PARBOABOA, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menandatangani Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA).
Meski demikian, kebijakan tersebut menuai polemik di kalangan masyarakat, utamanya terkait pasal yang memuat ketentuan waktu cuti melahirkan.
Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Perempuan Indonesia (FSBPI), Jumisih, mengungkapkan keprihatinan terhadap kondisi buruh perempuan berstatus kontrak.
Ia melihat kebanyakan buruh perempuan sering diberhentikan perusahaan demi menghindari kewajiban membayar upah cuti melahirkan selama tiga bulan.
"Bahasanya lembut, katanya supaya bisa mengurus anak dengan baik, tapi setelah selesai cuti malah diberi kontrak baru. Itu kata-kata manis, tapi sebenarnya jebakan," ujarnya kepada PARBOABOA pada Kamis (06/06/2024).
Jumisih menilai, banyak kebijakan pemerintah yang justru tidak sejalan dengan praktik di lapangan. Alhasil, kebijakan-kebijakan tersebut hanya menjelma janji manis belaka.
"Bahkan saat ini cuti melahirkan tiga bulan sudah sulit diakses buruh perempuan di lapangan. Dengan kebijakan enam bulan, menurut pandangan saya, realisasinya akan semakin sulit," lanjut Jumisih.
Dalam kasus lain, Jumisih menyebut bahwa buruh perempuan dengan status kontrak sering kali langsung diberhentikan saat mengajukan cuti melahirkan.
Jika tidak dipecat, biasanya perusahaan memaksa pekerja membuat surat pernyataan yang menyatakan mereka bersedia kembali bekerja atas inisiatif sendiri.
"Sering kali, sebelum masa cuti selesai, buruh tersebut sudah masuk kerja. Ini dilakukan melalui kesepakatan yang terkesan atas kehendak pekerja, padahal sebenarnya ada tekanan dari pihak perusahaan untuk menghindari tuntutan hukum," bebernya.
Hal ini membuat Jumisih meragukan implementasi aturan cuti di tengah lemahnya pengawasan dinas ketenagakerjaan.
Terlebih lagi, lanjutnya, setelah disahkannya UU Cipta Kerja, hubungan kerja menjadi semakin tidak pasti dan sangat fleksibel.
"Jangan sampai buruh perempuan terjebak dalam situasi sulit hingga merasa tidak berani mengambil hak cuti melahirkan sebagaimana diatur dalam UU KIA, karena khawatir akan risiko diberhentikan," tegas Jumisih.
Serupa, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, mengakui adanya praktik semacam itu.
Ia bahkan khawatir jika ketentuan cuti hingga enam bulan justru dimanfaatkan perusahaan untuk merekrut karyawan lain yang bukan perempuan.
"Buat kami, aturan ini akan jadi masalah, terutama bagi perusahaan kecil," ujar Bob pada Rabu (05/06/2024).
Ia bilang bahwa banyak perusahaan mungkin kesulitan memenuhi kewajiban tersebut. Kalaupun ada, umumnya dimasukkan dalam ketentuan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Kini, dengan diberlakukannya total enam bulan cuti melahirkan melalui undang-undang, semua perusahaan diwajibkan untuk mematuhi aturan tersebut.
Tidak seperti sebelumnya, yang hanya berlaku jika tercantum dalam PKB. Meski demikian, hal ini dinilai memberatkan, terutama bagi perusahaan kecil.
"Cuti melahirkan merupakan hak karyawan yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Tetapi, solusi harus ditemukan untuk perusahaan kecil dengan kemampuan terbatas, seperti usaha konveksi atau perusahaan dengan jumlah karyawan di bawah seratus," pungkas Bob.
Apa itu UU KIA?
Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2024 tentang KIA mengatur berbagai aspek terkait kesejahteraan ibu dan anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.
Pada Pasal 4 ayat 3, misalnya disebutkan bahwa ibu dan anak memiliki hak cuti melahirkan dengan durasi minimum tiga bulan pertama, dan maksimal tiga bulan tambahan apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Kondisi khusus yang dimaksud mencakup ibu yang mengalami masalah kesehatan, komplikasi pasca-persalinan, keguguran, atau anak yang dilahirkan memiliki gangguan kesehatan dan komplikasi.
Lebih lanjut, selama masa cuti tersebut, ibu tidak boleh diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap berhak menerima gaji serta jaminan sosial dari perusahaan.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 5 ayat 2, penggajian yang diterima mencakup upah penuh untuk tiga bulan pertama dan keempat, serta 75% dari upah untuk bulan kelima dan keenam.
UU KIA juga memberikan hak kepada ibu pekerja yang mengalami keguguran untuk mendapatkan waktu istirahat selama 1,5 bulan atau sesuai rekomendasi dokter, dokter kebidanan, atau bidan.
Di pihak lain, UU ini memastikan adanya kesempatan dan fasilitas memadai bagi ibu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, gizi, dan melakukan laktasi selama jam kerja.
Ibu yang melahirkan juga berhak mendapatkan waktu yang cukup untuk mendukung kebutuhan terbaik anak, akses penitipan anak yang terjangkau, baik dari segi jarak maupun biaya.
Dengan ketentuan demikian, UU KIA seharusnya menjadi instrumen hukum yang mengikat perusahaan untuk memperhatikan nasib para pekerja perempuan, terkhusus mereka yang hendak melahirkan.