PARBOABOA, Jakarta - Terletak di Kota Tua membuat Museum Wayang sangat cocok dijadikan tempat untuk menghabiskan akhir pekan. Belajar mengulik makna dan cerita wayang akan sangat menyenangkan apalagi saat bersama orang tersayang.
Memasuki pintu utama, dua patung wayang golek besar bernama Gatot Kaca dan Pergiwa akan menyambut para tamu.
Tentu saja sesuai dengan namanya, pengunjung bisa menemukan beragam jenis wayang disini, seperti wayang kulit dan wayang golek. Koleksi wayang dan boneka dari mancanegara pun turut menghiasi lorong gedung, mulai dari Malaysia, Thailand, Suriname, Cina, Vietnam, Perancis, India hingga Kamboja.
Museum ini juga menyediakan koleksi set gamelan dan lukisan wayang yang memiliki makna dan sejarah yang berarti.
Namun, dengan banyaknya koleksi itu, masih banyak orang yang kurang berminat untuk mengulik lebih dalam tentang wayang. Para pengunjung yang mayoritas anak muda terlihat hanya menampilkan pose terbaiknya dan bukan untuk menikmati pameran.
Terjun ke lapangan dan berbaur bersama para pengunjung Museum Wayang di Kota Tua membuat tim Parboaboa akhirnya mengetahui alasan apa yang membuat minimnya ketertarikan anak milenial terhadap wayang.
Alasan pertama mengacu pada bahasa yang kurang dimengerti. Seperti yang kita ketahui, wayang merupakan salah satu kebudayaan Indonesia yang berasal dari sejumlah daerah dan tentunya menggunakan bahasa daerah pula.
“Bahasanya susah dipahami, ya. Kayak nonton pagelaran wayang di YouTube pakai Bahasa Jawa. Ya aku kan gak ngerti. Kalau pun ada translate-nya tetap sulit. Kan harus bolak balik liat pertunjukan sama terjemahannya. Ujung-ujungnya jadi bosan deh,” ungkap Hana, remaja yang menghabiskan waktu di Museum Wayang bersama kekasihnya.
Hal inilah yang membuat anak milenial yang minim pengetahuan akan bahasa daerah kebingungan saat membahas wayang. Akhirnya menimbulkan rasa bosan sehingga tidak ada minat untuk membudidayakannya.
Kurang menarik dan terkesan kaku juga membuat para pengunjung menarik diri dari pelestarian wayang. Menurut mereka, pameran maupun pertunjukan wayang perlu dibumbui inovasi baru agar tidak membuat penonton jenuh. Seperti diubah ke dalam bentuk animasi sehingga anak-anak hingga orang tua tetap mengenal wayang.
“Orang-orang kan suka sama hiburan yang menarik. Kalau dibandingkan dengan konser, wayang tuh membosankan. Jadi maunya ada hal yang menarik gitu dibuat biar makin banyak yang suka sama wayang. Kayak dibikin animasi. Jadi yang suka kan jadi banyak. Mau anak-anak, remaja dan orang tua semuanya jadi suka,” sambung Maretha, mahasiswi yang tengah menuntaskan tugas keseniannya di Museum Wayang.
Alasan yang terakhir adalah minimnya pagelaran wayang. Penyebab yang terakhir ini merupakan gabungan dari alasan pertama dan kedua.
Karena membosankan dan kurang inovasi membuat pertunjukan wayang jarang dijumpai di televisi maupun secara langsung. Hal itu membuat para generasi bangsa perlahan-lahan enggan berkenalan dengan kebudayaan wayang.
“Saya kurang tertarik ya, karena kurang tahu soal wayang. Jarang disiarkan di tv. Dulu kan wayang cuma disiarkan di siaran tv tertentu kayak TVRI. Tapi sekarang udah gak ada dimana mana. Jadi kurang edukasi aja sih,” jelas pengunjung Museum Wayang yang tak ingin disebutkan namanya.
Sebagai salah satu kebudayaan Indonesia, wayang wajib dijaga oleh semua kalangan terutama generasi bangsa. Dimana sejak dulu wayang telah menjadi identitas budaya yang melekat.
Bahkan, UNESCO sendiri juga sudah mengakui wayang sebagai salah satu seni bertutur budaya Indonesia dalam daftar “Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity” pada tanggal 7 November 2003.
Perkembangan Wayang dari Masa ke Masa
Wayang pada awalnya adalah kesenian yang hanya berkembang di Jawa. Awalin dalam jurnal berjudul Sejarah Perkembangan dan Fungsi Wayang dalam Masyarakat menjelaskan asal mula kata wayang tak lepas dari kata Hyang atau sosok roh spiritual yang dipercaya oleh orang Jawa sebelum datangnya Hindu-Budha.
Pada masanya, wayang digunakan sebagai media ritual seperti memanggil Hyang, terutama roh orang-orang penting yang sudah meninggal dan untuk menggambarkan bentuk dari rohnya. Wayang tersebut dimainkan oleh dalang yang disebut Syaman.
Setelah agama Hindu-Budha masuk ke Indonesia sekitar abad ke-9 hingga ke-10 masehi, fungsi wayang berubah menjadi media pertunjukkan. Namun, karena masih bersikap sakral, wayang hanya dimainkan di lingkungan istana. Karakternya pun belum beragam, masih seputar warga istana seperti raja, patih dan menteri.
Mulyono dalam Wayang Asal Usul Filsafat dan Masa Depannya menuliskan bahwa kesenian wayang kulit pada masa hindu-budha sudah dikenal sejak masa Kediri terbukti dalam Prasasti Kawi dan naskah Arjuna Wiwaha.
Pertunjukkan wayang pada masa ini juga mulai menggunakan kelir atau kain pemisah yang memisahkan dalang dengan penonton. Kelir menjadi penguat penggunaan istilah wayang yang berarti bayang-bayang, karena penonton hanya dapat menyaksikan bayang-bayang wayang dari balik kelir.
Menurut Mulyono, pada awal hindu-budha, pertunjukan wayang tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Perbedaan yang mungkin mencolok adalah digantinya kulit kayu dengan kulit hewan, inilah cikal bakal Wayang Kulit Purwa.
Puji-pujian dan bunyi-bunyian yang pada masa pra hindu menjadi pengiring wayang kemudian diganti dengan iringan suluk atau sindenan dan musiknya diganti dengan gamelan.
Wayang kemudian banyak dipengaruhi dengan cerita Mahabharata dan Ramayana tatkala semakin masifnya pengaruh kebudayaan hindu-budha di Jawa.
Anggoro dalam jurnal berjudul Wayang dan Seni Pertunjukan: Kajian Sejarah Perkembangan Seni Wayang di Tanah Jawa sebagai Seni Pertunjukan Dakwah menjelaskan pada masa Mataram I kesenian wayang tidak hanya sebagai pertunjukan sakral, melainkan sebagai alat pendidikan dan komunikasi.
Wayang sebagai media pendidikan kemudian menyerap cerita kepahlawanan dari Mahabharata dan Ramayana yang kemudian disesuaikan dengan tokoh-tokoh lokal yang sudah ada. Di masa ini, meskipun wayang mulai dipertontonkan kepada masyarakat namun sifat kesakralannya masih ada.
Wayang yang sudah menjadi media pendidikan pada masa hindu-budha kemudian dimanfaatkan oleh para penyebar Islam, terutama Walisongo sebagai media dakwah.
Menurut Marsaid dalam Islam dan Kebudayaan: Wayang sebagai Media Pendidikan Islam di Nusantara mengutarakan, Walisongo berperan membentuk wayang seperti wujudnya saat ini, yaitu pipih dan lebih berwarna dengan lengan yang panjang. Wayang ini berbeda dengan wayang era sebelumnya, terutama yang terdapat dalam relief beberapa candi.
Mulyono juga menyatakan keruntuhan Majapahit berdampak diboyongnya seni pementasan wayang ke Demak, dengan demikian berakhirlah seni pementasan wayang ala Jawa Timur yang menyerupai relief candi.
Pada masa Islam, jumlah tokoh wayang juga diperbanyak dan diperkenalkan pertunjukan wayang semalam suntuk, terutama dalam momen Islam seperti sekaten. Wayang pada masa ini juga memiliki banyak variasi ornamen.
Pada masa kolonial, wayang tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Wayang pada zaman kolonial hanya menghadirkan satu wayang baru yang disebut Wayang Tengul. Wayang Tengul berasal dari Bojonegoro dengan meniru wayang golek dari Kudus.
Setelah Indonesia merdeka, wayang juga tidak mengalami perubahan bentuk, hanya saja waktu pementasan diperpendek. Waktu pementasan yang sebelumnya sembilan jam diubah menjadi empat sampai lima jam saja.
Pementasan tidak hanya dilakukan pada malam hari, melainkan juga siang hari. Pementasan wayang pun tidak sebatas acara besar atau sakral, melainkan dalam acara yang bersifat hiburan seperti khitanan.
Kesimpulannya, wayang merupakan salah satu aset Indonesia yang telah dijaga turun temurun oleh nenek moyang sehingga menghasilkan bentuknya seperti yang sekarang. Maka dari itu, sebagai penerus bangsa, kita wajib untuk melestarikan agar tidak ditelan oleh zaman.