Aroma Politik di Balik Pembatalan Mutasi Perwira Tinggi TNI

Pembatalan mutasi Periwira Tinggi TNI dinilai sejumlah pihak terpengaruh oleh intervensi politik (Foto: elsam.or.id).

PARBOABOA, Jakarta - Keputusan mutasi sejumlah perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang direvisi secara cepat menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat. 

Semula, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menerbitkan Keputusan Nomor Kep/554/IV/2025 tertanggal 29 April 2025 yang memuat rotasi dan mutasi terhadap 237 perwira tinggi. 

Mereka terdiri dari 109 perwira TNI AD, 64 dari TNI AL, dan 64 lainnya dari TNI AU.

Namun hanya sehari kemudian, Panglima TNI kembali mengeluarkan Surat Keputusan baru bernomor 554a/IV/2025 yang membatalkan mutasi terhadap tujuh perwira tinggi pada urutan nomor 4 hingga 10. 

Salah satu nama yang batal dimutasi adalah Letjen Kunto Arief Wibowo, Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I, yang juga merupakan putra mantan Wakil Presiden RI ke-6, Try Sutrisno.

Letjen Kunto semula direncanakan untuk dipindahkan menjadi Staf Khusus Kepala Staf TNI AD, meski baru menjabat sebagai Pangkogabwilhan I selama empat bulan. 

Posisi barunya itu rencananya akan diisi oleh Laksamana Muda Hersan, mantan ajudan Presiden Joko Widodo yang kini menjabat sebagai Pangkoarmada III.

Pembatalan ini memunculkan spekulasi politik. Hal ini karena revisi tersebut terjadi setelah munculnya tekanan Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang mendesak pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Dalam forum ini, Try Sutrisno tercatat sebagai salah satu pendukung gerakan. Selain Sutrisno, ada juga 103 jenderal purnawirawan, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel.

Sebelumnya, mereka telah menyampaikan delapan tuntutan kepada Presiden Prabowo Subianto dalam sebuah pertemuan di Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Kamis (17/04/2025). 

Salah satu tuntutan utama mereka adalah mengganti Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melalui MPR, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang dianggap bermasalah.

Selain itu, forum ini juga menyerukan sejumlah poin lainnya, seperti pemulihan UUD 1945 sebelum amandemen, penghentian proyek-proyek strategis seperti IKN dan PIK 2, penertiban pengelolaan pertambangan, pembatasan tenaga kerja asing, reshuffle kabinet, hingga pengembalian Polri ke bawah naungan Kemendagri.

Aroma Politik

Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute, menyebut bahwa keputusan revisi mutasi perwira tinggi TNI sulit dilepaskan dari konteks politik. 

Ia menilai aneh jika mutasi yang telah melewati proses panjang di Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) bisa dibatalkan begitu cepat, apalagi menyangkut perwira tinggi yang baru menjabat seperti Letjen Kunto.

Menurut Halili, mutasi TNI semestinya bersifat profesional dan berdasarkan kebutuhan organisasi, bukan respons terhadap dinamika politik. 

Ia memperingatkan bahwa jika TNI mudah terpengaruh oleh tekanan politik, maka kepercayaan publik terhadap institusi ini akan menurun. TNI, ungkapnya, harus tunduk pada keputusan politik negara, bukan pada desakan politik partisan.

Dari pihak TNI, Kepala Pusat Penerangan Brigadir Jenderal Kristomei Sianturi menyampaikan pembatalan mutasi Letjen Kunto dan enam perwira lainnya dilakukan karena mereka dinilai masih dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas strategis. 

Evaluasi terhadap perwira tinggi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan organisasi dalam beberapa bulan ke depan, khususnya terkait masa pensiun sejumlah personel. 

Karena itu, Kristomei membantah adanya faktor eksternal atau politik dari keputusan membatalkan mutasi tersebut.

Sementara itu, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menyatakan bahwa keputusan mutasi dan promosi perwira tinggi seharusnya diketahui dan disetujui Presiden sebagai panglima tertinggi. 

Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa penyusunan daftar perwira yang akan dimutasi merupakan wewenang Panglima TNI dan para kepala staf masing-masing matra.

Fahmi menilai, perubahan keputusan secara mendadak mengindikasikan adanya evaluasi atau koreksi dari pihak tertinggi, kemungkinan besar dari Presiden. 

Oleh karena itu, komunikasi yang jelas kepada publik sangat penting agar kepercayaan terhadap TNI tetap terjaga. 

Menurutnya, fleksibilitas dalam penempatan personel memang diperlukan dalam organisasi militer, tetapi perubahan mendadak tanpa penjelasan yang memadai bisa dianggap sebagai perencanaan yang tidak matang.

Dalam pandangan Fahmi, keputusan mutasi, promosi, hingga pembatalannya adalah bagian dari mekanisme yang dinamis dalam organisasi TNI. 

Penyesuaian cepat bisa dilakukan karena alasan kebutuhan strategis, keamanan, atau evaluasi terbaru dari Presiden. 

Namun, ia menekankan pentingnya membedakan antara "politik kekuasaan" yang bersifat elektoral dan "politik kenegaraan" yang sah secara konstitusional.

Fahmi tidak berspekulasi secara langsung soal kaitan mutasi dengan desakan purnawirawan TNI, tetapi ia menyebut wajar jika publik menilai ada dimensi politik di balik pembatalan tersebut.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS