PARBOABOA, Jakarta - Sosok Ahmad Zuhdi (63), guru Madrasah Diniyah (Madin) Roudhotul Mutaalimin di Demak, Jawa Tengah, menjadi sorotan publik setelah menampar salah satu murid.
Insiden ini berujung pada mediasi dan perdamaian, tetapi proses yang dilalui sarat emosi dan menjadi refleksi penting dalam hubungan antara pendidik dan wali murid.
Peristiwa bermula pada April 2025, ketika sebuah sandal dilemparkan ke arah Zuhdi saat sedang mengajar dan mengenai pecinya. Merasa terganggu, ia berusaha mencari tahu siapa pelakunya.
Setelah tekanan untuk mengaku, seorang siswa ditunjuk sebagai pelaku. Dalam kondisi emosional, Zuhdi menampar siswa tersebut sebagai bentuk teguran.
Meski telah puluhan tahun mengajar, tindakan Zuhdi menuai reaksi keras dari orangtua murid yang menuntut penyelesaian secara damai dengan permintaan kompensasi sebesar Rp 25 juta.
Nominal tersebut dirasa berat bagi Zuhdi yang hanya menerima penghasilan sekitar Rp 450.000 setiap empat bulan. Ia bahkan sempat berencana menjual motor dan berutang untuk memenuhi tuntutan itu.
Melalui negosiasi, jumlah denda akhirnya disepakati menjadi Rp 12,5 juta berkat bantuan dari rekan-rekannya.
Meski perdamaian telah dicapai dan surat kesepakatan ditandatangani, uang denda yang telah diserahkan tidak dicantumkan dalam dokumen resmi.
Setelah perjanjian damai ditetapkan, pihak wali murid mencoba mengembalikan uang tersebut sebagai bentuk permohonan maaf.
Namun, Zuhdi memilih untuk mengikhlaskannya dan tidak menginginkan pengembalian dana. Ia menilai bahwa maaf sudah diberikan bahkan sebelum permintaan maaf secara formal disampaikan.
Respons publik terhadap kasus ini cukup luas. Tokoh masyarakat dan pejabat daerah, termasuk Ketua DPRD Demak dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, turut menunjukkan perhatian.
Mereka menekankan pentingnya menyikapi insiden tersebut sebagai bagian dari dinamika pendidikan, bukan semata-mata sebagai pelanggaran hukum.
Meskipun laporan sempat masuk ke kepolisian, penyelesaian akhir dilakukan melalui pendekatan restorative justice. Langkah ini dipilih untuk meredam eskalasi dan menjaga keharmonisan.
Pihak kepolisian sempat menyayangkan bahwa kasus tersebut tidak sepenuhnya dituntaskan melalui jalur hukum sejak awal, mengingat sudah ada laporan resmi yang masuk.
Sorotan FKDT
Ketua Umum DPP Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT), Lukman Khakim, angkat bicara terkait kasus yang menimpa seorang guru Madrasah Diniyah (Madin) di Demak.
Ia menyampaikan keprihatinan atas insiden tersebut, terutama karena peristiwa seperti itu dikhawatirkan dapat mengganggu proses belajar-mengajar di lembaga keagamaan.
“DPP FKDT sangat menyayangkan kasus yang viral di Demak, DPC FKDT Demak sudah turun menangani penyelesaiannya,” ujar Lukman dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu (19/7/2025).
Ia menyoroti perubahan sikap masyarakat terhadap praktik mendidik yang dahulu lazim dilakukan guru, terutama dalam memberi hukuman ringan kepada siswa.
“Dahulu biasa murid itu diberikan hukuman oleh gurunya dan tidak ada tuntut menuntut,” tegasnya.
Menurut Lukman, hukuman yang diberikan guru semestinya dilakukan secara wajar dan tidak membahayakan, misalnya dengan mencubit atau memukul ringan di bagian tubuh yang aman.
Ia berharap kasus serupa tidak terjadi lagi, agar para ustaz dan ustazah Madin bisa menjalankan tugas mereka dengan tenang dan tanpa rasa takut.
“Ustaz-ustazah Madin itu adalah orang-orang yang ikhlas dalam mengajar ngaji dan jadi ujung tombak pembimbing akhlak dan ilmu agama bagi anak-anak,” jelasnya.
Dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) FKDT 2025, isu kesejahteraan guru Madin menjadi perhatian utama. Lukman mengungkapkan bahwa honorarium para pendidik Madin masih jauh dari layak.
Bila dibandingkan dengan upah minimum regional (UMR) yang berkisar antara dua hingga tiga juta rupiah, pendapatan guru Madin dinilai sangat timpang.
“Honor ustaz-ustazah Madin itu rata-rata seratus sampai dua ratus lima puluh ribu rupiah sebulan,” ungkap Lukman saat memberikan sambutan dalam Rapimnas yang digelar di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan.
Selain membahas kesejahteraan guru, Rapimnas FKDT juga menolak wacana kebijakan full day school. Menurut Lukman, sistem sekolah sepanjang hari akan mengganggu waktu belajar mengaji anak-anak di Madrasah Diniyah yang biasanya berlangsung sore hari.
Dalam forum tersebut, DPP FKDT juga merekomendasikan pembentukan lembaga zakat dengan nama LAZIS DIN (Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah Diniyah).
Lukman menyatakan bahwa sudah saatnya jaringan FKDT yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia mengambil peran dalam pengelolaan dana ZIS demi kemaslahatan umat.
“Sudah saatnya jejaring FKDT yang tersebar di seluruh kabupaten/kota se-Indonesia dan menjadi tokoh sentral di masyarakat ambil bagian dalam tata kelola ZIS untuk kemaslahatan ummat,” tegasnya.