Antara Demo Murni dan Demo Bayaran, Apa Bedanya?

Ilustrasi demonstrasi di Indonesia. (Foto: PARBOABOA/Achmad Rizki Muazam)

PARBOABOA, Jakarta - Aksi demonstrasi di Indonesia telah dijamin oleh UU sejauh dilakukan untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingan publik.

Demonstrasi jenis ini, atau juga disebut demo murni biasanya berlandaskan ideologi tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Sementara itu, demo bayaran merupakan bentuk aksi yang dilakukan demi mendapat upah semata, meski tak tahu apa materi dan substansi demo tersebut.

Seorang makelar demo, sebut saja Romi, merinci karakteristik demo bayaran. Pertama, kata dia, dilihat dari jumlah massanya, siapa saja yang datang, serta seberapa antusias dan paham mereka terhadap aksi tersebut.

"Kalau tidak jelas itu demo bayaran," pungkasnya.

Romi berkata, jumlah pendemo bayaran relatif kecil berkisar antara 50-100 orang saja.

Kedua, ciri-ciri para demonstran yang terindikasi sebagai pendemo bayaran dapat dikenali dari bagaimana mereka bertindak saat unjuk rasa berlangsung. 

Kata Romi, beberapa tanda yang bisa diamati adalah bagaimana fokus perhatian mereka dan kualitas orasi yang disampaikan.

Di sana mereka tidak menunjukkan semangat, cenderung kurang berenergi, dan tampak enggan dalam menyuarakan tuntutan. Biasanya mereka hanya berpartisipasi tanpa pemahaman mendalam tentang isu yang diperjuangkan. 

Jika menemukan sekelompok demonstran seperti itu, tegas Romi, kemungkinan keikutsertaan mereka lebih karena faktor eksternal ketimbang dorongan kesadaran pribadi terhadap topik demo.

Narasumber Parboaboa, Indra, bukan nama sebenarnya bercerita ihwal upah demo bayaran. Sebagai koordinator, ia biasanya mematok harga Rp100 ribu per kepala demonstran.

Sementara, ia sendiri sebagai koordinator lapangan atau korlap mendapat upah lebih tinggi berkisar Rp500 ribu.

Adapun jika pemesan membutuh massa yang banyak, akan semakin banyak pula korlap yang terlibat dengan membawa masing-masing.

Satu korlap tegas dia, "biasanya cuma sanggup kumpulin massa 100 orang."

Robert, juga bukan nama sebenarnya mengungkapkan hal yang sama. Setiap pendemo dia beri upah Rp100 ribu, khusus untuk mereka yang diambil dari jalan cuma dibayar Rp50 ribu.

"Dia tidak tahu itu lagi aksi apa, demo apa, nah itu-itu bayarnya cuma Rp50 ribu saja," sebutnya merujuk pada mereka yang tak tahu apa-apa ihwal demonstrasi, asal dapat uang.

Dalam kasus Robert, demonstrasi yang dilakukan sebisa mungkin harus bergema atau viral. Itulah sebabnya dalam beberapa kesempatan, ia bekerja sama dengan media untuk kepentingan publikasi.

Ia juga bercerita, pemesan demo biasanya terdiri dari berbagai latar belakang, seperti politisi dan pengusaha besar yang memiliki agenda dan tujuan tertentu.

Ketua Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem), juga mantan anggota DPR RI Masinton Pasaribu, mengatakan, perbedaan antara demonstrasi yang lahir dari idealisme (demo murni) dan aksi bayaran dapat dilihat dari isi dan semangat aksi tersebut. 

Ia menjelaskan, gerakan yang murni didorong oleh idealisme cenderung "memiliki militansi, keyakinan, serta semangat kuat untuk mendorong perubahan demi kebaikan rakyat."

Mantan aktivis pergerakan mahasiswa 1998 ini menegaskan, di sana, idealisme, militansi, dan keyakinan perjuangan tidak dapat dibeli dengan materi atau uang. 

Ia menambahkan, demonstrasi yang muncul dari kesadaran pergerakan biasanya memiliki struktur yang jelas, dipimpin dengan baik, dan dilengkapi perangkat aksi.

Masinton mengatakan, dalam demokrasi, perbedaan pandangan, serta adanya sikap pro-kontra merupakan hal wajar. Namun sayangnya, terkadang kehadiran massa bayaran dimanfaatkan untuk membatasi kebebasan tersebut, seperti "ketika kelompok tertentu dikerahkan untuk menghadang demonstrasi mahasiswa yang memperjuangkan suara rakyat." 

Sebagai contoh, ia bercerita, pada masa perjuangan reformasi 1998, gerakan mahasiswa pernah berhadapan dengan massa bayaran yang dimobilisasi oleh rezim saat itu. Namun, gerakan mahasiswa tetap bertahan dengan kekuatan idealisme dan militansinya, yang sejatinya mewakili gerakan rakyat.

Dalam pergerakan, tegas dia, memang mungkin ada pihak yang memanfaatkan situasi dan bertindak oportunis atau sebagai petualang politik. 

Namun, menurutnya elemen-elemen seperti itu bukanlah yang dominan dan tidak signifikan dalam memengaruhi agenda pergerakan mahasiswa. kata dia, hal ini karena gerakan mahasiswa memiliki agenda yang jelas dan terencana, yang muncul dari refleksi dan komitmen mendalam.

Di Indonesia, sendiri demonstrasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang mengakui hak setiap warga untuk menyuarakan pendapat di ruang publik. Meskipun tidak ada larangan tegas tentang pembayaran partisipasi dalam aksi, demonstrasi harus mematuhi sejumlah aturan.

Misalnya, aksi tidak boleh dilakukan di lokasi-lokasi tertentu seperti Istana Kepresidenan, rumah sakit, tempat ibadah, bandara, pelabuhan, stasiun, terminal, objek vital nasional, dan instalasi militer.

Pelanggaran hukum selama demonstrasi, seperti tindakan kekerasan atau perusakan, dapat mengakibatkan sanksi hukum. Penanggung jawab aksi yang melakukan pelanggaran bahkan bisa mendapat hukuman lebih berat.

Menghalangi hak orang lain dalam menyampaikan pendapat menggunakan kekerasan juga dapat berujung pidana hingga satu tahun penjara. 

Di sisi lain, penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat saat menangani demonstrasi juga bisa melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu, para demonstran perlu memahami aturan dan mengikuti aksi dengan pengetahuan yang cukup agar tetap aman dan sesuai hukum.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS