PARBOABOA, Jakarta - Polemik seputar revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali mencuat ke permukaan.
Dalam sidang uji formil di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (23/6/2025), Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa para pemohon gugatan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang sah.
Menurut Supratman, para penggugat yang terdiri dari mahasiswa, aktivis, ibu rumah tangga, dan organisasi masyarakat sipil tidak memiliki kaitan langsung dengan aturan yang digugat.
“Para pemohon bukan prajurit aktif, bukan siswa kedinasan militer, serta tidak mendaftar sebagai calon anggota TNI, sehingga tidak memiliki pertalian langsung terhadap substansi UU TNI,” ujar Supratman.
Supratman juga merujuk pada Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang menurutnya menegaskan kedudukan hukum hanya berlaku bagi pihak yang secara langsung terdampak oleh aturan yang diuji.
Ia menambahkan pembentukan UU TNI telah mengikuti prosedur konstitusional melalui DPR dan Presiden serta memenuhi ketentuan formal sesuai Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pandangan tersebut mendapat tanggapan keras. Muhamad Saleh, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai pernyataan pemerintah merupakan bentuk penafsiran hukum yang sempit.
“Mahkamah Konstitusi adalah pengadilan konstitusi, bukan administratif. Maka, yang menjadi fokus adalah kerugian konstitusional, bukan status formal pemohon,” tegasnya mengutip laporan Tirto, Selasa (24/6/2025).
Ia menjelaskan bahwa syarat legal standing dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK mencakup WNI, kelompok masyarakat adat, badan hukum, dan lembaga negara.
Dalam konteks itu, mahasiswa atau aktivis bisa mengajukan permohonan asalkan mampu menunjukkan hak konstitusional yang dirugikan.
Saleh juga mengingatkan bahwa MK dalam sejumlah perkara sebelumnya, seperti uji UU Cipta Kerja dan presidential threshold, telah mengakui permohonan individu yang tidak terdampak secara administratif tetapi mengalami kerugian konstitusional.
“Yang penting adalah adanya kerugian aktual atau yang berpotensi terjadi secara rasional,” jelasnya, merujuk pada lima syarat dalam PMK No. 2 Tahun 2021 yang menjadi dasar penilaian MK.
Direktur LBH Jakarta, Muhammad Fadhil Alfathan, yang juga merupakan salah satu pemohon gugatan, menyebut anggapan bahwa masyarakat tidak punya legal standing sebagai bentuk sesat pikir.
“Kami anggap itu mencerminkan ketidaktahuan terhadap prinsip konstitusi dan nilai partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukan regulasi,” ujarnya, Senin (23/6/2025).
Menurut Fadhil, yang diuji dalam perkara ini adalah proses pembentukan UU yang minim partisipasi masyarakat, bukan sekadar isi dari UU tersebut.
Ia mencontohkan bahwa dalam perkara UU Cipta Kerja, MK telah mengakui masyarakat umum sebagai pihak yang sah dalam mengajukan uji formil. Asalkan dalilnya relevan dan dapat dibuktikan, siapa pun bisa menjadi pemohon.
Transparansi
Bertolak dari alasan-alasan tersebut, koalisi sipil menuntut DPR dan pemerintah untuk membuka dokumen dan informasi yang membuktikan pembentukan UU TNI dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi publik.
Mereka menilai pentingnya keterbukaan ini, terutama karena proses legislasi dianggap tertutup dan kurang akuntabel.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua MK, Saldi Isra, meminta agar pemerintah dan DPR menyerahkan bukti-bukti pelibatan publik dalam bentuk foto, video, atau dokumen lainnya.
Ia menekankan pentingnya memenuhi syarat "carry over" dari DPR periode sebelumnya, termasuk keterlibatan publik secara bermakna dalam Prolegnas baru.
Di pihak lain, Supratman menyatakan bahwa masyarakat telah dilibatkan sejak tahun 2023 melalui berbagai agenda Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Babinkum Mabes TNI.
“Penyerapan aspirasi masyarakat dilakukan sebelum RUU TNI diajukan DPR,” tegasnya.
Penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI, lanjutnya, dikoordinasikan oleh Kemenko Polhukam dan didasarkan pada surat DPR tertanggal 28 Mei 2024.