PARBOABOA, Jakarta - Pembatalan mendadak pameran tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional (Galnas) kembali memantik perdebatan soal kebebasan berekspresi.
Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, menyebut insiden ini sebagai bentuk persekusi terhadap seni, sebuah praktik yang dinilai semakin mengancam kebebasan berkesenian di Indonesia.
“Pembredelan seperti ini melanggengkan praktik persekusi terhadap kebebasan seni dan budaya. Ini adalah ancaman serius bagi kebebasan kita,” kata Bonnie dalam diskusi 'Seni Sebagai Medium Kritik Kekuasaan' di Cikini, Jakpus, Minggu (22/12/2024).
Anggota Fraksi Partai PDI-P itu menilai bahwa karya seni seharusnya diserahkan kepada publik untuk dinilai tanpa ada campur tangan kekuasaan.
“Biarkan seni itu dikembalikan kepada publik, sebagai pendewasaan cara berpikir publik,” ujar Bonnie.
Menurutnya, seni memiliki sifat multitafsir yang memungkinkan masyarakat berpikir lebih kritis. Seni bukanlah bahasa yang bersifat tunggal tetapi universal.
Oleh karena itu, Bonnie menyebut bahwa seni tidak sepatutnya dipersempit dalam satu sudut pandang, apalagi diintervensi secara sepihak.
Bonnnie juga menegaskan, kebebasan berekspresi dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, sehingga karya seni seperti yang ditampilkan Yos Suprapto tidak seharusnya dipermasalahkan.
“Kalau langsung ditebas di tengah jalan, kemudian ditunda, ditutup lah, nggak boleh dibuka gitu, jadi gimana dong? Diskusinya nggak berkembang,” tegasnya.
Bonnie mencatat, setidaknya ada 15 kasus persekusi terhadap kegiatan seni dan budaya dalam lima tahun terakhir. Angka ini, menurutnya, bisa jauh lebih besar jika semua insiden terungkap.
Ia juga menyoroti berbagai kasus sebelumnya, seperti pelarangan mural yang menggambarkan sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2021 dan 2022.
“Sebagai bangsa yang mengaku berbudaya, kita masih menghadapi banyak hambatan dalam seni dan kebudayaan. Ini sangat memprihatinkan,” tambahnya.
Serupa, Koalisi Seni dalam laporan pada 2022 menyebutkan terdapat 33 pelanggaran kebebasan seni, mulai dari pelarangan acara hingga kesulitan memperoleh izin.
Sebagian besar pelanggaran terjadi pada pertunjukan musik (21 kasus), seni tari (11 kasus), teater (5 kasus), seni rupa (4 kasus), serta sastra dan film masing-masing 1 kasus.
Praktik persekusi mengingatkan publik pada pola kekuasaan otoriter masa Orde Baru, di mana tafsir tunggal kerap digunakan untuk membatasi seni.
Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid dalam kesempatan diskusi yang sama, menilai tindakan pelarangan seni mencerminkan pola negara otoriter.
Ia mengingatkan bahwa pembatasan semacam ini bertentangan dengan kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik, yang telah diratifikasi Indonesia.
“Pasal 19 kovenan menjamin kebebasan berekspresi, termasuk bagi seniman. Ketika kebebasan seni dibatasi, Indonesia justru mendekati karakteristik negara otoriter,” ujar Usman.
Dengan semakin banyaknya insiden persekusi terhadap seni, kebebasan berekspresi di Indonesia kini berada di bawah ancaman serius.
Tanggapan Pemerintah
Menteri Kebudayaan Fadli Zon turut angkat bicara. Ia membantah adanya wacana pembungkaman atau pembredelan terhadap Yos Suprapto yang beredar luas di media sosial.
“Tidak ada pembungkaman, tidak ada beredel. Kami ini mendukung kebebasan berekspresi," katanya di Museum Nasional pada Jumat (20/12/2024).
Fadli mengungkapkan bahwa pameran lukisan bertema kedaulatan pangan yang semula dijadwalkan digelar di Galeri Nasional pada Kamis (19/12/2024) terpaksa dibatalkan.
Penyebab utamanya adalah tidak tercapainya kesepakatan antara kurator dan seniman terkait beberapa karya yang dianggap tidak sesuai tema.
"Pada pameran seperti ini, kurator memegang kendali utama. Mereka bekerja sama dengan seniman untuk memilih lukisan yang sesuai dengan tema, yaitu kedaulatan pangan," ujar Fadli.
Namun, lima lukisan karya Yos disebut tidak memenuhi kriteria tema. Salah satu faktor yang menjadi sorotan adalah adanya elemen ketelanjangan dalam beberapa karya tersebut.
"Senimannya memasang sendiri beberapa lukisan yang sebenarnya tidak dikurasi. Beberapa karya itu tidak sesuai dengan tema, ada yang bermotif politik, makian, bahkan ketelanjangan. Itu jelas tidak cocok," tambah Fadli.
Suwarno Wisetrotomo, kurator dalam pameran menilai bahwa lima lukisan Yos tidak selaras dengan narasi besar pameran, terutama karena dua karya yang menggambarkan opini pribadi seniman tentang praktik kekuasaan.
"Dua karya itu tidak mendukung tema kuratorial dan bahkan berpotensi mengganggu fokus pada pesan utama pameran yang sangat kuat dan relevan," tulis Suwarno dalam pernyataan, Jumat (20/12/2024).
Suwarno juga mengkritik elemen vulgar dalam karya tersebut, yang menurutnya kehilangan unsur metaforis yang seharusnya menjadi kekuatan seni.
"Menurut saya, dua karya itu terasa seperti makian, terlalu vulgar, dan kehilangan kekuatan metafora yang penting dalam seni untuk menyampaikan perspektifnya," lanjut Suwarno.
Ketegangan muncul ketika Yos tetap bersikeras memamerkan karyanya, meskipun mendapat penolakan dari kurator. Perdebatan ini berlangsung sejak tahap kurasi dimulai pada Oktober 2024.
Akibat kebuntuan yang tak kunjung teratasi, Suwarno akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai kurator pada Senin (16/12/2024), atau hanya beberapa hari sebelum pameran berlangsung.
Publik berharap konflik ini dapat diselesaikan melalui dialog yang inklusif, sehingga kebebasan berekspresi dalam berkarya tetap terjaga tanpa mengabaikan sensitivitas masyarakat.