Kabar dari Sekolah Jurnalisme Parboaboa: Membuka Mata Soal Sengkarut Agraria dan Masalah Lingkungan

Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Rocky Pasaribu. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

PARBOABOA, Pematangsiantar - “Kita para Sarjana ke kota untuk bekerja, padahal sumber daya itu di kampung. Jadi kenapa tanah dirampas? Karena orang tua kita di kampung tidak melek hukum,” kata Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Rocky Pasaribu. Suaranya terdengar mantap di ruang kelas Sekolah Jurnalisme Parboaboa, Senin pagi (21/4/2025).

Kalimat itu dilontarkan di tengah sesi, bukan sebagai bagian dari slide materi. Sebuah ajakan untuk merenung. Refleksi tersebut muncul saat Rocky hadir sebagai pengajar. Ia membawakan materi bertajuk ‘Sengkarut Masalah Agraria dan Lingkungan di Indonesia’.

Di samping itu, aktivis lingkungan ini juga menyinggung minimnya perhatian kampus terhadap isu-isu masyarakat adat. Universitas seharusnya berperan sebagai stakeholder yang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Namun isu ini jarang dibahas di ruang-ruang akademik. Independensi kampus redup, karena tak jarang justru menjadi perpanjangan tangan kapitalisme.

"Lembaga pendidikan tinggi lebih banyak berorientasi pada penciptaan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan pasar, ketimbang membentuk warga yang kritis terhadap persoalan-persoalan struktural," ungkapnya pada Parboaboa, Senin (21/4/2025).

Rocky mengajar dengan penjelasan runut, tenang, namun tegas. Sebagai Direktur KSPPM yang berbasis di Parapat, Ia terbiasa berbicara soal agraria dan lingkungan dari sudut pandang masyarakat akar rumput.

Tak hanya menyampaikan data, Ia juga mengajak peserta membangun kesadaran—bahwa isu-isu ini menyentuh langsung kehidupan banyak orang, dan tak bisa diberitakan secara netral begitu saja.

“Dua puluh empat jam kita selalu diintip para kaum kapitalis,” katanya, menyiratkan bahwa eksploitasi kini bekerja secara halus lewat regulasi, konsumsi, hingga cara hidup yang tanpa disadari.

Bagi Rocky, penting anak-anak muda yang belajar jurnalisme untuk memahami persoalan agraria dan lingkungan. Sebab medan pertarungan hari ini tak lagi hanya di kota-kota besar, melainkan ke desa-desa.

“Pedesaan sekarang jadi pusat pembangunan. Hal itu bisa dilihat dari maraknya proyek-proyek strategis nasional yang merambah ke desa. Dari pariwisata, pertanian, hingga proyek energi, infrastruktur dan sebagainya," jelasnya.

pbb sdg mnymk

Serius Menyimak. (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

Desa bukan lagi sekadar ruang tinggal, melainkan ruang rebutan. Yang berebut, kata Rocky, bukan sembarang pihak—melainkan kapitalisme itu sendiri. Dalam pusaran itulah, peran anak muda menjadi sangat penting.

Ia berharap kelas jurnalisme ini tak hanya memperkaya keterampilan teknis para peserta, tetapi juga membentuk cara berpikir kritis. Memahami bahwa pembangunan bukan sekadar deretan proyek fisik, melainkan proses sosial yang menuntut keterlibatan, pengawasan, dan keberanian untuk mempertanyakan.

“Harapan saya, anak-anak muda yang ikut kelas ini akan kembali ke kampungnya masing-masing untuk memastikan bahwa apa pun yang dibangun di pedesaan adalah pembangunan yang berbasis hak asasi manusia dan berkelanjutan,” tegasnya.

Di tengah euforia pembangunan, suara-suara dari kampung sering kali tenggelam. Bagi Rocky, jurnalis bisa menjadi mata dan telinga untuk mencatat, mengawal, dan jika perlu menggugat.

Peran Media

Ia tidak memposisikan media semata sebagai penyampai informasi, melainkan sebagai salah satu stakeholder penting dalam perjuangan agraria. Baginya, media adalah mitra strategis, terutama dalam mengangkat konflik agraria yang selama ini kerap luput dari pemberitaan arus utama.

"Tapi, bukan bermaksud mengecilkan peran jurnalis, sering kali ketika kami mengundang media, itu tidak dipublikasikan karena konteksnya tidak benar-benar mereka pahami," ungkap Rocky.

Ini tantangan sekaligus kritik yang menurutnya harus dijawab jurnalisme hari ini. Konflik agraria terlalu sering diberitakan hanya tampak di permukaan. Padahal, di balik perebutan tanah, tersembunyi sejarah panjang ketimpangan, warisan kolonialisme yang belum tuntas, dan masyarakat yang perlahan tersingkir atas nama pembangunan.

Rocky juga melihat bahwa mekanisme penyelesaian yang ditawarkan pemerintah masih berbelit, tidak menyentuh akar masalah. Karenanya Ia berharap para peserta pelatihan ini kelak menjadi jurnalis yang tak hanya meliput, tetapi juga memahami, menggali, dan menuliskannya secara utuh—dari hulu hingga hilir—dengan keberpihakan yang jernih.

“Karena, pemberitaan tentang konflik agraria bisa menjadi barometer bagi pemerintah untuk menentukan isu strategis mana yang seharusnya diprioritaskan,” tuturnya.

Salah satu peserta, Michael Josua Robert Sijabat (22), mahasiswa Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar, mengaku puas karena materi yang disampaikan Rocky memperluas wawasannya.

“Saya juga pernah ikut mendampingi masyarakat adat Sihaporas, dan materi ini membuat saya merasa pengalaman itu belum cukup. Masih banyak hal yang belum saya pahami secara menyeluruh,” ujarnya pada Parboaboa, Senin (21/4/2025).

interaktif dn hngt

Suasana Kelas Yang Hangat dan Interaktif. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Materi yang dibawakan Rocky, menurut Michael, memantik kesadaran bahwa advokasi bukan hanya soal turun ke jalan atau bersuara lantang, tetapi juga soal strategi dan ketepatan posisi dalam perjuangan.

“Saya pikir selama ini yang penting itu semangat dan keberanian untuk bersuara, tapi ternyata yang paling utama adalah masyarakat adat sendiri yang harus bicara atas nama mereka,” katanya.

Ia menambahkan bahwa tugas pendamping bukan mengambil alih suara, melainkan memperkuatnya dari belakang. Karenanya Ia ingin memperdalam pengetahuan agar nantinya bisa mendampingi dengan lebih bertanggung jawab.

Begitu juga dengan Alberto Nainggolan (22), mahasiswa Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar, kelas ini membuka perspektif baru dalam memahami bagaimana konflik agraria menyentuh kehidupan masyarakat adat—khususnya di Tano Batak.

“Saya jadi sadar bahwa isu agraria bukan cuma soal tanah, tapi juga soal kuasa, sejarah, dan ekologi yang perlahan dirampas dari masyarakat adat,” ungkapnya pada Parboaboa, Senin (21/4/2025).

Ia mengaku sebelumnya hanya memahami konflik agraria sebagai sesuatu yang jauh dan teknis. Namun materi yang disampaikan Rocky membuatnya mengerti bahwa konflik semacam ini hadir begitu dekat.

“Saya baru menyadari betapa pentingnya memahami konteks perampasan ruang hidup secara utuh, terutama di daerah seperti Tano Batak yang terus-menerus terancam,” ujarnya.

Materi itu pula yang mendorongnya untuk mengubah cara pandang dalam menulis. Bahwa menjadi jurnalis bukan hanya soal menyampaikan peristiwa, tetapi menggali lapisan-lapisan struktural di baliknya.

Ia merasa narasi-narasi seperti itu harus diperbanyak, agar masyarakat umum tidak terus-menerus dicekoki versi pembangunan yang serba menguntungkan. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya.

Editor: Rin Hindrayati

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS