PARBOABOA, Jakarta - Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (CRC) pada Rabu (14/05/2025), memulai sidang di Jenewa, Swiss, dengan memeriksa kinerja Pemerintah Indonesia dalam memenuhi hak-hak anak.
Delegasi Republik Indonesia (DELRI) tampak kesulitan merespons sejumlah pertanyaan tajam yang diajukan para anggota Komite mengenai berbagai isu sensitif.
Komite mempertanyakan berbagai kebijakan dan kondisi di Indonesia, mulai dari ambisi konsep "Indonesia Emas", kasus keracunan dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG), dan tingginya jumlah dispensasi untuk perkawinan anak.
Mereka juga mempertanyakan pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah, hingga keberadaan peraturan daerah yang dinilai diskriminatif terhadap orientasi seksual di Bogor.
Sayangnya, tanggapan yang diberikan perwakilan Indonesia masih cenderung normatif dan prosedural. Jawaban-jawaban yang disampaikan dianggap menghindar dari inti masalah.
Sebagai misal, pertanyaan terkait ratifikasi protokol opsional ketiga CRC belum dijawab secara jelas. Delegasi justru menggunakan jargon pembangunan seperti Asta Cita, tanpa menjelaskan secara mendalam akar persoalan yang ada.
Keraguan pun muncul dari para anggota Komite. Suzanne Aho, perwakilan dari Togo, menyatakan dirinya "tidak begitu yakin bagaimana Indonesia menangani masalah-masalah seperti ini.”
Serupa, Daniel Awigra, Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) menyebut, sidang CRC seharusnya menjadi momentum reflektif bagi Indonesia untuk mengevaluasi berbagai kebijakan yang berdampak pada anak.
“Alih-alih membuka dialog, DELRI justru terlihat bertahan dan berdalih. Padahal, Komite menawarkan kesempatan untuk mengevaluasi kebijakan secara terbuka dan berdasarkan perspektif hak anak,” tegas Daniel.
Ia juga menilai bahwa banyak pertanyaan Komite mencerminkan poin-poin penting yang disuarakan oleh masyarakat sipil melalui laporan bayangan.
Karena itu, lanjut Daniel, “kesempatan ini seharusnya dijadikan ruang diskusi yang konstruktif dan bisa juga DELRI meminta pendapat para anggota komite yang memang ahli di bidang hak anak untuk menemukan akar masalah dan keprihatinannya serta apa yang bisa diperbaiki. Cara bersidang seperti ini terkesan DELRI hanya bertahan dan berdalih,” tegasnya.
Selama lebih dari dua jam, sidang membahas isu-isu krusial seperti kekerasan seksual, perkawinan anak, dan diskriminasi terhadap anak-anak dari kelompok minoritas dan penyandang disabilitas.
Selain itu, sidang juga membahas urgensi perlindungan terhadap anak korban eksploitasi digital dan pariwisata gelap.
Isu perkawinan anak menjadi salah satu sorotan utama. Meski batas usia minimal pernikahan telah ditingkatkan menjadi 19 tahun, praktik dispensasi masih marak terjadi.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kemenkumham, Munafrizal Manan, menyatakan dispensasi hanya berlaku untuk usia 17–18 tahun. Namun, ia tidak merinci jumlah kasus yang dikabulkan, lokasi, maupun alasan di baliknya.
Komite juga menyoroti pemaksaan jilbab di sekolah negeri di Padang serta Perda Nomor 10 Tahun 2021 di Bogor terkait penanggulangan perilaku penyimpangan seksual.
Dalam tanggapannya, Yosi Diani Tresna, Koordinator Perlindungan Anak Bappenas, menyatakan insiden pemaksaan jilbab hanya terjadi di satu sekolah dan tidak mencerminkan kebijakan nasional. Namun, pernyataan ini langsung dikritik.
“Tidak hanya terjadi di satu sekolah di Padang, melainkan menurut data Komite terdapat 24 provinsi memiliki kasus pemaksaan jilbab,” kata Thuwayba Al Barwani, anggota Komite dari Oman.
Persoalan lain yang mengemuka adalah laporan mengenai praktik sterilisasi paksa terhadap anak disabilitas. Pemerintah hanya merespons dengan menyebutkan komitmen terhadap inklusi, tanpa memberikan klarifikasi yang tegas.
Ketika ditanya mengenai sekitar 400 anak warga negara Indonesia yang masih berada di kamp pengungsi di Suriah, pemerintah menyatakan bahwa proses repatriasi masih dalam kajian.
Demikian pula saat membahas ketimpangan pelayanan publik di kawasan timur Indonesia. Walaupun pemerintah menyebut adanya layanan telemedicine dan pengiriman tenaga kesehatan, tidak dijelaskan mengapa anak-anak di Papua, NTT, dan daerah tertinggal lainnya tetap menghadapi kesenjangan dalam pendidikan, gizi, dan layanan kesehatan.
Sidang ini akan berlanjut ke hari kedua. Salah satu fokus utama Komite adalah partisipasi anak dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kebijakan.
Komite terus mempertanyakan apakah anak-anak sungguh dilibatkan dan memiliki akses terhadap program-program yang dirancang untuk mereka.
Tentang CRC
Komite Hak Anak (CRC) merupakan lembaga yang terdiri dari 18 ahli independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan Konvensi Hak Anak oleh negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut.
Tugas pengawasan ini, mengutip laman resmi CRC, tidak hanya mencakup Konvensi utama, tetapi juga dua Protokol Opsional yang menyertainya.
Protokol pertama mengatur tentang keterlibatan anak dalam konflik bersenjata (OPAC), sementara protokol kedua membahas penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak (OPSC).
Selain itu, pada 19 Desember 2011, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan Protokol Opsional ketiga (OPIC).
Pengesahan ini bertujuan memberi wewenang kepada anak-anak untuk secara individual mengajukan pengaduan atas pelanggaran hak mereka berdasarkan Konvensi dan dua protokol opsional sebelumnya. OPIC mulai berlaku pada April 2014.
Sebagai bagian dari kewajiban mereka, setiap Negara Pihak diwajibkan menyampaikan laporan berkala kepada Komite mengenai implementasi Konvensi.
Laporan awal harus diserahkan dua tahun setelah ratifikasi, kemudian diikuti laporan berkala setiap lima tahun.
Setelah laporan diterima, Komite akan menelaahnya dan menyampaikan keprihatinan serta rekomendasi dalam bentuk “catatan akhir” kepada negara terkait.
Komite juga memeriksa laporan awal dari negara-negara yang telah meratifikasi dua protokol opsional pertama.
Selain itu, Komite memiliki wewenang untuk meninjau pengaduan individual terkait dugaan pelanggaran hak anak berdasarkan Konvensi dan dua protokol opsional tersebut, selama negara bersangkutan merupakan pihak dalam OPIC.
Komite juga dapat melakukan investigasi terhadap pelanggaran serius atau sistematis atas hak asasi anak.
Dalam menjalankan tugasnya, Komite berkedudukan di Jenewa dan secara rutin mengadakan tiga sesi setiap tahun. Setiap sesi terdiri dari pertemuan pleno selama tiga minggu dan sesi kerja pendahuluan selama satu minggu.
Di luar fungsi pemantauan, Komite juga berperan dalam memberikan penafsiran atas ketentuan-ketentuan hak anak melalui komentar umum yang membahas isu-isu tematik.
Komite pun secara berkala menggelar hari-hari diskusi umum untuk membahas topik-topik khusus yang relevan.