PARBOABOA, Jakarta - Bambang Tri Mulyono telah mencabut gugatan terkait dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu disampaikan langsung melalui kuasa hukumnya, Ahmad Khozinudin.
"Surat pencabutan perkara sudah diterima oleh pengadilan per tanggal hari ini, 27 Oktober 2022 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sekitar 14.30 WIB," kata Ahmad Khozinudin dalam konferensi pers yang ditayangkan melalui akun YouTube pribadi miliknya, Kamis (27/10/2022).
Sebagaimana diketahui, saat ini Bambang Tri Mulyono sedang ditahan di Rutan Bareskrim Polri atas dugaan ujaran kebencian dan penistaan agama. Oleh karena itu, Ahmad mengatakan penahanan Bambang Tri Mulyono dianggap menyulitkan pihaknya dalam proses pembuktian di persidangan.
"Dalam perjalanannya ada problem bagi kami jika perkara ini kami lanjutkan, yakni problem terkait pembuktian di persidangan karena kami terus terang tidak menduga klien kami Bambang Tri Mulyono ini ditangkap dan ditahan," tuturnya.
"Padahal klien kami yang punya akses pada saksi-saksi dan data-data menjadi bahan-bahan pembuktian. Tentu saja ini akan berpengaruh pada proses persidangan. Karena itulah kami bermusyawarah untuk memutuskan apa yang terbaik bagi klien kami," sambungnya.
Lebih lanjut, Ahmad mengatakan pihaknya memutuskan untuk terlebih dulu fokus pada kasus pidana yang mana Bambang Tri Mulyono telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan ujaran kebencian dan penistaan agama.
"Kami dapat berkonsentrasi pada kasus pidana yang dialami klien kami," ujarnya.
Diketahui sebelumnya, gugatan perdata atas dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) ditunda hingga Senin (31/10/2022) pukul 10.00 WIB di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sebagaimana tercantum di sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan tersebut diajukan oleh Bambang Tri Mulyono dengan nomor perkara 592/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.
Adapun dalam gugatannya, Bambang Tri Mulyono mengajukan gugatan terhadap empat pihak, yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi (Kemendikbudristek).
Editor: -