/Polri pada 30 Januari 2025, Presiden Prabowo menekankan perlunya evaluasi mendalam dalam institusi kepolisian.

Ia berharap kepolisian menindaklanjuti arahan tersebut dengan langkah konkret.

“Pernyataan Presiden harus menjadi momentum bagi Kepolisian untuk melakukan koreksi substansial,” ujar Pigai di Jakarta, Sabtu (22/2/2025), dikutip dari Antara, Minggu (23/2/2025).

Menurut Pigai, hak asasi manusia (HAM) tidak boleh dibatasi sembarangan. Berdasarkan Prinsip Siracusa, kebebasan berekspresi hanya dapat dibatasi oleh undang-undang atau keputusan pengadilan, bukan atas dasar tekanan dari pihak tertentu.

"Setiap warga negara berhak mengekspresikan seni, termasuk melalui musik. Pembatasan hanya bisa dilakukan jika karya tersebut mengandung unsur pornografi, pornoaksi, atau fitnah yang merusak kehormatan individu serta integritas nasional," jelasnya.

Pigai menegaskan bahwa Kementerian HAM berkomitmen untuk memperkuat pengarusutamaan HAM dalam berbagai institusi, termasuk kepolisian. Ia menilai bahwa kritik dalam bentuk seni adalah sesuatu yang sah selama tidak mengandung unsur anonim atau tuduhan yang tak berdasar.

Di media sosialnya, @nataliuspigai2, Pigai turut menginstruksikan stafnya untuk menyelidiki kabar pemecatan vokalis Sukatani dari pekerjaannya.

"Jika benar pemecatan itu terjadi karena perannya sebagai vokalis Sukatani, maka kami akan menolak tindakan tersebut. Pemerintah berkomitmen melindungi hak asasi setiap warga negara," tegas Pigai dalam cuitannya.

Meski demikian, Pigai membuka ruang bagi pelaporan langsung ke kantor Kementerian HAM di Jawa Tengah atau kantor pusat jika ada pihak yang merasa dirugikan atas kasus ini.

Hak Berkesenian dan Ekspresi

Menurut Damar Juniarto, pendiri PIKAT Demokrasi dan dosen politik digital UPN Veteran Jakarta, kasus Sukatani berpotensi menjadi pelanggaran hak berekspresi dan berkesenian.

"Konstitusi Indonesia mengatur bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk berekspresi, termasuk melalui seni. Pembatasan hanya boleh dilakukan dalam kasus-kasus tertentu, seperti ajakan perang atau ujaran kebencian," jelasnya.

Lagu "Bayar Bayar Bayar" sendiri telah beredar sejak 2023, namun baru dipermasalahkan setelah viral. Damar mempertanyakan: Siapa yang dirugikan oleh lagu ini?

Seniman dan musisi lainnya juga menyatakan keprihatinan. Eka Annash, vokalis The Brandals, mengingatkan bahwa kasus ini mencerminkan apa yang dulu mereka tolak dalam RUU Permusikan: pembungkaman kritik lewat seni.

"Pada akhirnya, terjadi juga. Walaupun konteks liriknya adalah kritik dan tidak melanggar hukum," ujar Eka.

Gelombang Dukungan

Alih-alih meredam kritik, tindakan terhadap Sukatani justru memicu gelombang solidaritas. Tagar #KamiBersamaSukatani menggema di media sosial, dengan lebih dari 164 ribu cuitan di Twitter dan 80 ribu unggahan di Instagram per Jumat (21/2/2025).

Di berbagai kota, aksi solidaritas bermunculan. Di Bandung, sekelompok pemuda memasang poster #KamiBersamaSukatani di depan markas Polrestabes.

Sementara di Jakarta, peserta Aksi Kamisan memutar lagu Bayar Bayar Bayar di hadapan aparat kepolisian.

Selain itu, musisi di berbagai daerah mulai meng-cover lagu tersebut dan merilisnya di platform digital sebagai bentuk perlawanan.

Bahkan, lagu yang telah ditarik dari Spotify dan Apple Music kini masih beredar luas di YouTube dan Soundcloud.

Menurut Wawan Kurniawan, peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), reaksi masyarakat ini didorong oleh perasaan ketidakadilan (perceived injustice).

"Masyarakat menilai bahwa ini adalah pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, yang seharusnya dijamin dalam sistem demokrasi. Semakin keras tekanan yang dilakukan, semakin besar perlawanan yang muncul," jelasnya.

Sanggahan Kepolisian

Menanggapi kontroversi ini, Polri membantah tuduhan bahwa mereka menekan Sukatani.

Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menegaskan bahwa Polri tidak anti-kritik.

"Komitmen dan konsistensi Polri adalah menjadi organisasi modern yang terbuka terhadap kritik. Ini selalu ditekankan oleh Kapolri," katanya kepada wartawan, Jumat (21/2/2025).

Kapolri Listyo Sigit juga menepis tuduhan bahwa Polri memaksa Sukatani untuk meminta maaf.

"Tidak ada masalah. Mungkin ada kesalahpahaman, namun sudah diluruskan," ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa kritik dapat menjadi bahan evaluasi bagi institusi Polri untuk terus berbenah.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS