PARBOABOA, Jakarta - Kabar duka dari Tangerang Selatan kembali menguatkan betapa rapuhnya perlindungan anak di lingkungan sekolah.
MH (13), siswa kelas I SMP Negeri 19 Tangerang Selatan, meninggal dunia pada Minggu (16/11/2025) pagi, setelah hampir sebulan berjuang akibat luka serius yang diduga berasal dari perundungan berulang di sekolahnya.
Peristiwa ini memunculkan kembali pertanyaan besar tentang keamanan sekolah, efektivitas mediasi, dan tanggung jawab negara dalam melindungi anak dari kekerasan.
Peristiwa yang menimpa MH bukan kejadian tunggal. Dalam keterangan keluarga, tindakan intimidatif terhadap MH telah berlangsung sejak Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
Ibunya, Y, pada Oktober 2025 menjelaskan bahwa putranya kerap mengalami kekerasan kecil yang terus berulang, mulai dari tangan ditusuk sedotan, lengan yang ditendang saat pelajaran berlangsung, hingga pukulan di punggung.
Kekerasan itu memuncak pada Senin (20/10/2025), ketika MH dihantam dengan kursi besi oleh teman sekelasnya di ruang kelas.
Sehari setelah kejadian, MH memberanikan diri menceritakan rasa sakitnya kepada keluarga karena sudah tidak mampu menahan nyeri hebat di kepala.
Kondisinya kemudian menurun drastis di mana tubuh kian melemah, penglihatan memburam, sering pingsan, dan tak mampu berjalan atau makan.
Setelah mengetahui kejadian tersebut, keluarga segera mendatangi pihak sekolah. Pihak SMPN 19 Tangerang Selatan lalu mempertemukan keluarga korban dengan keluarga terduga pelaku untuk mediasi.
Kepala sekolah, Frida Tesalonik, pada 10 November 2025 menjelaskan pertemuan itu menghasilkan sebuah kesepakatan tertulis. Dalam dokumen tersebut, orang tua terduga pelaku menyatakan kesediaan menanggung seluruh biaya pengobatan MH.
Namun seiring waktu, keluarga MH menyebut bahwa komitmen tersebut tidak dijalankan secara penuh. Sementara itu, kondisi korban terus memburuk hingga ia harus dirawat intensif.
MH sempat dirawat di sebuah rumah sakit swasta di Tangerang Selatan sebelum akhirnya dirujuk ke RS Fatmawati pada 9 November 2025.
Dua hari setelah dipindahkan, tepatnya 11 November, ia dipasangi alat bantu napas di ruang ICU karena kondisinya semakin kritis.
Pada Minggu (16/11/2025) pagi, sekitar pukul 06.00 WIB, pendamping dari Lembaga Bantuan Hukum Korban, Alvian, menerima kabar dari keluarga bahwa MH telah meninggal dunia.
Informasi serupa juga dibenarkan oleh Ketua RT setempat, Markum, yang menyampaikan duka mendalam atas kepergian MH pada hari yang sama di Ciater, Serpong.
Catatan Masyarakat Sipil
Pihak sekolah dan Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan menegaskan bahwa mereka telah melakukan mediasi dan mendorong penyelesaian secara kekeluargaan. Namun, alur penyelesaian ini dinilai tidak cukup oleh banyak pihak.
Koalisi Masyarakat Peduli Pendidikan (KMP) Tangerang Raya, melalui Rizal Lujaman, menilai bahwa pendekatan berupa mediasi tidak bisa dijadikan solusi akhir, terutama jika korban menderita luka fisik maupun trauma mendalam.
Dalam pernyataannya pada Senin (10/11/2025), Rizal menekankan perlunya intervensi negara, baik dukungan psikologis maupun pendampingan hukum untuk memastikan pemulihan korban dan pembinaan pelaku berjalan profesional.
Ia juga mengingatkan bahwa penyelesaian damai tanpa keterlibatan aparat dapat menjadi preseden buruk.
Menurutnya, setiap sekolah harus memiliki Satuan Tugas Anti-Perundungan yang benar-benar aktif menjalankan fungsi pengawasan, bukan sekadar formalitas administratif.
Kematian MH tidak hanya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, tetapi juga membuka kembali diskusi publik mengenai lemahnya mekanisme perlindungan anak di sekolah.
Proses hukum kini menjadi perhatian, sementara pihak kepolisian tengah menunggu kesiapan keluarga untuk melanjutkan pemeriksaan.
Kasus MH menegaskan bahwa perundungan bukan sekadar konflik biasa antar siswa. Ketika kekerasan fisik dan psikologis dibiarkan berlarut-larut, sekolah kehilangan fungsi dasarnya sebagai ruang aman bagi peserta didik.
Tragedi ini menjadi pengingat pahit bahwa mediasi semata tidak cukup untuk mencegah kekerasan berulang.
Negara, sekolah, komunitas, dan keluarga memiliki tanggung jawab bersama agar tidak ada lagi anak yang kehilangan nyawa akibat lemahnya perlindungan di tempat yang seharusnya menjadi ruang belajar dan bertumbuh.
