PARBOABOA, Jakarta - Wakil Menteri Agama (Wamenag), Zainut Tauhid Sa’adi menegaskan bahwa agama harus menjadi problem solver (pemecah masalah).
Menurutnya, agama tak semestinya menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
Hal ini disampaikan Zainut Tauhid Sa’adi saat menutup Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 di UIN Sunan Ampel Surabaya pada Kamis, 4 Mei 2023.
“Agama harus hadir menjadi problem solver, bukan bagian dari masalah itu sendiri, dan itu harus dimulai dari konstruksi fikih yang ramah terhadap perbedaan dan perubahan,” kata Zainut Tauhid Sa’adi dalam keterangannya di Surabaya, Kamis.
Ia mengatakan bahwa Islam hendaknya dapat menjadi penawar bagi persoalan global yang hingga kini masih membutuhkan peran nyata dari agama.
Fikih, lanjutnya, sesuai dengan wataknya sangat terbuka lebar bagi munculnya pemahaman dan paradigma baru.
“Sehingga, diperlukan wadah yang memberikan kesempatan kepada para ahli (expert) dan para pakar untuk menyumbangkan pemikiran brilian untuk tatanan kehidupan umat manusia yang lebih baik,” ucapnya.
Lebih lanjut, AICIS yang diselenggarakan sejak tanggal 2 Mei 2023 telah menghasilkan beberapa pokok pikiran atau gagasan dalam bentuk rekomendasi yang disebut dengan Surabaya Charter.
Dari Surabaya Charter ini, Wamenag berharap menjadi dokumen akademik bagi umat Islam di Indonesia dan dunia dalam menghadapi dinamika kehidupan yang majemuk dan kompleks.
“Surabaya Charter juga diharapkan dapat diterima sebagai kontribusi kampus dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta bagi dunia yang lebih berkedilan dan bernartabat,” pungkasnya.
Berikut rekomendasi Surabaya Charter yang dihasilkan dari ACIS:
1. Rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian dan keadilan;
2. Menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih;
3. Definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.
4. Menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain Muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua;
5. Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras;
6. Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama.