PARBOABOA, Jakarta - Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali memicu polemik.
Kelompok masyarakat sipil dan korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965 secara tegas menolak langkah ini karena dinilai berpotensi memutihkan kejahatan rezim orde baru (Orba).
Airlangga Julio selaku pendamping Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas), menjelaskan hasil audiensi mereka dengan Menteri Sosial Saifullah Yusuf pada Kamis (15/05/2025).
Dalam pertemuan itu, terang Julio, pihak Kemensos mengonfirmasi bahwa usulan tersebut berasal dari Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, pada tahun 2025.
“Kementerian Sosial dulu pernah membahas usulan gelar pahlawan Soeharto itu. Tetapi, usulan tersebut tidak direkomendasikan kepada Presiden. Artinya, Kemensos sudah beberapa kali menolak usulan pemberian gelar serupa terhadap Soeharto, yaitu pada 2008, 2010, dan 2015,” ujar Julio.
Hadir dalam audiensi tersebut Jane Rosalina dari KontraS, Bedjo Untung sebagai korban Peristiwa 1965, aktivis HAM Usman Hamid, serta dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti.
Julio menjelaskan bahwa hingga kini usulan itu telah berada di tangan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) Kemensos untuk dilakukan proses penelaahan sebelum diserahkan ke Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan (GTK).
”Nanti Dewan GTK akan menggelar sidang, memutuskan akan mengusulkan atau tidak ke Presiden. Jadi, tahapannya masih panjang. Tapi, kami akan terus kawal sampai ke tingkat Dewan GTK dan Istana,” tegas Julio.
Alasan Penolakan
Kelompok masyarakat sipil berpegang pada dua alasan utama dalam menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, yakni pelanggaran HAM berat dan penyalahgunaan kekuasaan selama masa jabatannya.
Selain itu, terdapat dua putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah), salah satunya putusan Mahkamah Agung yang menyatakan Soeharto harus diobati dahulu sebelum kembali menjalani proses hukum.
”Dan, kita tahu sama-sama kemudian Soeharto meninggal dunia. Artinya, kasus terhadap Soeharto, khususnya kasus korupsi di putusan tersebut, tidak pernah tuntas,” ujar Julio.
Putusan lain yang juga menjadi sorotan adalah peninjauan kembali Yayasan Beasiswa Supersemar milik Soeharto. Pengadilan memutuskan yayasan tersebut harus mengembalikan ratusan juta dolar AS kepada negara.
”Kalau kemudian Soeharto menjadi pahlawan, ini menjadi aneh dan kontradiktif," tegasnya.
Anomali tersebut, singgung Julio, disebabkan karena putusan pengadilan tertinggi menyatakan bahwa Soeharto telah merugikan negara.
Julio bilang bahwa jika negara tetap bersikeras memberikan gelar kepahlawanan itu, maka keputusan tersebut akan sangat bertolak belakang dengan semangat reformasi.
TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 menginstruksikan agar Soeharto dan para kroninya diadili. TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 juga menegaskan bahwa ketetapan tersebut masih berlaku.
Bambang Soesatyo, unsur pimpinan MPR, dalam Sidang Paripurna MPR tahun 2024, menyatakan TAP MPR 11/1998 tetap sah. Namun, ia menyebut Soeharto tidak dapat lagi dimintai pertanggungjawaban hukum karena telah wafat. Pernyataan ini dinilai janggal oleh Julio.
Menurutnya, hanya pengadilan atau lembaga yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang bisa menentukan berakhirnya tanggung jawab hukum seseorang.
“Konstitusi atau UUD 1945 dan Peraturan MPR Nomor 1 Tahun 2019 mengatur bahwa MPR tidak berwenang untuk menetapkan pertanggungjawaban hukum seseorang,” jelas Julio.
Ia menambahkan bahwa pemberian gelar ini berpotensi menyalahi prinsip-prinsip demokrasi, HAM dan supremasi hukum yang kelak menjadi legitimasi simbolik bagi Soeharto untuk menghapuskan dosa-dosa masa lalu.
Pentingnya Penilaian Menyeluruh
Anggota Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jane Rosalina, menyatakan penolakan terhadap rencana pemberian gelar pahlawan nasional dikarenakan Soeharto memiliki sejumlah catatan kelam.
Jane mencatat setidaknya sembilan kasus pelanggaran HAM berat yang melibatkan Soeharto, mulai dari Aceh hingga Papua, dari Peristiwa 1965 hingga tragedi 1998 saat transisi menuju reformasi.
"Itu sudah kami sampaikan secara langsung kepada Kemensos. Kami menilai Soeharto tidak pantas diberikan gelar pahlawan nasional," ujar Jane dalam keterangan pada Kamis (15/05/2025).
Lebih lanjut, Jane mengingatkan bahwa pengakuan terhadap sisi gelap kepemimpinan Soeharto juga datang dari dunia internasional.
Berdasarkan penilaian lembaga dunia seperti UNODC dan Bank Dunia, Soeharto disebut sebagai pemimpin paling korup di abad ke-20.
Selain itu, ia menyoroti kebijakan-kebijakan represif yang dijalankan Soeharto, termasuk kebijakan yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan, pembungkaman kebebasan pers, serta penindasan terhadap buruh.
Jane berharap Kemensos tidak hanya mempertimbangkan sisi positif tokoh, tetapi melihat secara utuh rekam jejaknya, termasuk aspek-aspek negatif yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Inti penolakan ini telah disampaikan langsung kepada Menteri Sosial, Saifullah Yusuf. Namun hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari pihak Kemensos terkait aspirasi tersebut.