39 Tahun Tragedi Tanjung Priok: Keadilan Belum Tuntas, Korban Masih Trauma

Foto Aminatun Najariyah, satu-satunya perempuan korban tragedi Tanjung Priok. (Foto: PARBOABOA/Muazam)

PARBOABOA, Jakarta - Organisasi hak asasi manusia, Amnesty International Indonesia mendesak pemerintah mengusut kembali tragedi Tanjung Priok Tahun 1984.

Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, setelah 39 tahun berlalu, korban dan keluarga masih belum mendapat keadilan atas tragedi yang terjadi era Orde Baru (Orba) itu.

"Korban belum melihat kesungguhan pemerintahan Jokowi menegakkan hukum atas kasus yang tergolong pelanggaran HAM berat tersebut," tegas Usman dalam keterangannya, Selasa (12/9/2023).

Apalagi, kata dia, Tragedi Tanjung Priok tidak masuk dalam daftar 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang diakui Presiden Jokowi. 

Selain itu, eks petinggi TNI yang bertanggungjawab atas tragedi itu tidak dituntut ke pengadilan hingga saat ini. 

“Hanya beberapa perwira menengah ke bawah yang diproses hukum dan berakhir dengan vonis bebas. Akibatnya, negara gagal memberikan penghukuman dan memulihkan hak-hak korban dan keluarganya,” tegas Usman.

Usman lantas mendesak pemerintah mengusut kembali Tragedi Tanjung Priok dengan memperhitungkan semua bukti yang diperlukan dan mencari kebenaran yang belum terungkap sampai korban merasakan keadilan.

“Pastikan semua pelaku yang terlibat dalam Tragedi Priok 1984, termasuk dalang pelaku yang terlibat di baliknya, diadili sesuai hukum yang berlaku serta berdasarkan prinsip peradilan yang adil," ungkapnya.

Negara, tambah Usman, harus menyediakan ganti rugi yang pantas, baik berupa kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi bagi keluarga korban yang selama ini menderita akibat tragedi ini.

Sementara itu, salah seorang korban Tragedi Tanjung Priok, Aminatun Najariyah menyebut, ia ditangkap di rumahnya sehari setelah peristiwa meletus.

Amina dituduh terlibat dalam aksi menyerang aparat, padahal saat kejadian ia mengaku tak ikut-ikutan. 

Ia pun dipenjara selama tiga bulan sebelum akhirnya dibebaskan karena tak bersalah.

Syahar Banu, anak dari Amina menyebut Ibunya mengalami trauma selama bertahun-tahun pascaperistiwa tersebut.

"Ibu saya masih sering mengalami mimpi buruk mendengar suara laras tentara maupun polisi. Dan, suka dengar suara orang disiksa," ujar Banu di Kantor KontraS, Jakarta Pusat.

Syahar bercerita, biasanya sang Ibu berteriak-teriak mengigau mulai jam 4 subur.

Teriakannya itu terdengar hingga keluar rumah, bahkan tetangga mengetahuinya dan menganggap Amina sudah gila.

"Ibu saya juga dituduh sebagai PKI, padahal kakek saya itu salah satu Kiai yang saat G30S dia anti-PKI. Ibu saya juga sebenarnya bukan PKI, dia sangat Islamis," jelas Banu.

Duduk Perkara Tragedi Tanjung Priok

Syahar Banu, anak Aminatun, menggendong anaknya memberikan kesaksian tragedi Tanjung Priok di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, Selasa (12/9/2023). (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

Tragedi Priok meletus pada 12 September 1984, atau 39 tahun lalu.

Ketika itu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menembaki kerumunan umat Muslim yang sedang menggelar aksi protes ke kantor polisi dan markas Kodim Jakarta Utara menuntut pembebasan empat orang yang ditahan. 

Menurut laporan Amnesty, akibat tragedi itu diperkirakan 30 orang ditembak dan tewas. Ada lebih dari 200 orang ditangkap.

Mereka ada yang dituduh menyerang aparat, menghancurkan properti dan menyebarkan kabar bohong seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Beberapa lainnya kena tuduhan subversi, yaitu dakwaan yang dapat diganjar hukuman maksimal berupa hukuman mati, seperti yang diatur dalam Dekrit Presiden 11/1963 atau dikenal dengan "Undang-undang Anti Subversi."    

Menurut temuan Komnas HAM, sebanyak 79 orang menjadi korban dengan 55 orang terluka dan 23 lainnya meninggal dunia akibat tindakan represif negara. Selain itu, banyak orang ditangkap tanpa proses hukum yang jelas, dan beberapa di antaranya hilang. 

Kasus Tragedi Tanjung Priok pernah masuk proses hukum melalui Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta pada 2003. Pada pengadilan tingkat pertama, 12 terdakwa dinyatakan bersalah dan negara diinstruksikan memberikan kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan keluarganya.  

Terdakwa lalu mengajukan banding dan pada 2005 Pengadilan Tinggi Jakarta membebaskan terdakwa.

Jaksa kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, pada 2006 Mahkamah Agung menolak permintaan jaksa untuk membatalkan keputusan bebas tersebut, dengan alasan bahwa kasus itu bukan merupakan pelanggaran HAM.

Putusan bebas tersebut juga mencabut kewajiban negara untuk memberikan ganti rugi kepada korban dan keluarganya, termasuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Jaksa juga gagal mengungkap peran pihak yang merencanakan, lemah dalam menyusun surat dakwaan dan tidak memberikan perlindungan yang memadai kepada saksi dan korban.

Di luar proses pengadilan, terdakwa bahkan menawarkan islah kepada korban dan saksi, yang mengakibatkan banyak dari mereka menarik kesaksian atau mencabut pernyataannya.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS