PARBOABOA - Sebuah negara kecil di Samudera Pasifik, Tuvalu, mengumumkan pada Selasa 15 November bahwa pemerintahnya berencana untuk membangun versi digital dari negara itu, yang mereplikasi pulau-pulau dan landmark serta melestarikan sejarah dan budayanya.
Ini dilakukan saat naiknya permukaan laut yang mengancam akan menenggelamkan negara pulau kecil di Pasifik itu.
Menteri Luar Negeri Tuvalu, Simon Kofe, mengatakan pada KTT iklim COP27 bahwa sudah waktunya untuk melihat solusi alternatif untuk kelangsungan hidup negaranya dan ini termasuk Tuvalu menjadi negara digital pertama di metaverse, dunia online yang menggunakan Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) untuk membantu pengguna berinteraksi.
"Tanah kami, lautan kami, budaya kami merupakan aset paling berharga dari rakyat kami dan untuk menjaga mereka tetap aman dari bahaya apapun yang terjadi di dunia fisik, kami akan memindahkannya ke cloud," jelas Kofe, dikutip Reuters.
Jika rencana ini jadi kenyataan, Tuvalu bakal jadi negara pertama yang ada di Metaverse. Sementara itu pada tahun lalu kota Seoul dan negara kepulauan Barbados juga akan memasuki dunia digital dan menyediakan layanan administrasi serta konsuler.
"Idenya adalah tetap berfungsi sebagai negara dan lebih dari itu melestarikan budaya kita, pengetahuan kita, sejarah kita dalam ruang digital," ungkapnya kepada Reuters.
Menurut laporan outlet media Mashable, proyek proyek digitalisasi di metaverse akan dimulai dengan menciptakan kembali Teafualiku Islet, pulau terkecil di Tuvalu dan bagian pertama negara yang akan diprediksi tenggelam jika permukaan laut terus naik akibat pemanasan global.
"Sedikit demi sedikit kami akan melestarikan negara kami, memberikan penghiburan bagi rakyat kami, dan mengingatkan anak-anak dan cucu-cucu kami seperti apa rumah kami dulu," kata Kofe.
Saat memberikan pidato, Kofe juga mendesak agar masyarakat global mengambil aksi konkret untuk memerangi pemanasan global. Bila tidak, bakal ada wilayah-wilayah lain yang beralih ke metaverse.
Ambisi Tuvalu untuk memindahkan negaranya ke digital bukan sesuatu yang mustahil, namun juga bukan pekerjaan yang mudah.
Sebab, sekelas Meta (induk Facebook, WhatsApp, Instagram) saja mengungkapkan bahwa mewujudkan metaverse tak semudah membalikkan telapak tangan.
Menurut Meta, setidaknya dibutuhkan waktu lima hingga sepuluh tahun atau satu dekade untuk benar-benar mewujudkan metaverse.
Waktu tersebut dibutuhkan untuk mengembangkan software dan hardware pendukung dunia virtual baru.
Bagi perusahaan semikonduktor raksasa Intel sendiri, teknologi yang ada saat ini masih belum mampu untuk mewujudkan visi dari metaverse itu sendiri.
Menurut Intel, untuk mewujudkan metaverse dibutuhkan peningkatan efisiensi komputasi hingga 1.000 kali lipat dari teknologi yang sudah ada saat ini.
Mengutip Science Alert, secara teknologi penciptaan teritorial Tuvalu yang indah dan kaya sangatlah mudah.
Hal itu ditambah dengan beberapa komunitas online dan penciptaan dunia tiga dimensi telah menunjukkan kemungkinan menciptakan ruang interaktif virtualyang bisa mempertahankan budayanya sendiri.
Tak hanya itu, mengombinasikan lanskap indah tersebut dengan aspek pemerintahan juga bisa dicapai.
Pasalnya, ada sejumlah eksperimen tentang pemerintah yang membuat kembaran dirinya sendiri seperti di Estonia.
Namun demikian tetap ada rintangan untuk menciptakan Tuvalu di Metaverse. Negara tersebut hanya memiliki 12 ribu penduduk dan untuk membuat mereka berinteraksi secara virtual merupakan masalah teknis.
Selain itu, ada juga isu soal bandwith, kekuatan komputer, dan fakta bahwa banyak pengguna punya alergi terhadap headset atau menderita nausesa.
Di sisi lain, bergantung kepada dunia virtual seperti Metaverse juga dipandang bukan solusi yang ramah lingkungan. Itu karena server, pusat data, dan jaringan yang memakan banyak tenaga listrik dan meninggalkan jejak karbon.
Kofe sendiri mengaku paham dengan hal-hal tersebut. Ia pun menegaskan, solusi yang utama terhadap perubahan iklim tetaplah pengurangan konsumsi energi fosil.