parboaboa

Akhirnya Bumi Manusia Dibolehkan di Sekolah-Sekolah Kita

Hasudungan Sirait | Jejak | 06-06-2024

Peluncuran terjemahan karya Pram di Jakarta. (Foto: PARBOABOA/Hasudungan Sirait)

Menelusuri Jejak Pramoedya Ananta Toer

PARBOABOA - Pada 29 Mei 1981 penguasa Orde Baru, lewat Kejaksaan Agung, menyatakan novel Bumi Manusia (terbit tahun 1980) karya terlarang.

Sambungannya yang merupakan tetralogi—Anak Semua (1981) Bangsa, Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988)—kemudian mengalami nasib serupa. Pun, Gadis Pantai serta tulisan Pramoedya Ananta Toer (Pram) lainnya.

Konsekuensi dari larangan ini? Siapa pun yang membacanya berarti subversif. Demikian juga yang mempromosikan apalagi yang mengedarkannya.

Sekadar gertak sambal atau menakut-nakutikah rezim totaliter yang gemar melarang-larang itu? Tidak. Sebaliknya. Contoh berikut ini bukti ekstrim kemahaseriusannya.

Sebuah ceramah berlangsung di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (FIS) Universitas Indonesia pada 25 September 1981. Pram yang menjadi pembicaranya. Ekor dari acara ini rupanya panjang.

Dianggap sangat lancang, empat fungsionaris Senat Mahasiswa FIS-UI yakni Alexander Irwan (Alex), Rafendi Djamin, Widi Krastawan, dan Verdi Jusuf dipecat oleh Rektor Prof. Mahar Mardjono.

Dalam surat resminya neurolog (ahli beda otak) yang merupakan ketua tim dokter kepresidenan di masa Soekarno dan Soeharto menyebut yang dilakukannya adalah 'pencabutan kedudukan sebagai mahasiswa dan warga UI.' Kelak, Alexander Irwan yang nekat berangkat ke AS pulang sebagai doktor sosiologi.

Setiba di Jakarta pada 1990-an, ia bergiat di NGO. Saat ini ia menjadi orang penting Ford Foundation di Indonesia.

Adapun Rafendi Djamin, ia bertolak ke Belanda. Di sana ia memimpin (pada 1992-2003) Indonesia’s Forum for Human Dignity (InFoHD) yang didirikannya bersama kawan-kawan sehaluan.

Sekembali ke Indonesia tahun 2003, master tamatan International Institut of Social Sciences, Den Haag, bergiat di lapangan demokrasi dan HAM. Ia merupakan ketua ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) periode 2009-2015.

Widi Krastawan juga berangkat ke Belanda dan lulus dari International Institut of Social Sciences. Ia kemudian menjadi petinggi di Kompas Gramedia Group (KKG).

Adapun Verdi Yusuf, kurang jelas di mana rimbanya. Yang pasti, ia tak setenar ketiga kawannya yang sama-sama dipecat Prof. Mahar.

Masih terkait Pramoedya Ananta Toer, ganjaran yang jauh lebih berat dirasakan oleh tiga aktivis Yogyakarta. Bonar Tigor Naipospos (Coki), Bambang Isti Nugroho (Isti), dan Bambang Subono (Bono) dibui masing-masing 8,5 tahun, 8 tahun, dan 7 tahun. Kejahatannya? Mengedarkan karya Pram di kota gudeg.

Coki ditangkap di tempat kosnya di Pondok Pinang, Jakarta, pada Agustus 1989. Bambang Isti dan Bambang Subono sudah lebih dulu mendekam di balik terali besi.

Bambang Isti Nugroho pada acara peluncuran buku di RRI Jakarta, pekan lalu. (Foto: PARBOABOA/Hasudungan Sirait)

Sebebas dari penjara Coki bergiat di lapangan demokrasi dan HAM. Lama bertekun di Solideritas untuk Timor Timur (Solidamor) bersama Yeni Rosa, Tri Agus Sutanto, dan yang lain belakangan ia berfokus di Setara Institut.

Kini merupakan Wakil Ketua Dewan Nasional di sana, atasannya adalah Hendardi yang dulu lama memimpin Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI).

Sesudah tak lagi menjadi manusia bubu, Bambang Isti sendiri tetap menjadi aktivis. Penampakannya masih bugar seperti terlihat saat ia hadir dalam peluncuran buku karya aktivis 1998 yang menjadi pengacara, Mangapul Silalahi, di RRI Jakarta, (lihat foto), pekan lalu.

Keganasan rezim Orde Baru telah membuat siapa pun menjadi gentar membaca secara terbuka apalagi memperdagangkan karya-karya Pram. Memang ada juga pengecualian. Hasta Mitra, terutama.

Penerbit yang didirikan Pram bersama dua kawannya, Hasyim Rachman dan Josoef Isak, terus saja melawan. Caranya adalah dengan terus mencetak dan memasarkan kendati mengetahui persis bahwa produknya nanti akan dilarang dan dilarang lagi oleh Kejaksaan Agung.

Masuk Kurikulum

Zaman kini sudah sangat berubah. Bumi Manusia, novel Pram yang di zaman Orde Baru dilarang, ternyata sebentar lagi akan masuk kurikulum di sekolah-sekolah kita.

Mulai tahun ajaran baru mendatang sastra masuk dalam Kurikulum Merdeka untuk jenjang SD hingga SMA. Tidak diajarkan secara khusus, ia menjadi materi penunjang dalam pelajaran mulai dari bahasa Indonesia hingga IPS dan IPA.

Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud-Ristek, Anindito Aditomo memberi ilustrasi.

“Sebagai contoh, buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer bisa didiskusikan dan dianalisis di kelas sejarah untuk memahami pengalaman menjadi orang Indonesia di zaman kolonial Belanda dan dampak kolonialisme terhadap alam pikir masyarakat Indonesia pra-kemerdekaan,” ujar dia.

Astuti Ananta Toer (Titi), menyambut hangat keputusan pemerintah tersebut. 

“Tentu saja kami senang mendengar kabar itu. Memang ironis juga selama ini. Di negara lain termasuk Malaysia sejak dulu karya-karya Papi dipakai di sekolah-sekolah. Di kita malah dilarang,” ucap Titi, anak kesayangan yang juga tangan kanan Pram. Parboaboa bercakap panjang dengan dia di kediaman keluarganya di Bojong Gede, Bogor, minggu lalu.

Astuti Ananta Toer bersama ayah tercinta. (Foto: PARBOABOA/Hasudungan Sirait)

 

Parboaboa sendiri menganggap keputusan baru Kemendikbud-Ristek sebuah terobosan besar yang memang sudah sepatutnya demikian.

Untuk menggonginya mulai sekarang kami akan menurunkan seri tulisan ihwal jagat Pramoedya Ananta Toer. Yang pertama kami hadirkan adalah kisah Napak Tilas Blora. Selamat menyimak.

Bersambung...

Reporter: Rin Hindryati dan P. Hasudungan Sirait

Editor : Hasudungan Sirait

Tag : #Pramoedya Ananta Toer    #Bumi Manusia    #Jejak    #Orde Baru    #Karya Terlarang   

BACA JUGA

BERITA TERBARU