Jaringan Terorisme Sasar Anak: Rekrutmen Masif Lewat Media Sosial hingga Game Online

Densus 88 Antiteror Polri ungkap modus perekrutan anak-anak dan pelajar menjadi teroris melalui ruang digital (Foto: Unsplash).

PARBOABOA, Jakarta - Upaya penegakan hukum terhadap jaringan terorisme di Indonesia kembali menemukan pola baru yang mengkhawatirkan. 

Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mengungkap modus perekrutan anak-anak dan pelajar melalui ruang digital, mulai dari media sosial, game online, hingga platform pesan terenkripsi. 

Pola ini bukan saja menargetkan remaja yang aktif di dunia maya, tetapi juga menjadikan kerentanan psikologis dan sosial sebagai pintu masuk untuk menarik mereka ke dalam jaringan radikal.

Dalam periode satu tahun, Densus 88 menangkap lima orang perekrut yang dinilai berperan penting dalam membentuk jejaring propaganda dan perekrutan anak-anak. 

Juru Bicara Densus 88 AKBP Mayndra Eka Wardhana menjelaskan bahwa kelima tersangka ditangkap melalui tiga rangkaian pengungkapan sejak akhir 2024. 

Mayndra menegaskan total anak yang teridentifikasi terpapar mencapai lebih dari 110 orang. Ia bilang bahwa sejak 2011 hingga 2017, "Densus hanya menemukan 17 anak yang terlibat jaringan teror." 

Namun angka itu melesat tajam pada 2025. Dalam pemaparannya di Mabes Polri (18/11/2025), ia menjelaskan bahwa "tren tersebut menunjukkan adanya peningkatan masif melalui media daring."

Para tersangka adalah FW alias YT (47), ditangkap di Medan, Sumatera Utara; LM (23), ditangkap di Banggai, Sulawesi Tengah; PP alias BMS (37), ditangkap di Sleman, Yogyakarta; MSPO (18), ditangkap di Tegal, Jawa Tengah; dan JJS alias BS (19), ditangkap di Agam, Sumatera Barat.

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko dalam konferensi pers yang sama menekankan bahwa seluruh tersangka berperan sebagai perekrut dan pengendali komunikasi digital. 

Ia menjelaskan bahwa "para pelaku secara aktif memengaruhi anak-anak agar menerima ideologi kekerasan, masuk ke jaringan, dan bersedia menjalankan aksi teror."

Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa perekrutan dimulai dari interaksi kasual di dunia digital. Mayndra menjelaskan propaganda awal disebarkan di platform terbuka seperti Facebook, Instagram, dan berbagai game online populer. 

Di ruang-ruang virtual ini, para perekrut mengedarkan narasi utopis yang mudah menarik minat anak-anak dan remaja.

Ketika komunikasi awal berhasil terjalin, para pelaku membawa target ke ruang yang lebih privat seperti WhatsApp dan Telegram. Di platform tertutup inilah proses indoktrinasi berlangsung secara intensif. 

Konten propaganda dibuat menarik, mulai dari video pendek, animasi, hingga meme dan musik untuk membentuk kedekatan emosional dan perlahan menanamkan pesan radikal.

Trunoyudo menjelaskan bahwa strategi ini sengaja menyasar cara berpikir anak-anak: visual, ringan, dan persuasif. Setelah kedekatan terbangun, barulah pelaku memperkenalkan narasi-narasi ekstremisme.

Terhubung Jaringan Internasional

Menurut Mayndra, sebagian perekrut adalah “pemain lama” yang pernah menjalani proses hukum dan kembali aktif setelah bebas. 

Ia menyebutkan bahwa pelaku utama pertama yang ditangkap memiliki afiliasi dengan Ansharut Daulah, jaringan yang berhubungan dengan ISIS.

Densus mencatat bahwa rekam jejak digital para pelaku menunjukkan upaya sistematis untuk mencari anak-anak yang dianggap rentan lalu mengumpulkan mereka dalam grup-grup tertutup yang dikelola admin dengan struktur terorganisasi.

Hasil asesmen Polri menemukan sejumlah faktor yang membuat anak lebih mudah direkrut. Trunoyudo menjelaskan banyak korban berasal dari keluarga broken home, mengalami bullying, kurang mendapatkan perhatian orangtua, atau sedang dalam proses mencari jati diri. 

Minimnya literasi digital dan pemahaman agama juga memperbesar peluang mereka terjebak narasi radikal. Kondisi tersebut dieksploitasi oleh pelaku dengan menawarkan “komunitas baru”, rasa diterima, dan tujuan yang dianggap mulia. 

Mayndra menggambarkan salah satu teknik manipulasi dimulai dari pertanyaan sederhana seperti, “mana yang lebih benar antara Pancasila atau kitab suci?”, yang dijadikan pintu awal untuk memancing diskusi lebih ekstrem.

Densus 88 mencatat bahwa para korban berasal dari 23 provinsi, dengan jumlah terbanyak di Jawa Barat dan DKI Jakarta. 

Usia mereka berkisar antara 10 hingga 18 tahun. Penyelidikan masih berjalan, sehingga kemungkinan adanya korban lain tidak tertutup.

Mayndra menegaskan interaksi antara korban dan pelaku sebagian besar berlangsung tanpa pertemuan langsung. "Semua hubungan dibangun secara daring, membuat proses rekrutmen berlangsung lebih cepat dan sulit dideteksi."

Densus 88 menegaskan bahwa anak-anak yang terlibat diperlakukan sebagai korban, bukan pelaku. 

Mereka kini berada dalam pendampingan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta berbagai lembaga perlindungan lainnya di pusat dan daerah.

Mayndra mengingatkan pencegahan paling efektif dimulai dari rumah. Kontrol orangtua terhadap aktivitas daring anak, termasuk kebiasaan bermain game online maupun media sosial, sangat penting untuk deteksi dini.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS