PARBOABOA, Jakarta - Setelah sekian tahun meninggalkan sistem penjurusan dan Ujian Nasional, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mengisyaratkan akan menghidupkan kembali keduanya mulai tahun ajaran 2025/2026.
Langkah ini diambil untuk menyesuaikan sistem evaluasi pendidikan baru yang disebut Tes Kemampuan Akademik (TKA).
Diketahui saat ini pemerintah tengah menyiapkan perubahan besar di dunia pendidikan.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa akan kembali diberlakukan di jenjang SMA mulai tahun ajaran 2025/2026.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA), yang akan menggantikan Ujian Nasional (UN).
Dalam sistem baru ini, siswa akan mengikuti tes wajib Bahasa Indonesia dan Matematika. Selain itu, mereka juga akan diminta memilih satu mata pelajaran tambahan dari rumpun jurusan masing-masing.
Misalnya, siswa jurusan IPA bisa memilih antara Biologi, Fisika, atau Kimia, sementara siswa IPS bisa memilih Ekonomi, Sejarah, atau cabang ilmu sosial lainnya.
Abdul Mu’ti, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, menekankan bahwa sinkronisasi antara sistem penjurusan dan TKA ini bertujuan untuk mendukung seleksi masuk ke perguruan tinggi.
Ia mencontohkan kasus mahasiswa dari jurusan IPS yang masuk fakultas kedokteran dan kemudian kesulitan mengikuti perkuliahan. Dengan sistem ini, diharapkan tak ada lagi lintas jurusan yang berisiko.
UN Jadi TKA
Kementerian telah resmi menghapus istilah Ujian Nasional dan menggantinya dengan Tes Kemampuan Akademik (TKA).
Pelaksana Tugas Kepala BSKAP, Toni Toharudin, menjelaskan bahwa TKA bersifat tidak wajib dan tidak menentukan kelulusan.
Namun, hasil TKA akan menjadi indikator untuk jenjang pendidikan berikutnya dan jalur prestasi menuju perguruan tinggi.
Pada tahun ajaran 2024/2025, TKA akan diberlakukan terlebih dahulu untuk kelas 12 SMA/SMK. Sementara itu, untuk jenjang SD dan SMP, TKA baru akan mulai diterapkan pada tahun berikutnya.
Toni menyebutkan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Majelis Rektor PTN agar hasil TKA bisa digunakan sebagai acuan seleksi mahasiswa baru jalur prestasi.
Tak Tergesa-gesa
Menanggapi kebijakan ini, Prof. Tuti Budirahayu, Pakar Sosiologi Pendidikan dari Universitas Airlangga, mengingatkan agar pemerintah tak terburu-buru mengambil keputusan.
Ia menyoroti ketimpangan kualitas pendidikan di Indonesia yang masih menjadi tantangan besar.
“Persiapan dari sisi sekolah, guru, siswa, hingga orang tua harus matang sebelum sistem ini diberlakukan,” jelas Tuti kepada media belum lama ini.
Tuti juga menyarankan agar dilakukan kajian menyeluruh atas urgensi kebijakan ini, dengan mempertimbangkan tren hasil belajar sejak dihapusnya UN pada 2021 dan digantikan dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM).
Ia menilai perubahan kebijakan yang kerap terjadi setiap pergantian menteri justru menghambat pembangunan sistem pendidikan yang stabil dan berkelanjutan.
Lebih jauh, dosen FISIP Unair ini menegaskan bahwa keberhasilan belajar siswa tak semestinya hanya diukur dari skor ujian formal.
Ia mendorong penguatan budaya belajar siswa melalui program literasi dan pembelajaran menyenangkan di kelas, yang dikembangkan langsung oleh guru.
Sinyal pengembalian UN juga sempat disampaikan langsung oleh Abdul Mu’ti pada akhir 2024.
Ia menyebut konsep UN versi baru sudah siap, namun pelaksanaannya akan menunggu tahun ajaran baru.
Nama dan formatnya masih akan diumumkan kemudian, seiring dengan finalisasi kebijakan pendidikan nasional tahun 2025.