PARBOABAO,Jakarta - Generasi Z tumbuh di era dimana media sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Kelompok yang rata-rata berusia 12 hingga 27 tahun ini, kini tengah mendominasi populasi dunia.
Di Indonesia, Generasi Z tercatat sebanyak 74,93 juta orang, yang setara dengan sekitar 27,94 persen dari total populasi.
Media sosial memungkinkan Gen Z untuk terhubung dengan dunia secara instan.
Melalui platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter, mereka dapat membagikan momen kehidupan, memperoleh informasi, serta mengekspresikan diri.
Namun, dibalik kemudahan ini, banyak penelitian menunjukkan,media sosial juga menjadi sumber tekanan emosional yang signifikan.
Menurut data dari American Psychological Association (APA), 90% remaja di AS menggunakan media sosial secara aktif, dengan rata-rata 9 jam per hari dihabiskan di platform tersebut.
Sementara itu, survei Royal Society for Public Health di Inggris menemukan bahwa Instagram dan Snapchat adalah platform yang paling buruk dampaknya terhadap kesehatan mental remaja, khususnya terkait kecemasan, depresi, dan rasa rendah diri.
Fatchiah Kertamuda, dosen psikologi dari Universitas Paramadina, melalui forum daring bertajuk "Benarkah Gen Z Rentan Depresi? Kesehatan Mental di Tengah Dinamika Kehidupan Digital," mengungkapkan , menurut APA, generasi Z lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental dibandingkan generasi lain.
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi kesehatan mental generasi Z adalah ketergantungan mereka pada teknologi dan media sosial.
"Teknologi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian generasi ini. Sejak bangun tidur hingga tidur kembali, mereka terus menggunakan gadget," jelasnya, Minggu, (7/10/2024).
Ia menambahkan, data UNICEF, pada 2023, tercatat 175.000 anak menjadi pengguna internet baru setiap detiknya, dengan sekitar 30 juta anak di Indonesia sudah terdaftar sebagai pengguna internet.
Seringkali, melalui media sosial, Gen Z tergoda untuk menampilkan versi terbaik dari diri mereka.
Foto-foto yang diunggah sering kali dipilih dan diedit dengan hati-hati agar terlihat sempurna, membuat orang lain merasa kurang jika tidak bisa menyamai standar tersebut.
Fenomena ini dikenal sebagai comparison trap, di mana individu terus-menerus membandingkan hidup mereka dengan kehidupan yang mereka lihat di media sosial.
Selain itu, penelitian dari University of Pennsylvania menunjukkan, semakin lama seseorang menghabiskan waktu di media sosial, semakin besar kemungkinan mereka mengalami depresi.
Guru Besar Psikologi dari UNDIP, Dian Ratna Sawitri, mengungkapkan bahwa internet, khususnya media sosial, memiliki dua sisi yang berlawanan.
Ia menyebutnya sebagai the beauty and the beast of social media.
Keindahan media sosial terletak pada kemampuannya menghubungkan kita dengan orang lain, “dan menyediakan hal-hal positif yang mungkin tidak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, namun bisa kita pelajari melalui media sosial," jelasnya.
Di sisi lain ungkapnya, konten negatif di media sosial dapat memengaruhi anak-anak secara negatif.
Mereka cenderung membandingkan diri dengan orang lain, terdistraksi dari kegiatan penting, dan berpotensi mengalami kecanduan media sosial.
Selain itu, Cyberbullying menjadi tantangan lain yang dihadapi Gen Z di dunia maya.
Dengan meningkatnya penggunaan media sosial, kasus perundungan digital juga meningkat drastis.
Misalanya, data dari Pew Research Center, 59% remaja di Amerika Serikat pernah menjadi korban cyberbullying.
Efek dari perundungan ini tidak hanya menyentuh emosi sesaat, tetapi juga dapat menyebabkan dampak jangka panjang seperti kecemasan, depresi, bahkan bunuh diri.
Di Indonesia, data dari Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2023 mencatat lebih dari 2.000 kasus bullying yang terjadi di ranah digital.
Dampak dari cyberbullying ini dapat sangat merusak, terutama bagi remaja yang masih dalam tahap pencarian identitas diri dan rentan terhadap gangguan emosional.
Tren lain dari pengaruh penggunaan media sosial yang tinggi, adalah fenomena FOMO atau ketakutan akan ketinggalan.
Gen Z cenderung merasa cemas jika tidak mengikuti tren terbaru atau tidak terlibat dalam percakapan yang sedang hangat di dunia maya.
Sebuah studi dari Journal of Social and Clinical Psychology menemukan ,pengguna yang mengalami FOMO lebih mungkin mengalami gejala depresi dan kecemasan.
Fenomena ini sering kali diperparah oleh algoritma media sosial yang dirancang untuk menjaga keterlibatan pengguna, sehingga membuat mereka merasa terjebak dalam siklus tanpa akhir.
Keteribatan orang tua dalam pembentukan mentalitas anak Gen Z menjadi langkah penting yang mesti ditempuh dalam mengatasi situasi ini.
Dalam forum yang sama, Hastaning Sakti, dosen UNDIP, menyampaikan stigmatisasi terhadap mentalitas dan kepribadian anak-anak Gen Z tidak dapat dipisahkan dari peran orang tua.
Pola asuh generasi sebelumnya memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk cara berpikir dan kepribadian anak-anak di era digital ini.
Meskipun generasi muda saat ini tumbuh dalam kemajuan teknologi yang pesat, peran orang tua dalam membentuk karakter mereka harus tetap mendominasi.
Kondisi mental anak-anak sangat bergantung pada komunikasi yang terjalin di dalam keluarga.
Menurut Hastaning, salah satu langkah penting untuk mengatasi stigma-stigma negatif yang berkembang adalah dengan memperbaiki pola komunikasi keluarga, yang sering kali kurang terbuka.
Berdasarkan riset yang dilakukan Hastaning pada 2020 di 16 kecamatan di Kota Semarang, keterbukaan anak terhadap orang tua tercatat sebagai aspek paling rendah dalam pola pengasuhan.
Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi antara orang tua dan anak seringkali terabaikan, dan bahkan nyaris tidak ada.
Ia juga menambahkan bahwa tradisi diskusi keluarga, seperti di meja makan, kini semakin jarang terjadi.
Sebagai gantinya, komunikasi lebih sering dilakukan melalui smartphone, yang rentan menimbulkan salah paham dan memperburuk miskomunikasi antar generasi.
Kurangnya komunikasi yang efektif ini dapat memicu semakin rumitnya hubungan antara orang tua dan anak, sekaligus meningkatkan ketergantungan generasi muda pada teknologi.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk belajar, beradaptasi, dan menyesuaikan pola asuh mereka dengan perkembangan zaman.
Orang tualah yang mendidik, “dan apa yang kita contohkan kepada anak-anak kita adalah cerminan dari bagaimana mereka akan tumbuh,” jelasnya.
Karena pada dasarnya, meskipun media sosial memiliki dampak negatif terhadap kesehatan mental, bukan berarti platform ini sepenuhnya buruk.
Banyak juga manfaat yang bisa didapatkan, seperti jaringan dukungan online, komunitas yang berbagi pengalaman serupa, serta akses terhadap informasi kesehatan mental yang lebih mudah.
Penting bagi Gen Z untuk memahami cara menggunakan media sosial secara sehat dan bijak.
Membatasi waktu penggunaan media sosial, mengikuti akun-akun yang positif dan mendukung, serta mengambil jeda dari platform saat merasa kewalahan dapat membantu mengurangi dampak negatif.
Selain itu, pendidikan mengenai literasi digital di sekolah dan keluarga juga menjadi kunci untuk membangun kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan mental di tengah dominasi media sosial.