PARBOABOA - Sebagai ibu kota negara, Jakarta tidak hanya menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi, tetapi juga menjadi tempat berkumpulnya berbagai budaya yang beragam.
Namun, di tengah gemerlapnya kota, tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat pengangguran masih menjadi masalah serius.
Kondisi ini berkontribusi pada meningkatnya jumlah orang yang mencari nafkah di jalanan, seperti pengemis, pedagang asongan, hingga para seniman jalanan.
Seni jalanan menjadi salah satu cara bagi masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan tetap, untuk bertahan hidup.
Di berbagai sudut Jakarta, seperti di lampu merah, di dekat tempat makan, hingga di pusat-pusat keramaian, kita dapat menemui berbagai bentuk ekspresi seni jalanan yang menghidupi banyak orang.
Salah satu bentuk seni jalanan yang khas dan masih sering kita temui di Jakarta adalah ondel-ondel.
Dalam sejarahnya, ondel-ondel dikenal sebagai simbol perlindungan yang membawa pesan kultural yang kuat dan sering muncul dalam perayaan adat, pesta rakyat, serta acara kebudayaan di Jakarta.
Namun, seiring berjalannya waktu, ondel-ondel mengalami pergeseran fungsi dan makna di masyarakat.
Dari simbol budaya yang sakral, kini kerap kali ditemukan di jalanan kota Jakarta sebagai alat untuk mengamen.
Sehingga keberadaan ondel-ondel ini, menjadi persoalan besar karena termasuk bagian dari "informal economy", atau kegiatan ekonomi, perusahaan, pekerjaan, dan pekerja yang beragam yang tidak diatur atau dilindungi oleh negara (Ilegal).
Pada tahun 2021, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta menangkap sebanyak 62 pengamen ondel-ondel untuk diamankan. Informasi ini dikutip dari unggahan di akun Instagram resmi @satpolpp.dki.
Aksi penertiban ini menjadi sorotan publik, terutama setelah diunggah oleh Satpol PP melalui akun Instagram resmi mereka.
Penangkapan ini mencerminkan upaya pemerintah daerah dalam menjaga ketertiban umum, sekaligus menunjukkan adanya pergeseran fungsi ondel-ondel, yang kini lebih sering ditemukan sebagai alat untuk mengamen di jalanan daripada sebagai simbol budaya tradisional Betawi.
Di beberapa tempat, ondel-ondel kerap dianggap sebagai pengganggu ketertiban umum, terutama jika beroperasi di area-area yang tidak diizinkan.
Kritik ini tidak sepenuhnya tanpa dasar, karena sering kali ondel-ondel yang ditampilkan tidak lagi menampilkan kesenian secara utuh, melainkan hanya menjadi alat untuk mengumpulkan uang.
Kostum yang dipakai juga sering tidak sesuai dengan yang seharusnya, dan musik yang mengiringi pun jauh dari alat musik tradisional seperti tanjidor, melainkan menggunakan speaker portable.
Mengenal Ondel-ondel
Ondel-ondel merupakan ikon budaya Betawi yang selalu hadir dalam perayaan di Jakarta.
Boneka besar dengan warna mencolok ini awalnya dikenal sebagai "barung" atau "barongan," yang berarti kelompok orang dalam bahasa Betawi.
Menurut catatan sejarah dari pedagang Inggris W. Scot, ondel-ondel sudah ada sebelum tahun 1600 M.
Perubahan nama dari barongan menjadi ondel-ondel dipopulerkan oleh seniman Betawi, Benyamin Sueb, melalui lagu berjudul "Ondel-Ondel,".
Dulu, ondel-ondel dipercaya sebagai simbol leluhur yang melindungi desa. Bentuknya pun lebih menyeramkan dibanding versi modern, dengan wajah bercaling dan rambut berantakan.
Kehadiran ondel-ondel dalam acara tradisional menambah kesakralan peristiwa yang tengah dirayakan.
Pertunjukannya selalu diiringi musik khas, dengan tabuhan kendang, gendang, dan alat musik Betawi lainnya yang mencerminkan suasana riuh namun penuh penghormatan pada leluhur.
Boneka ini terdiri dari dua bagian, yakni kepala dan badan. Hiasan di kepala seringkali berbentuk kembang kelapa yang menggambarkan sejarah Jakarta sebagai wilayah perkebunan kelapa.
Ondel-ondel laki-laki memiliki wajah merah, melambangkan keberanian dan kekuatan, sementara yang perempuan berwajah putih, melambangkan keramahan dan kelembutan.
Pakaian ondel-ondel juga berbeda, dengan laki-laki mengenakan sadaria dan perempuan memakai kebaya encim.
Pada acara resmi, ondel-ondel perempuan sering memakai selendang dengan motif flora atau fauna, sementara laki-laki bermotif kotak-kotak.
Editor: Rista