PARBOABOA, Jakarta - Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menggunakan pendekatan rehabilitasi terhadap pengguna narkoba.
Pasal 54 UU a quo bahkan mewajibkan pengguna obat terlarang tersebut untuk menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi medis adalah serangkaian upaya pengobatan terpadu yang bertujuan untuk membantu pecandu melepaskan diri dari ketergantungan narkotika.
Proses ini dapat dijalankan di rumah sakit yang telah ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan, baik rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah maupun yang dikelola oleh masyarakat.
Sementara itu, rehabilitasi sosial adalah proses pemulihan yang lebih komprehensif, mencakup rehabilitasi aspek fisik, mental, dan sosial.
Rehabilitasi sosial bertujuan membantu mantan pecandu narkotika agar dapat kembali berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan menjalankan fungsi sosialnya secara normal.
Pakar Hukum sekaligus Mantan Wamen Hukum dan HAM, Denny Indrayana mengatakan, secara filosofis pendekatan rehabilitasi dikedepankan karena pengguna merupakan korban.
"Mereka bukan pelaku kejahatan," tegasnya.
Itulah sebabnya, kata dia, perlu adanya upaya dekriminalisasi dan depenalisasi, yaitu pergeseran perbuatan pidana menjadi bukan pidana terhadap aturan penyalahgunaan narkoba.
Kendati demikian, di sisi lain, meskipun UU telah mengatur tentang rehabilitasi bagi pengguna narkotika, tambahnya, penerapannya di lapangan masih didominasi oleh pemidanaan.
Tak hanya itu, pengobatan yang idealnya dilakukan di panti rehabilitasi, dalam kenyataannya masih dilakukan di lembaga pemasyarakatan. padahal, penjara tidak efektif dalam menyembuhkan atau memberikan efek jera.
Justru, pengguna yang dipenjara tegas Denny, berpotensi menjadi pengedar dan bahkan ikut mengendalikan peredaran narkoba dari dalam lapas.
Erasmus Napitupulu, Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), melihat fenomena ini sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam urusan kebijakan narkotika.
Menurut Erasmus, pemerintah seharusnya perlu memahami pentingnya reformasi kebijakan narkotika. Ini karena tidak ada satu pun negara di dunia yang berhasil mengatasi masalah penyalahgunaan narkotika melalui kebijakan penghukuman pidana bagi para penggunanya.
Memenjarakan korban kata dia, merupakan "kebijakan yang keliru."
Karena itu, reformasi diperlukan melalui dekriminalisasi penggunaan dan kepemilikan narkotika dengan mengutamakan pendekatan kesehatan masyarakat.
Selama ini, upaya pemberantasan hanya berfokus pada pengendalian pasokan dan menghukum pengguna, meskipun UU 35/2009 sebenarnya mendukung pendekatan kesehatan.
Sayangnya, kata dia, jaminan rehabilitasi dalam UU juga tidak menghilangkan ancaman hukuman penjara, sehingga banyak pengguna narkotika memenuhi lapas dan rutan yang kini mengalami kelebihan kapasitas.
Rehabilitasi Semi Tertutup
Selain rehabilitasi medis dan sosial, rehabilitasi semi tertutup merupakan salah satu pendekatan yang menurut UU harus dikedepankan terhadap korban pengguna narkoba.
Rehabilitasi bersifat semi tertutup artinya hanya pihak tertentu saja yang dapat mengakses area rehabilitasi saat proses tersebut dilakukan.
Dalam prosesnya, fasilitas yang tersedia harus memadai, termasuk gedung, akomodasi, kamar mandi bersih, makanan dan minuman bergizi serta halal, serta berbagai ruang fungsional seperti ruang kelas, rekreasi, konsultasi individu dan kelompok, konsultasi keluarga, ibadah, olahraga, dan keterampilan.
Proses ini melibatkan tenaga profesional, seperti psikiater, dokter umum, psikolog, pekerja sosial, perawat, rohaniawan, dan ahli lainnya yang melaksanakan program rehabilitasi sesuai kebutuhan dan dengan manajemen yang baik.
Peraturan ketat juga diberlakukan untuk mencegah pelanggaran dan kekerasan, didukung oleh pengamanan agar tidak terjadi peredaran narkoba di dalam pusat rehabilitasi.
Hakim memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan dengan cermat kondisi kecanduan terdakwa dalam menentukan durasi rehabilitasi, dengan mengacu pada keterangan ahli sebagai standar dalam terapi dan pemulihan.
Sementara itu, dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2010 mengatur bahwa lamanya proses rehabilitasi terdiri dari tahapan seperti detoksifikasi, program primer, dan re-entry, yang masing-masing memerlukan waktu tertentu.
Setelah menetapkan terdakwa menjalani rehabilitasi, hakim harus menentukan tempat rehabilitasi terdekat dalam amar putusannya, seperti lembaga rehabilitasi yang diawasi Badan Narkotika Nasional, Rumah Sakit Ketergantungan Obat Cibubur, Rumah Sakit Jiwa di berbagai daerah, panti rehabilitasi Kementerian Sosial, atau lembaga masyarakat yang terakreditasi dan dikelola secara mandiri.
Pada intinya, apapun modelnya rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan kondisi pengguna dan mencegah mereka agar tidak mengulangi perbuatannya di masa mendatang.
Sebagai informasi, data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham hingga Januari 2019 menunjukkan, dari total sekitar 259 ribuan narapidana di lapas rutan di Indonesia, 115 ribuan narapidana diantaranya tersangkut kasus narkotika.
Dari jumlah 115 ribu narapidana itu, 46 ribuan diantaranya merupakan pecandu narkotika yang seharusnya direhabilitasi sesuai UU Narkotika.
Sementara itu dalam riset ICJR, ditemukan hanya 10 persen putusan Hakim Agung yang memberikan putusan rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Selain itu, hanya ada 6 persen putusan hakim yang menempatkan pengguna narkotika ke tempat rehabilitasi.
Lalu pada 2015, LBH Masyarakat juga pernah menganalisis 522 putusan hakim se-Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) sepanjang 2014. Hasilnya hanya 43 orang terdakwa yang diberikan putusan rehabilitasi.
Editor: Gregorius Agung