PARBOABOA, Jakarta - Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) akhirnya resmi disahkan menjadi undang-undang setelah melewati proses panjang pembahasan di Komisi III DPR.
Pengesahan tersebut dilakukan dalam rapat paripurna ke-8 masa persidangan II tahun sidang 2025–2026 di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (18/11/2025).
Ketua DPR Puan Maharani memimpin jalannya sidang yang turut dihadiri jajaran pimpinan DPR, 242 anggota Dewan, serta perwakilan pemerintah seperti Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej.
Dalam sidang itu, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman terlebih dahulu menyampaikan laporan pembahasan yang sebelumnya telah disepakati untuk dibawa ke tahap pengesahan. Setelah laporan selesai, Puan meminta persetujuan seluruh fraksi.
“Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” ucapnya, mengutip siaran langsung TVR Parlemen.
Persetujuan bulat pun diberikan, disusul ketukan palu tanda pengesahan. Puan menyampaikan bahwa proses penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP telah berlangsung lama dan dirancang secara terbuka.
Dalam konferensi pers usai paripurna, ia menegaskan pengesahan tersebut dilakukan dengan melibatkan partisipasi publik yang luas.
“Tadi seperti yang disampaikan dalam rapat paripurna oleh Ketua Komisi III bahwa proses ini sudah berjalan hampir dua tahun, sudah melibatkan banyak sekali meaningful participation,” kata Puan.
Ia menambahkan, masukan dari berbagai daerah juga diakomodasi selama proses pembahasan.
“Sudah dari kurang lebih 130 masukan, kemudian sudah muter-muter di beberapa, banyak wilayah Indonesia, Jogja, Sumatera, Sulawesi, dan lain-lain sebagainya,” jelasnya.
Menurut Puan, pembaruan KUHAP dibutuhkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul selama penerapan KUHAP lama.
“Banyak sekali hal yang diperbaharui, yang sudah melibatkan banyak pihak yang kemudian dalam pembaharuannya itu berpihak kepada hukum yang mengikuti zaman,” ujarnya.
Sementara itu, Mensesneg Prasetyo Hadi menegaskan bahwa revisi KUHAP disusun secara inklusif dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Menurutnya, proses penyusunan RUU KUHAP dilaksanakan secara partisipatif dan terbuka dengan melibatkan akademisi, praktisi hukum, lembaga penegak hukum, organisasi profesi, masyarakat sipil, serta kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas.
Pemerintah menilai pembaruan KUHAP penting karena undang-undang ini merupakan pilar utama sistem peradilan pidana nasional.
Kritik Publik
Di luar ruang sidang, pengesahan RKUHAP memantik reaksi dari berbagai kelompok masyarakat sipil yang turun berdemonstrasi.
Sejumlah organisasi menilai beberapa ketentuan dalam revisi KUHAP berpotensi melemahkan akuntabilitas dan memperbesar ruang penyalahgunaan wewenang.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) secara khusus menyoroti mekanisme penangkapan dan penahanan, dua proses yang menurut mereka sudah lama rawan disalahgunakan.
Mereka khawatir peluang penyalahgunaan akan semakin melebar tanpa batasan yang lebih tegas. ICJR juga mengkritisi pengaturan penyadapan dan penggeledahan yang dinilai belum dilengkapi syarat ketat dan mekanisme pengawasan yang jelas.
Serupa, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi KUHAP turut mengurai sembilan kelompok pasal yang dianggap bermasalah.
Pasal-pasal tersebut, antara lain soal ketiadaan jaminan pelaporan akuntabel (Pasal 23), lemahnya kontrol hakim (Pasal 149, 152 ayat (2), 153, 154), hingga penggunaan upaya paksa tanpa ukuran tegas (Pasal 85 ayat (1), 88, 89, 90 ayat (2)–(3), dan lainnya).
Mereka juga menyoroti aturan sidang elektronik yang dinilai belum akuntabel, investigasi khusus tanpa kontrol memadai, ketidakjelasan standar pembuktian, ketidakseimbangan posisi dalam proses pidana, hingga penyamaan konsep restorative justice dengan diversi.
Bagi kelompok masyarakat sipil, kritik ini penting mengingat KUHAP adalah acuan utama aparat penegak hukum dalam menjalankan rangkaian proses pidana.
Karena itu, revisi KUHAP harus memastikan pemenuhan hak asasi manusia dan perlindungan kelompok rentan, bukan malah memperbesar potensi penyalahgunaan.
