Derita ART Asal Sumba di Batam: Disiksa dan Dipaksa Makan Kotoran

Intan (20) seorang ART asal Sumba Barat mendapat tindakan tak manusiawi dari majikannya di Batam (Foto: Unsplash)

PARBOABOA, Jakarta - Kisah memilukan menimpa Intan (20), seorang asisten rumah tangga asal Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, yang diduga menjadi korban kekerasan keji oleh majikannya di kawasan Sukajadi, Batam. 

Perempuan muda ini tidak hanya mengalami pemukulan dan pelecehan verbal, tetapi juga dipaksa melakukan tindakan tidak manusiawi seperti memakan kotoran anjing dan menenggak air dari saluran parit rumah.

Tak hanya penderitaan fisik dan mental, Intan juga tidak pernah menerima hak-haknya sebagai pekerja. Sejak mulai bekerja pada Juni 2024, ia tidak diberi upah sepeser pun.

Kekerasan yang dialami korban mulai terungkap setelah ia memberanikan diri meminjam telepon genggam milik tetangga dan mengirimkan foto dan video kondisinya kepada keluarga di kampung halaman. 

Informasi itu kemudian diteruskan kepada kerabat korban yang tinggal di Batam, yang segera bertindak untuk menyelamatkannya. Setelah dievakuasi, korban langsung dilarikan ke RS Elisabeth Batam dalam kondisi memprihatinkan. 

Ia mengalami kekurangan gizi, tubuh penuh memar, dan sempat memerlukan transfusi darah. Tim medis juga telah melakukan CT scan, rontgen, dan USG untuk menindaklanjuti keluhan sakit pada perutnya.

Romo Pascal, perwakilan keluarga korban pada Senin (23/6/2025) lalu menyebut bahwa pelaku utama (R), kerap melampiaskan kekesalan terhadap hasil kerja korban yang dianggap tidak memuaskan. 

Kesalahan kecil seperti mengepel yang dianggap tidak bersih, atau makan tanpa izin, kerap menjadi dalih untuk menyiksa. Selain kekerasan fisik, korban juga kerap dipanggil dengan sebutan kasar dan merendahkan.

Tak hanya itu, pelaku juga diduga memaksa ART lain yang masih memiliki hubungan keluarga dengan korban untuk turut serta menyiksa, termasuk menyeret korban ke kamar mandi dan menginjak tubuhnya.

Pihak kepolisian melalui Kasat Reskrim Polresta Barelang, AKP Debby Tri Andrestian, mengonfirmasi bahwa laporan dari keluarga korban telah diterima dan langsung ditindaklanjuti. 

Setelah dilakukan gelar perkara, dua orang ditetapkan sebagai tersangka, yakni R sebagai majikan, dan M, sesama ART yang turut melakukan kekerasan atas perintah R.

Penganiayaan diketahui dipicu oleh insiden kecil seperti lupa menutup kandang anjing, sehingga hewan peliharaan tersebut berkelahi dan terluka. 

R kemudian melampiaskan kemarahannya dengan melakukan kekerasan, dan M mengaku ikut memukul karena diperintah.

Polisi juga menyita sejumlah alat yang diduga digunakan untuk menyiksa, termasuk raket listrik, ember, kursi lipat, dan serokan sampah.

Hasil penyelidikan juga mengungkap bahwa korban belum pernah menerima gaji sejak bekerja pada Juni 2024. Padahal, ia dijanjikan upah bulanan sebesar Rp1,8 juta dan tinggal di rumah majikan tersebut.

Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat dengan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Mereka terancam hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda hingga Rp30 juta.

Usut Tuntas

Kasus yang menimpa Intan mendapat kecaman dari sejumlah pihak. Sekretaris Jenderal Puspadaya Perindo, Amriadi Pasaribu, mengungkapkan kemarahan dan keprihatinan mendalam atas insiden ini. 

Dalam sebuah keterangan pada Rabu (25/6/2025), ia menilai tindakan kekerasan tersebut bukan hanya bentuk perendahan terhadap perempuan, melainkan juga penghinaan terhadap martabat manusia secara ekstrem. 

Amriadi menegaskan bahwa pihak berwenang harus bertindak tegas tanpa memberikan ruang kompromi kepada pelaku.

Puspadaya Perindo sebagai organisasi yang fokus pada isu perlindungan perempuan, anak, dan kelompok rentan, turut menyerukan agar Komnas Perempuan dan Kemen PPPA segera turun tangan untuk memberikan perlindungan serta dukungan pemulihan psikologis bagi korban.

Amriadi juga menyoroti tren peningkatan kekerasan terhadap perempuan berdasarkan data Kemen PPPA, dan menekankan pentingnya langkah pencegahan yang sistematis agar kasus serupa tidak terus berulang. 

Sebagai pusat layanan perlindungan dan pemberdayaan, Puspadaya Perindo menyediakan bantuan hukum serta layanan psikologi klinis tanpa biaya bagi korban kekerasan dari kelompok rentan. 

Organisasi ini mengajak masyarakat untuk turut serta memantau dan melaporkan kasus serupa, serta memberikan akses bantuan melalui berbagai kanal komunikasi yang mereka sediakan.

Tindakan tegas terhadap pelaku sangat dibutuhkan, bukan hanya untuk keadilan Intan, tetapi memastikan kejadian serupa tidak  terulang kembali di waktu-waktu mendatang.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS