PARBOABOA, Jakarta - Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyuarakan penolakan terhadap proyek penulisan sejarah resmi Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan.
Penolakan tersebut disampaikan dalam bentuk manifesto yang dibacakan saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi X DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Senin (19/05/2025).
Menurut para anggota AKSI, rencana penulisan sejarah dipandang sebagai upaya untuk membentuk narasi tunggal terhadap masa lalu bangsa.
Ketua AKSI, Marzuki Darusman, menilai bahwa proyek ini mengarah pada rekonstruksi sejarah monumental yang berpihak pada kepentingan pemerintah.
“Dalam lingkup proses rekayasa itu tampak tertanam tujuan pokok kepentingan pemerintah untuk menegakkan suatu bangunan atau rekonstruksi sejarah monumental tertentu," ungkap Marzuki dikutip dari youtube TVR Parlemen.
Ia menyebut bahwa "tindakan itu merupakan cara halus pemerintah untuk mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa."
Lebih lanjut, AKSI menilai proyek ini berangkat dari sebuah fiksi politik, di mana sejarah digunakan sebagai alat legitimasi untuk menopang tatanan atau orde tertentu.
Hal tersebut dikhawatirkan akan menggeser sejarah sebagai sumber inspirasi politik dan identitas kebangsaan menjadi sekadar instrumen kekuasaan.
Wakil Ketua AKSI, Sulistyowati Irianto, juga menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat dalam menafsirkan sejarah.
“Pemerintah bukanlah satu-satunya penafsir tunggal atas sejarah bangsa. Suara rakyat sebagai korban dari tindakan dan kebijakan pemerintah tidak boleh dihilangkan haknya untuk menjelaskan pengalaman sejarahnya,” tambah Sulistyowati.
Sejarawan Asvi Warman Adam turut memberikan pandangan kritis terhadap proyek ini. Ia menekankan bahwa sejarah Indonesia telah menjadi rujukan penting dalam studi global, sehingga intervensi negara yang berlebihan dinilai berbahaya.
“Penjamahan sejarah sekecil apa pun oleh kekuasaan, apalagi penulisan sejarah tunggal Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan, perlu dihentikan dan ditolak,” ujar Asvi.
Tanggapan Komisi X DPR
Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, menyatakan bahwa pihaknya akan menjadikan aspirasi para sejarawan sebagai bahan pertimbangan dalam komunikasi dengan Kementerian Kebudayaan.
Ia mengakui bahwa hingga kini belum ada pertemuan resmi untuk membahas secara substantif isi dan proses penulisan sejarah yang direncanakan.
“Kalau terkait proses substantifnya, terus terang kami pun belum pernah bertemu (Kementerian Kebudayaan) untuk membahas apa persisnya hal-hal yang akan direvisi atau bagaimana prosesnya dan sebagainya,” jelas Hetifah.
Sementara itu, anggota Komisi X DPR yang juga seorang sejarawan, Bonnie Triyana, mengungkapkan bahwa dirinya telah mengangkat isu ini dalam rapat kerja dengan Menteri Kebudayaan sebelumnya.
Ia menekankan pentingnya keterbukaan proses melalui uji publik guna menghindari kegaduhan dan penolakan dari masyarakat.
“Buku sejarah Indonesia pertama itu kan Sejarah Nasional Indonesia. Itu diawali satu diskusi yang panjang dan terbuka. Tahun 1957 ada Konferensi Sejarah Nasional Indonesia dihadiri pemikir sejarah, intelektual-intelektual, yang bukunya disunting oleh Dr Sudjatmoko,” terang Bonnie.
Ia menambahkan bahwa proses penyusunan buku tersebut melibatkan berbagai pandangan dari para sejarawan yang dihimpun melalui diskusi, seminar, dan perdebatan terbuka.
Menurutnya, pendekatan kolaboratif dan demokratis itu perlu dijadikan acuan dalam menyusun sejarah nasional saat ini.
“Tapi prosesnya ada seminar dulu, seminarnya terbuka, berbagai suara didengarkan, ada diskusi, ada perdebatan, ada polemik,” ujar Bonnie.
Alasan Pemerintah
Sebelumnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan proyek penulisan ulang sejarah nasional yang sedang berjalan bertujuan menyesuaikan narasi sejarah dengan berbagai temuan ilmiah terkini.
Menurutnya, penyusunan buku sejarah baru melibatkan sejumlah sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
“Sekarang baru dalam proses, yang menuliskan ini para sejarawan,” ujar Fadli pada Sabtu (05/05/2025) lalu.
Proyek ini disebut Fadli sebagai bentuk pembaruan terhadap dua referensi utama sejarah Indonesia sebelumnya, yakni Sejarah Nasional Indonesia yang diterbitkan pada era 1980-an, dan Indonesia dalam Arus Sejarah yang diluncurkan pada 2012.
Dalam proyek ini, pemerintah menunjuk beberapa tokoh sejarawan nasional seperti Susanto Zuhdi, Singgih Tri Sulistiyono, dan Jajat Burhanudin.
Ketiganya bekerja bersama lebih dari 100 akademisi untuk menyusun ulang narasi sejarah Indonesia, yang mencakup masa prasejarah hingga periode Reformasi.
Target penyelesaian proyek ditetapkan pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Fadli menyatakan bahwa buku sejarah versi terbaru ini akan dijadikan rujukan utama dalam sistem pendidikan nasional.
“Buku ini akan menjadi semacam buku sejarah resmi Indonesia, dan bakal menjadi acuan utama dalam pendidikan sejarah di semua jenjang,” ungkapnya.