Kisah Musik Terlarang (Bagian Empat)
PARBOABOA - Setelah penganiayaan tahun 1982 Mogi Darusman lama menghilang dari pentas musik; kendati demikian lagu-lagu kritik sosial tetap muncul walaupun memang dalam nada yang jauh lebih lunak-halus, tidak vulgar.
Iwan Fals, Harry Roesli, Doel Sumbang, Tom Slepe, Gombloh dan Leo Kristi antara lain yang membawakannya. Di antara semuanya, Iwan Fals-lah yang paling menonjol.
Musisi yang semula bergaya Bob Dylan ini kelak akan identik dengan lagu kritik sosial dan menjadi ikon musik Indonesia.
Iwan menulis sendiri sebagian besar lagu di seluruh albumnya. Ia pemotret realitas sosial yang jeli dan telaten. Rentang objek jepretannya panjang, tapi ironi kehidupanlah yang lebih ia kedepankan dengan kritis-tangkas.
Semuanya ia bingkai dengan musik dan syair gamblang nan rampak sehingga masyarakat dari semua kalangan mudah meresepsinya.
Namun, arus bawalah yang paling mengapresiasi karyanya karena dianggap sebagai representasi suara mereka. Para pengamen pun menjadikannya sebagai lagu wajib.
Seperti lagu Mogi Darusman, lagu Iwan Fals sarat kritik. Bedanya yang terakhir ini umumnya jauh lebih santun dan beranjak dari realitas kehidupan masyarakat keseharian, bukan protes telanjang yang langsung ditujukan ke penguasa.
Contohnya lagu-lagu yang sangat populer berikut ini: Sarjana Muda, Guru Oemar Bakri, Si Tua Sais Pedati, Ambulance Zig-zag, Bangunlah Putra-putri Ibu Pertiwi (album Sarjana Muda); Galang Rambu Anarkhi, Tak Biru Lagi Lautku (album Opini); Kereta Tiba Pukul Berapa (album Sumbang); Siang Seberang Istana, Serdadu, Berkacalah Jakarta (album Sugali); Jangan Bicara (album Barang Antik); Sore Tugu Pancoran (album Sore Tugu Pancoran): Tikus-Tikus Kantor, Lonteku (album Ethiopia); Surat buat Wakil Rakyat, Potret Panen + Mimpi (Wereng), PHK (album Wakil Rakyat); Balada Orang-orang Pedalaman (album 1910).
Bermula sebagai pengamen, Iwan Fals melejit setelah albumnya, Frustasi, dikeluarkan Musica Records tahun 1981. Sejak itu, sepanjang 1980-an saban tahun ia terus mengeluarkan album tanpa kehilangan kekritisannya.
Terkadang dalam setahun ia bisa merilis dua album. Kendati karyanya sarat kritik albumnya tak pernah kenal cekal. Tampaknya karena ia tak pernah mengkritik langsung Soeharto dan keluarganya, seperti yang dilakukan Mogi Darusman.
Tapi kemulusan Iwan Fals di dunia rekaman ini tidak setali tiga uang dengan kiprahnya di pentas musik. Adapun di panggung ia berkali-kali dihambat penguasa.
Pada Januari 1989, misalnya, Iwan Fals melangsungkan tour 100 kota untuk mempromosikan albumnya, Mata Dewa. Promotornya Sofyan Ali, mitra bisnis Setiawan Djodi. Di Stadion Utama Senayan konser ini sukses.
Tapi seusai tampil di Pekan Baru Iwan mendapat pemberitahuan bahwa pertunjukan berikutnya di Palembang tak boleh. Masalahnya Kapoltabes setempat membatalkan izin yang telah diberikannya dengan alasan demi keamanan.
Seketika berujunglah tur 100 kota; Iwan sangat terpukul saat itu dan sampai menangis.
“Buatku sungguh aneh. Aku kan cuma bawa gitar kayu dan tali senar. Tak ada bahayanya dibanding tank,” ucapnya kemudian (Kompas 31/01/1993).
“Siapa yang tidak terpukul....persiapan sudah begitu lama.”
Pada 19 Agustus 1993 penyanyi bernama asli Virgiawan Listanto itu kembali terhenyak. Waktu itu ia berencana merayakan ulang tahun ibunya dengan cara mengundang teman-temannya dan main musik di rumahnya.
Tapi ternyata hal itu dilarang penguasa. Ia pun sangat jengkel dan uring-uringan karenanya.
“Rumah-rumah sendiri. Mengapa aku dilarang,” teriaknya di panggung saat tampil bersama grupnya, Dalbo, di sebuah restoran Jakarta pada 10 September 1993.
Seyogyanya pada 16 Juni 1996 Iwan akan tampil dalam Pentas Apresiasi Musik, Ujungpandang. Separuh dari 25.000 tiket konser sudah dijual panitia. Ternyata izin pertunjukan itu mendadak dicabut Polda Sulselra.
Dengan bahasa yang berantakan Polda Sulselra menyebut alasannya: karena “situasi di Ujungpandang yang dapat mengarah kepada gangguan kamtibmas, baik sebelum, sedang, dan sesudah kegiatan tersebut berlangsung”. (Kompas 16/06/1996).
Setelah tur 100 kota kandas Iwan berkolaborasi dengan teman-temannya dengan bendera Swami, Kantata Takwa, Swami II, Dalbo dan Kantata Samsara. Mereka didanai Setiawan Djodi.
Tahun 1989 Swami mengeluarkan album Swami berisikan lagu-lagu berkritik keras. Bento dan Bongkar merupakan hits-nya. Peredaran album yang kemudian terjual 1 juta buah ini sempat dihambat penguasa.
Bento dan Bongkar sendiri sempat diharamkan TVRI. Album Swami II beredar tahun 1991. Nada kritiknya tetap keras. Yang menjadi hits di sini adalah Kuda Lumping, Hio dan Nyanyian Jiwa.
Tak hanya karena lagunya yang sarat kritik yang membuat seorang penyanyi bisa dijegal penguasa Orde Baru. Bisa juga karena sikap politiknya yang berseberangan dengan kekuasaan.
Raja dangdut Rhoma Irama dan penyanyi Hawaiian Hoegeng Iman Santoso, contohnya.
Petisi 50
Pada Pemilu 1977 Rhoma Irama yang melejit lewat lagu Begadang aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tak hanya menyanyi, dia juga menjadi juru kampanye (jurkam).
Penguasa tak suka karena pamor PPP menanjak karenanya. Tindakan kasar dilakukan: Rhoma tak boleh lagi tampil di TVRI. Sejumlah lagunya yang sarat dakwah Islami dituding sebagai politik praktis.
Pada pemilu berikutnya, tahun 1982, Rhoma masih bergiat di PPP; dengan demikian larangan TVRI masih berlanjut.
Keadaan baru berubah setelah secara mengejutkan pimpinan grup Soneta itu menyeberang ke kubu Golkar sesudah pemilu 1982. Pada 1988, atau setelah absen 11 tahun, Rhoma kembali muncul di TVRI.
TVRI kembali digunakan penguasa untuk mengeliminasi orang yang tak disukainya. Korban berikutnya adalah Hoegeng.
Mei 1968 Hoegeng Iman Santoso menjadi Kapolri. Tak lama setelah menjadi Kapolri ia tampil bernyanyi di TVRI bersama Cok Sinase, Willy Pesik, Bram Titaley, Totti Soebianto dengan panji Hawaiian Seniors.
Sebelumnya ia dan kawan-kawannya tersebut sudah lebih dahulu mengisi acara di radio Elshinta. Pemunculan di TVRI dengan menjual suara ini tentu saja ganjil di mata banyak orang karena toh ia seorang jenderal yang mengepalai seluruh polisi.
Tak ada pembesar negeri sekaliber dia yang seperti itu sebelumnya. Ternyata pemunculan itu tak hanya sekali melainkan rutin: saban bulan selama sekitar sepuluh tahun, di kedua media itu.
Tahun 1971 mendadak Hoegeng diberhentikan Soeharto sebagai Kapolri. Sebabnya tak jelas betul; tapi kemungkinan besar karena pria asal Pekalongan itu terlalu independen sehingga merepotkan atasannya, Presiden Soeharto.
Pensiun, ia menghabiskan waktu dengan melakoni hobinya, di antaranya menyanyi dan melukis.
Hoegeng menjadi salah seorang penandatangan Petisi 50, tahun 1980. Penguasa jengkel, akibatnya ia tak boleh lagi tampil bernyanyi di TVRI bersama Hawaiian Seniors. Acaranya di Elshinta juga berakhir.
“Dikira kalau saya nongol dan menyanyi di televisi, saya bisa mempengaruhi orang-orang; sering heran kok sampai sekarang saya masih hidup. Buat saya ini larangan yang menggelikan,” kenang dia kemudian.
Hoegeng mendengar bahwa yang mengeluarkan larangan adalah Menpen Ali Moertopo.
Suatu waktu, tak lama setelah larangan keluar, keduanya bertemu di sebuah resepsi. Hoegeng berucap: “Li, kenapa acara Hawaiian Seniors tak boleh tampil lagi di televisi?”
Bukannya menjawab, Ali Moertopo malah merangkul sembari mengatakan “Ala, wis mas, ora usah diomongke, wong sudah jadi fakta...” (Pak Hoegeng—Polisi Profesional dan Bermartabat, Adrianus Noe Center, 2004).
Tak boleh muncul di TVRI di masa itu merupakan hukuman yang berat bagi penampil seperti Rhoma Irama dan Hoegeng. Masalahnya hanya itulah stasiun TV yang ada; stasiun TV swasta belum muncul.
Jadi mereka akan kehilangan akses ke program visual yang ditayangkan ke seluruh Indonesia.
Ada kalanya yang diharamkan TVRI bukan orangnya melainkan karyanya. Ini pernah terjadi pada lagu Rupiah. Deasy Arisandi membawakan lagu ini dalam cara Album Minggu ini September 1976.
Yang terjadi kemudian Menpen Mashuri merasa kebobolan dan melarang lagu ini dibawakan di TVRI. Ia menyebut karya ini sebagai “indoktrinasi konyol yang mendewa-dewakan uang”.
Rupiah
Tiada orang yang tak suka pada yang bernama rupiah/ semua orang mencarinya di mana rupiah berada walaupun harus nyawa sebagai taruhannya/ banyak orang yang rela, cuma karena rupiah memang sungguh luar biasa itu pengaruhnya rupiah/ sering karena rupiah, jadi pertumpahan darah/ sering karena rupiah saudara jadi pecah/ memang karena rupiah orang jadi megah/ kalau tidak ada rupiah orang menjadi susah
Pada 25 Agustus 1988 giliran Menpen Harmoko yang meminta TVRI tak menayangkan lagi lagu tertentu. Yaitu apa yang ia sebut sebagai “lagu-lagu cengeng berselera rendah”.
“Stop lagu-lagu semacam itu,” ujarnya saat memperingati Ultah ke-26 TVRI di Jakarta.
Harmoko tak menyebut contohnya. Tapi orang memaknai bahwa yang ia maksudkan adalah lagu macam Hati yang Luka, ciptaan Obbie Messakh yang setelah dipopulerkan Betharia Sonata sering dibawakan penyanyi lain di TVRI.
Jelas bahwa TVRI adalah instrumen penguasa Orde Baru. Semua program stasiun ini dimaksudkan untuk mendukung misi rezim ini. Tak terkecuali program musiknya yang muncul sejak 1970-an.
Aneka Ria Safari-nya Eddy Sud merupakan instrumen partai berkuasa, Golkar. ‘Artis Safari’ yang selalu diturunkan Golkar dalam panggung-panggung kampanyenya.
Kamera Ria adalah alat ABRI. Selekta Pop dan Album Minggu ini merupakan derivat dari Aneka Ria Safari. Hanya Telerama-nya Diah Iskandar yang tampaknya lebih independen.
Dengan demikian, praktis hanya karya yang seturut dengan kehendak penguasa yang akan lolos di TVRI di masa itu.
Bersambung...Editor: Hasudungan Sirait