Penjaga Warung Madura antara Takluk karena Begadang dan Celurit di Bawah Meja

Pembeli antre berbelanja di warung Madura. (Foto: PARBOABOA/Muazam)

PARBOABOA – Siang itu, Ati (23) sedang sibuk menata dagangan warung kelontongnya di Jalan Raya Tengah, Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Baru beberapa hari sebelumnya, ia dan sang suami, Agus, tiba di Jakarta. 

Empat bulan lalu mereka terpaksa pulang ke kampung halaman di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Agus sakit keras. Ia mengalami demam yang tak kunjung membaik dan kadar trombosit darahnya rendah. 

"Kata dokter demam karena kecapekan, begadang melulu. Kan kita jaga warung, ya, kayak gitu lah," katanya, Rabu (19/6/2024) lalu. 

Agus sempat berobat ke dokter di Jakarta, tapi tak mempan. Karena kondisi Agus tak kunjung membaik, orang tuanya menyuruh mereka pulang ke Sumenep. 

Sebenarnya Agus dan Ati enggan untuk pulang. Tapi mereka juga takut dianggap kurang ajar karena tak menaati perintah orang tua.

Tetap berada di Jakarta pun kondisi Agus sudah payah. Ia seperti tak punya tenaga bahkan untuk sekadar berbelanja barang dagangan. 

Alhasil, semua pekerjaan terkait warung dilakukan oleh Ati. Ia dan suaminya akhirnya menyerah dan memesan tiket pulang ke Madura. 

Ketika di Sumenep, kondisi Agus juga tak lantas pulih. Ia malah sempat dirawat empat hari di rumah sakit.  

Sekeluarnya dari rumah sakit, Agus masih perlu waktu satu setengah bulan lagi untuk benar-benar fit. Ia diminta dokter banyak-banyak istirahat dan menjaga makanan. 

Dokter juga memantau kalau-kalau trombosit darahnya anjlok lagi. Selama empat bulan Agus dirawat di Sumenep, pengelolaan warung di Jakarta, yang mereka rintis sejak 2019, dititipkan ke kerabat yang juga berasal dari Madura. 

Sebelum Agus, Ati yang lebih dulu tumbang. Gejalanya pun mirip dengan yang dialami Agus, demam terus-menerus. 

Beruntung ia tak sampai dirawat di rumah sakit. Namun, begitu ia sembuh, giliran suaminya yang sakit. 

Keluhan penyakit Agus jauh lebih berat. Ati mengakui pola tidur sang suami berantakan. Hal itu kemudian berpengaruh ke daya tahan tubuhnya. "Soalnya, suami yang jaga malam, aku enggak pernah jaga malam," ujarnya.

Membuka warung kelontong madura membuat Ati dan Agus tak punya pilihan. Seperti halnya warung madura lain, mereka juga buka 24 jam.

Buat mereka berdua, menjungkirbalikkan jam tidur adalah pengorbanan dalam mencari penghidupan. Sejauh ini, membuka warung madura hanya satu-satunya yang bisa dilakukan untuk nafkah sehari-hari. 

Di Sumenep, tempat asal mereka, tidak banyak pekerjaan yang tersedia. Bahkan pabrik-pabrik yang bisa menyediakan banyak lapangan kerja pun tak ada. 

"Makanya, orang-orang pada ke sini semua. Seandainya ada kan enggak perlu merantau jauh-jauh," kata Ati.

Kondisi warung Madura yang sempit, hanya muat untuk dua orang. (Foto: PARBOABOA/Muazam)

Di Jakarta, Ati dan Agus harus tinggal di tempat sempit bersama barang dagangannya. Luas kiosnya sekitar 3x3 meter persegi, yang dipisah menjadi dua bagian. 

Bagian pertama, yang terletak di depan, digunakan sebagai tempat menyimpan barang dagangan dan tidur. Adapun bagian belakangnya merupakan dapur dan kamar mandi. 

Meski sempit, Ati merasa lebih nyaman di sana. Ia sungkan bila harus tinggal di Sumenep bersama mertua. 

"Ngapain di kampung, plonga-plongo doang. Di sini kan kita tenang, enggak bareng sama mertua," ucapnya sambil terkekeh. 

Ati risih kalau harus tinggal bersama mertuanya. Ia harus bangun pagi dan membantu aktivitas di rumah. 

Di warung, ia merasa lebih bebas. Ati bebas bangun jam berapa pun tanpa khawatir jadi bahan gunjingan mertua.

Untuk membunuh bosan karena seharian berada di warung, Ati memilih berselancar di internet, sekadar membuka media sosial atau menonton YouTube.  

Tantangan buat penjaga warung madura tidak cuma masalah kesehatan dan harus tinggal di kios sempit bersama barang dagangan. Yang tak kalah penting juga isu keamanan. 

Apalagi warung dibuka 24 jam. Ati dan Agus sudah berjaga-jaga dengan menyiapkan sebilah celurit bila terjadi hal yang tidak diinginkan. 

"Ada tuh, cuma enggak dipajang. Ditaro bawah aja, suami yang tarolah," kata Ati sambil menunjuk ke kolong etalase barang dagangannya. 

Ali (28), pemilik warung madura di bilangan Cakung, Jakarta Timur, juga mempersiapkan celurit di warungnya. Ia meletakkannya di sisi samping, hanya untuk mengantisipasi kemungkinan tindak kejahatan. 

"Kita tidak tahu kalau orang jahat itu, bawa itu, bawa ini," katanya. 

Makin malam, penjaga warung madura memang harus makin waspada. Biasanya aktivitas lain di sekitar warung sudah jarang. Jalanan pun kian sepi. 

Praktis risiko keamanan meningkat. Ali menjaga warung madura miliknya bersama Widia, istrinya. 

Ali selalu kebagian jam jaga malam hingga dini hari. Pernah suatu hari menjelang dini hari, terjadi tawuran di depan jalan mereka berjualan. 

Di tengah situasi kacau, ada saja orang yang mengambil barang dagangan. Lain waktu, ketika masih membuka warung kelontong di bilangan Bekasi, Ali tiba-tiba harus ke kamar kecil. 

Ia ingat peristiwa itu terjadi sekitar jam dua dini hari. Istrinya juga sudah lelap karena kelelahan menjaga warung pada siang harinya. 

"Ada orang datang langsung masuk ke dalam ngambil barang-barang, rokok, uang, HP," kenang Ali. 

Sejak pengalaman itu, ia selalu waspada. Tiap malam ia selalu berusaha terjaga. Padahal ketika awal merintis usaha warung madura, sering juga ia ketiduran. 

Ali kapok tak mau lagi barang-barangnya raib digondol orang saat ia tak awas. Ia kini memasang closed-circuit television (CCTV) di warungnya. Keberadaan teknologi ini cukup membantu. 

Kamera pengawas terhubung ke ponselnya. Ia bisa memantau keadaan warung dari layar secara langsung kapan pun dan di mana pun. 

Ia tidak perlu khawatir meninggalkan warung bahkan ketika dini hari sekali pun. Bahkan sambil buang hajat di toilet, kata Ali, ia selalu selalu memantau warungnya.  

Apalagi model kamera pengawas yang ia pasang punya fitur pengeras suara. Bila ada pelanggan yang datang, ia bisa meminta mereka menunggu sebentar lewat pelantang di CCTV. 

Sudah banyak pengalaman Ali kehilangan barang dagangan karena dicuri. Ia hanya mengikhlaskannya saja tanpa melaporkannya ke polisi.  

"Kalau kita melapor kan lebih banyak uang kita yang keluar daripada uang hilangnya," celetuknya.

Ali kini sudah hafal gerak-gerik orang yang punya niat jahat. Berdasarkan pengalamannya penguntit biasanya anak muda usia belasan tahun.

Modus yang paling umum adalah mereka datang bergerombol tapi di antara mereka hanya satu yang berbelanja. Yang membeli hanya berusaha mengecoh penjaga agar lengah. 

Sementara anak-anak yang lain akan mengambil barang. Ali sering pura-pura saja terkecoh untuk menjebak pelaku. "Kalau sudah ketahuan langsung hantam," ujarnya.

Reporter: Achmad Rizki Muazam, Ahmidal

Editor: Jenar
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS