PARBOABOA, Jakarta - Ledakan kasus penipuan digital kian mengkhawatirkan. Data OJK mencatat, dalam waktu kurang dari setahun, masyarakat kehilangan Rp4,6 triliun akibat praktik penipuan online.
Laporan itu masuk melalui Indonesia Anti-Scam Center (IASC), yang kini menjadi garda terdepan dalam menghadapi maraknya aksi scam di Tanah Air.
Jumlah tersebut tercatat hanya dalam waktu kurang dari setahun, sehingga menunjukkan betapa masifnya kejahatan finansial berbasis digital di Indonesia.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menegaskan bahwa realisasi kerugian ini jauh melampaui perkiraan awal.
Menurutnya, “kajian OJK semula memperkirakan kerugian sekitar Rp2 triliun dalam rentang satu setengah tahun.”
Namun, dalam delapan hingga sepuluh bulan pertama berdirinya IASC, angka yang tercatat sudah lebih dari dua kali lipat.
Fenomena tersebut, kata Friderica, menjadi tanda bahwa kejahatan finansial digital terus berkembang dengan pola yang semakin sistematis.
Lebih memprihatinkan lagi, "korban tidak hanya datang dari kalangan awam, tetapi juga merambah ke kelompok profesional hingga pejabat."
Ia menilai rendahnya literasi keuangan digital dan ketiadaan sikap kritis di tengah masyarakat membuat mereka lebih rentan menjadi target penipu.
Ragam Modus
Sejak beroperasi, IASC menerima lebih dari 225 ribu laporan penipuan. Dari jumlah itu, sekitar 72 ribu rekening telah diblokir, sementara 359 ribu rekening lain berhasil diidentifikasi terhubung dengan aktivitas ilegal.
Data ini menggambarkan betapa luasnya jaringan pelaku penipuan yang memanfaatkan celah dunia digital.
Setiap hari, IASC menerima 700–800 laporan penipuan. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding Singapura, yang rata-rata hanya mencatat 140–150 laporan per hari.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi tantangan serius dalam mengatasi praktik penipuan digital.
Modus yang digunakan para pelaku sangat beragam, mulai dari love scam, tawaran lowongan kerja palsu, phishing melalui aplikasi perbankan, hingga penipuan di marketplace dan aset kripto.
Variasi modus ini memperlihatkan bahwa penipu terus beradaptasi mengikuti perkembangan tren digital.
OJK menekankan upaya pemberantasan penipuan tidak bisa dilakukan sendiri. Lembaga perbankan, perusahaan fintech, perusahaan efek, hingga platform marketplace juga memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keamanan ekosistem digital.
Friderica mengingatkan banyak kasus penipuan terjadi karena masyarakat tidak menyadari telah terjebak, baik karena transfer dana secara tidak sengaja, bujuk rayu penipu, hingga tawaran kerja fiktif.
Ia menekankan pentingnya peran IASC sebagai wadah laporan masyarakat agar kasus-kasus ini dapat ditindaklanjuti lebih cepat.
Dengan adanya pusat pengaduan seperti IASC, masyarakat diharapkan semakin sadar akan pentingnya melaporkan kasus penipuan yang dialami.
Partisipasi publik menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan digital yang lebih aman, sekaligus mencegah semakin banyak orang menjadi korban praktik penipuan yang kian canggih.