Pengamanan Kejaksaan oleh TNI Tuai Sorotan: Legitimasi atau Politisasi?

Tugas baru TNI kawal Kejaksaan menuai kritik dari sejumlah pihak (Foto: elsam.or.id).

PARBOABOA, Jakarta - Tentara Nasional Indonesia (TNI) kini memiliki tugas baru untuk menjaga seluruh kantor kejaksaan, mulai dari kejaksaan tinggi (Kejati) hingga kejaksaan negeri (Kejari). 

Perintah ini tertuang dalam telegram Panglima TNI dan Nota Kesepahaman NK 6/IV/2023 yang diteken Jenderal Agus Subiyanto pada Selasa (06/05/2025). 

Isi telegram tersebut memerintahkan pengerahan personel TNI beserta perlengkapannya guna memberikan dukungan pengamanan bagi institusi kejaksaan di seluruh Indonesia.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung), Harli Siregar dalam keterangan pada Minggu (11/05/2025) menyebut bahwa pengamanan itu merupakan bentuk kerja sama antara TNI dengan pihak Kejaksaan.

Tujuannya adalah "mendukung tugas-tugas Kejaksaan" di bidang penuntutan dan beberapa tugas lain dalam sistem peradilan pidana serta di luar peradilan.

Adapun dalam Nota Kesepahaman antara TNI dan Kejaksaan Agung, terdapat delapan ruang lingkup kerja sama yang diatur secara rinci. 

Pertama, kerja sama meliputi bidang pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Kedua, pertukaran informasi yang relevan guna mendukung penegakan hukum.

Ketiga, nota ini memungkinkan penempatan prajurit TNI di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia. Keempat, jaksa juga dapat ditugaskan sebagai pengawas atau supervisor di Oditurat Jenderal TNI.

Kelima, TNI memberikan dukungan dan bantuan personel dalam pelaksanaan tugas serta fungsi kejaksaan. 

Keenam, TNI juga mendapat pendampingan di ranah hukum perdata dan tata usaha negara, termasuk bantuan hukum baik yang bersifat litigasi maupun nonlitigasi, serta dukungan dalam proses penegakan dan tindakan hukum lainnya.

Ketujuh, kerja sama ini mencakup pemanfaatan fasilitas dan infrastruktur yang dimiliki untuk mendukung pelaksanaan tugas sesuai kebutuhan masing-masing institusi. 

Kedelapan, nota ini juga mengatur koordinasi teknis dalam proses penyidikan, penuntutan, serta penanganan perkara koneksitas yang melibatkan kedua lembaga.

Harli menegaskan bahwa tugas TNI yang diperbantukan di lingkungan Kejati dan Kejari hanya sebatas menjaga keamanan gedung, serta "tidak berkaitan dengan substansi penanganan perkara.”

Tuai Sorotan

Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menilai keterlibatan TNI dalam pengamanan Kejati dan Kejari bertentangan dengan UUD 1945 dan TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri. 

Menurutnya, aturan tersebut secara tegas menyatakan bahwa TNI merupakan alat pertahanan negara, bukan sebagai aparat keamanan.

"Sehingga dengan dilanggarnya UUD dan TAP MPR VII/2000 tentang Peran TNI dan Polri maka menjadikan terganggunya penyelenggaraan negara yang mencakup hubungan antara lembaga-lembaga negara," ujar Sugeng dalam keterangannya pada Selasa (13/5/2025).

Lebih lanjut, Sugeng menyebut pelibatan TNI dalam pengamanan kejaksaan tidak hanya mengganggu hubungan antar lembaga negara, tetapi juga mencederai prinsip pembagian kekuasaan dan mekanisme pemerintahan yang telah diatur dalam konstitusi.

IPW pun mendesak Presiden dan DPR untuk menanggapi secara serius dugaan pelanggaran konstitusi ini. Mereka meminta agar ada pembahasan mendalam terkait keterlibatan TNI dalam pengamanan kejaksaan.

Kritik serupa juga datang dari Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi yang mengecam perintah pengerahan pasukan TNI guna membantu pengamanan kantor kejaksaan di seluruh wilayah Indonesia. 

Menurutnya, kebijakan tersebut tidak hanya bertentangan dengan UUD 1945, tetapi juga melanggar berbagai undang-undang terkait.

“Surat Telegram Panglima TNI dan KSAD itu bertentangan dengan Konstitusi Negara dan peraturan perundang-undangan, terutama UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara, dan UU TNI," ujar Hendardi dalam pernyataan resminya pada Senin (12/05/2025).

Hendardi mempertanyakan dasar hukum dan urgensi kebijakan tersebut. Ia menilai tidak ada kondisi objektif yang membutuhkan pelibatan militer untuk menjaga keamanan kejaksaan. Ia bahkan menduga, kebijakan ini sarat muatan politik.

“Dukungan pengamanan kejaksaan oleh TNI malah memunculkan pertanyaan tentang motif politik apa yang sesungguhnya sedang dimainkan,” lanjutnya.

Menurut Hendardi, kejaksaan merupakan bagian dari sistem hukum pidana nasional yang sepenuhnya bersifat sipil, sehingga seharusnya tidak melibatkan kekuatan militer. 

Ia menambahkan bahwa penerbitan telegram itu justru mengindikasikan menguatnya kecenderungan militerisme dalam sistem penegakan hukum nasional.

Ia juga menegaskan bahwa yurisdiksi penegakan hukum TNI hanya terbatas di lingkungan militer melalui peradilan militer. 

Bahkan, UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menurutnya sudah seharusnya direvisi, bukan malah memperluas peran TNI ke wilayah hukum sipil.

“Panglima TNI dan jajarannya seharusnya berfokus pada revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, bukan justru menarik TNI ke ranah penegakan hukum sipil,” tegas Hendardi.

Ia menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa supremasi hukum dan supremasi sipil merupakan fondasi utama dalam sistem pemerintahan demokratis yang tidak boleh dilanggar.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS