Letusan Semeru 2025 Kembali Bangkitkan Trauma 1909 yang Renggut 709 Nyawa

Erupsi Gunung Semeru. (Foto: Dok. Wereldmuseum Amsterdam via wikipedia)

PARBOABOA, Jakarta - Gunung Semeru kembali menunjukkan kekuatannya pada Rabu (19/11/2025).

Gunung tertinggi di Pulau Jawa itu memuntahkan awan panas sejauh 5,5 kilometer ke lereng-lerengnya.

Dalam hitungan menit, ribuan penduduk yang tinggal di zona rawan segera dievakuasi ke tempat yang dinilai aman.

Keputusan cepat ini diambil demi meminimalisir risiko, mengingat rekam jejak Semeru yang dalam sejarah berulang kali memicu bencana besar.

Mengutip catatan sejarah sejak pertama kali meletus pada 1818, Semeru beberapa kali memicu bencana yang merenggut banyak korban.

Salah satu yang paling mengerikan terjadi pada 29–30 Agustus 1909. Letusan besar itu sebenarnya sudah didahului tanda-tanda sejak Juni 1909, ketika asap tebal mulai tampak dan gempa vulkanis semakin sering terjadi.

Namun, pada masa itu, warga tak menyadari bahwa tiga bulan kemudian, bencana besar akan tiba dan menyebabkan ratusan jiwa melayang.

Letusan 1909

Koran De Locomotief edisi 6 September 1909 menggambarkan bahwa letusan Semeru tahun itu terjadi hanya sekali, tetapi daya rusaknya luar biasa.

Abu, lahar, dan material vulkanik meluncur dengan cepat menyapu lereng hingga lembah-lembah di bawahnya, menghancurkan apa pun yang dilewatinya.

Aliran lahar campuran air, pasir, kerikil, dan abu bergerak mengikuti alur sungai berhulu di puncak Semeru.

Laporan pemerintah kolonial dalam Winschoter Courant (1 Oktober 1909) mengungkapkan bahwa aliran itu datang seketika, tanpa tanda-tanda yang bisa dikenali penduduk.

“Secara mendadak, air dan pasir yang deras mengalir menghancurkan semua yang dia lewati,” demikian bunyi laporan tersebut.

Bahkan De Locomotief mendeskripsikannya sebagai aliran sekuat “tsunami” yang menyapu hamparan tanah dan pemukiman.

Kekuatan letusan membuat kawasan sekitar kawah berubah menjadi lautan lumpur. Perkebunan tebu dan tembakau musnah, ribuan pabrik dan rumah hancur total, dan mayat bergelimpangan di jalanan.

Dugaan saat itu menyebutkan bahwa dinding kawah tak lagi mampu menahan tekanan lahar sehingga limpasan terjadi secara eksplosif.

Dalam laporan Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië (9 September 1909), kerusakan diperburuk oleh semburan abu vulkanik yang mengubur ribuan hektare sawah.

Seribu hektare sawah tertimbun pasir, delapan ribu hektare lainnya kehilangan suplai air akibat jaringan pengairan yang rusak.

Jalan-jalan utama terputus, hewan ternak mati, dan persediaan pangan rusak hingga tak dapat dimakan.

709 Korban Jiwa

Hingga akhir September 1909, Dagblad van Noord-Brabant mencatat lebih dari 709 orang tewas atau hilang. Ribuan lainnya mengalami luka berat.

Kerugian ekonomi petani, peternak, dan penduduk lokal mencapai ribuan dolar AS—jumlah yang sangat besar pada masa itu.

Bencana tersebut memicu gelombang solidaritas dari berbagai daerah di Hindia Belanda. Dari Batavia, masyarakat berhasil mengumpulkan 2.000 gulden.

Seorang pengusaha keturunan Tionghoa, Liem Liang Bu, bahkan mengirimkan dua gerobak beras dari Jakarta ke Lumajang.

Lelang dan pengumpulan dana juga dilakukan di berbagai daerah lain untuk membantu pemulihan.

Meski bantuan berdatangan, proses pemulihan tidak berlangsung cepat. Pemerintah kolonial dan warga membutuhkan waktu sekitar enam bulan untuk memperbaiki kerusakan parah dan mengembalikan aktivitas kehidupan masyarakat.

Tragedi 1909 menjadi pelajaran penting bahwa mitigasi dan kesiapsiagaan harus menjadi prioritas setiap kali Semeru menunjukkan aktivitas meningkat.

Pasca letusan, warga hidup dalam ketakutan. Tidak ada yang berani kembali ke rumah karena gunung masih menunjukkan aktivitas, dengan asap yang terus mengepul dan gempa vulkanik yang masih terasa.

Kondisi ini menunjukkan bahwa Semeru belum benar-benar tenang, dan ancaman letusan susulan tetap menghantui.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS